Pagi ini adalah pagi yang sempurna. Aku terbangun di sebuah kamar dengan aroma segar lavender. Di sampingku, sebentuk wajah itu begitu menyejukkan. Aku tak ingin menceritakan apa yang terjadi semalam, terlalu indah untuk kuceritakan, setelah ciuman sempurna di balkon itu. Yang jelas, semuanya terjadi persis sepertia apa yang kuimpikan selama ini. Walaupun tokoh dalam mimpi itu bukan Joe.
“Kamu sudah bangun Belle?” Suara sapanya mengalun lembut di telingaku.
“Hmmmmmmmmmm” aku menggumam manja, Joe menarikku dalam pelukkannya, dia membelai bahuku, dan mencium keningku.
“Terima kasih”
Aku memberinya sebuah senyuman hangat dan dia membalas senyuman itu dengan membelai rambut panjangku, aku masih berada dalam pelukannya, terasa hangat tapi juga dingin, terasa damai tapi juga menyisakan ketakutan.
Ada rasa yang sangat aneh, ketika kedua mata kami bertemu, aku menikmati tatapan teduhnya, tapi apa yang diterjemahkan indera penglihatanku itu nyaris tak bisa kudefinisikan, ada keanehan, ada rasa…rasa yang nyaris tak bisa kukatakan, seperti ketika menelan sirup obat, manis tapi memualkan, bahagia tapi juga merasa berdosa. Kuabaikan perasaan itu, tak kubiarkan aku tersiksa perasaan itu.
***
Sebenarnya aku ingin bangkit, tapi dekapan Joe seakan menghalangi, tapi sejujurnya aku merasa nyaman begini.
“Bells” Aku agak terkejut ketika panggilan itu terasa seperti panggilan yang kurindukan, tapi ketika kutatap mata itu, aku percaya yang sedang bersamaku adalah Joe, bukan Dave. Dave berada di atas sana, mungkin menyaksikan kami mungkin berbahagia untuk kami, untukku, perempuan yang disayanginya. Untuk Joe, sahabat sejatinya.
“Ya”
“Menyesal?” pertanyaan yang singkat tapi jawabannya pastilah tak sesingkat itu, ada dua jawaban, di satu sisi, aku menyesal, kenapa menyianyiakan waktu begitu lama untuk sebuah perasaan seindah ini, di sisi lainnya aku menyesali hal yang tak seharusnya kulakukan sebelum waktunya.
“Bolehkah…kalo kita…pura-pura tidak menyesal?” bisikku pelan. Joe menghela nafas, dan ibu jarinya mengusap lembut bahuku.
“Boleh”
Dan Joe mencium bibirku sekali lagi.
“Belle…setelah segalanya, aku tau, pada akhirnya kamu juga akan mencintaiku, pada akhirnya perasaanku terbalaskan juga, karena aku tau jauh dalam lubuk hatimu, kamu membutuhkan aku.”
“Maaf.., karena membiarkanmu menunggu selama ini”
“Waktunya pasti datang, dan inilah waktuku, saat yang paling tepat”
“Joe…” suaraku menjadi sedikit serak. “Boleh menangis?”aku bertanya malu-malu.
“Berapa banyak air matamu, sebelum ini yang kamu tumpahkan padaku?” sedikit sindiran tapi tak menyinggung perasaanku, itu adalah jawaban bahwa dia selalu bisa menjadi tempatku untuk menangis, dan akupun menangis.
***
Pagi ini dia memperlakukanku seperti putri, aku hanya dibiarkan duduk manis dan dia sibuk menyiapkan sarapan untukku, ada roti panggang gulung berisi keju dan sosis juga seteko kopi dengan krim, ada beberapa potong bunga matahari dan senyuman permanen di wajah Joe yang tampan, juga banyak cinta yang meluap-luap di udara, tolong jangan menganggap aku terlalu berlebihan, walaupun pada kenyataannya memang sangat berlebihan.
“Belle…” panggil Joe.
Aku mengangkat muka dari piring berisi sarapan, sejujurnya, aku tak terlalu tertarik menatap sarapanku, tapi aku cuma berpura-pura antusias, agar aku tak terlihat harus terus menerus menatap wajahnya.
“Bagaimana bisa kamu membuatku mencintaimu seperti ini?” apakah Joe harus selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesulit ini?
“Jawabannya …tak bisa kujelaskan” aku mengangkat bahuku, yeah aku tak suka menjawabnya dengan kata-kata. Aku lebih suka menjawabnya dengan memberinya pelukan hangat.
Bersambung....
0 comments