Dicintai dan mencintai banyak wanita
Bukan berarti aku buaya
Aku laki-laki biasa
Yang hanya ingin menikmati rasa
***
Mereka wanita; indah dan layak dicinta. Aku menyukai ketiganya dengan cara yang berbeda; seperti mencintai hujan, pada gadis yang pertama; seperti mencintai api, pada gadis yang kedua,dan seperti mencintai malam pada gadis yang ketiga. Mereka sempurna dengan cita rasa yang tak sama.
***
Hari itu aku melihatnya menari di bawah rinai hujan sore hari, sebenarnya bukan menari, tapi hanya berlari, tak salah kuanggap menari, karena gerak indahnya menarik hati.
Itu pertama kali aku berjumpa dengannya, bisa dibilang dia jelita, walau tampak kedinginan dan basah, berteduh bersamaku menanti hujan reda. Kala itu tak sengaja kupandang lama dirinya, matanya berbinar indah memancarkan semangat muda, cerianya adalah pesona, dia bisa tertawa lepas tapi menggoda. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tak lama kukenal dia, kubiarkan diri terhanyut rasa, aku dan dia memulai kisah cinta. dia tak seperti gadis biasa, jarang bersedih tapi agak keras hati, beberapa kali kami beradu kata,memuntahkan amarah, tapi kembali bersama, sayangnya kami tak belajar dari peristiwa, mengulangi lagi kesalahan yang sama. Kami berpisah, bukan karena tak lagi cinta, kami berpisah, karena tak ingin lagi ada air mata.
Putri hujanku memintaku pergi dan bodohnya kuikuti, lalu dia memilih menutup pintu hati, tapi dalam kupercaya masih tersisa cinta yang tak pernah mati.
“Ketika kamu memilih pergi jangan pernah lagi kembali” Itu kata terakhirnya, dia menutup segala harapan membuatku mengubur impian.
***
Dinginnnya patah hati tak bisa kuhindari, lalu dia datang membawa kehangatan, seorang dara, dia yang menyelamatanku dari sepi, kusebut dia bidadari api . Dia datang menyalakan lagi rasa yang hampir mati, tapi dia adalah api, sekumpulan cahaya, penerang, bisa membakar, bisa berkobar, semaunya.
Kita memang bersama-sama, menikmati hangatnya cinta, tapi tanpa pernah membiarkan apapun mengikatnya, komitmen cuma tali yang tak pasti, tapi memang ada janji hati, walau tak pernah kami tepati.
“Cinta itu masih bukan milik siapa-siapa” hanya itu katanya.
Bidadari api lupa, aku adalah lelaki, kadang lelaki juga butuh rasa yang pasti, sayangnya dia lebih suka berteka-teki. Bukan salahku, bila aku jadi jenuh, hingga akhirnya aku memilih untuk berlalu.
***
Hingga kutemui Juwita malamku, dia tenang, seperti temaram bulan seperti cahaya bintang. Keindahannya membuatku terhenti mengenang hujan membuatku tak lagi mengingat api. Nyaman bersamanya membuatku berani untuk merangkai kisah lagi, sayang tak lama karena api datang lagi, tidak dengan kobarnya tidak dengan panasnya, hanya berupa cahaya redup lemah, tak kusangka dia kecewa, tak kusangka dia terluka, aku masih ingat kata-katanya “cinta itu bukan milik siapa-siapa” harusnya dia mengatakan “ingin juga merasakan indahnya cinta”.
Juwita malamku bijaksana dia melepasku walau dengan air mata
“Cinta tak harus dimiliki” dan dia memilih untuk pergi.
Tapi bidadari api sungguh tak kumengerti, ketika aku telah sendiri dan datang lagi, mengajaknya merangkai janji hati, dia malah menutup diri, sama seperti Putri Hujan yang tak lagi membuka hati.
***
Tinggal kusendiri dan masih tak mengerti, tapi di sana ada si gadis Kopi, seperti Kopi dia hanya berfungsi seperti secangkir kopi, tidak lebih.
Dia bukan siapa-siapa hanya seseorang yang kukenal dari dunia maya, dia tak punya cinta, dia hanya punya logika, tapi bagaimanapun juga dia adalah wanita, kuceritakan lukaku padanya dan kuhanya dapat kikikan tawa, haruskah ada wanita seperti dia? Tak biasa! tapi ternyata dia pernah terluka dan tak lagi percaya pada cinta, pantas saja.
Dalam kolom chatting dia hanya bilang, “Akan datang wanita lebih baik nantinya, dan jangan pernah mengerti wanita, cukup cintai saja. Wanita bahkan tak mengerti apa yang diinginkan hatinya”
The End
0 comments