Ketakutan itulah yang membawa kita pada keberanian, terima kasih karena telah menjadi bintang untuk malam-malam kelamku
***
Aku merasakan kebencian permanen pada orang-orang yang ada di dunia ini, mereka seperti…KODOK!MENJIJIKAN! Mamaku yang tak tau cara mendidikku menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya pada pihak sekolah yang menyerah dengan begitu saja atas segala sikapku yang aku tau, well, aku hanya sedikit bandel, jauh dalam hati harusnya mereka tau apa yang kulakukan hanya karena aku butuh diperhatikan…aku butuh bimbingan bukan hukuman! hingga akhirnya surat skorsing itu ada di tanganku, yang menjadi tiket untuk mengatarkanku ke rumah nenek kota kecil membosankan. Seolah-olah nenekku adalah Nanny 911, masih kuingat apa yang beliau lakukan terhadapku pada saat kecil dulu, itu sedikit menimbulkan trauma, dan memang itu salahku, kala itu aku cuma anak lima tahun yang secara sengaja, karena pengaruh orang dewasa sekitar menyebutkan nama binatang berkaki empat yang lucu yang setia pada majikannya tapi dinilai sebagai kata yang tak pantas di untuk diucapkan. Hey, anak kecil tidak belajar sendiri untuk melakukan hal-hal buruk, orang dewasa yang mengajarkannya. Mau tau apa yang dilakukan oleh nenekku tersayang? aku disuruh berdiri di pojokan ruangan sambil menggigiti sabun mandi batangan selama sejam penuh, itu tak membersihkan mulutku, kurasa, tapi sudahlah! Percayalah, aku tidak berdusta!
Bukan merasa karena aku cukup dewasa (usiaku enam belas tahun) dan berniat berontak, tapi malam ini seperti malam-malam yang telah kulewati sebelumnya di rumah, aku memilih untuk melompati jendela dan berwisata tengah malam. Sayangnya ini kota kecil tua membosankan, tidak ada hiburan atau hingar bingar dunia malam. Mereka pikir akan membuatku tetap berada di dalam kamar dalam kedamaian mimpi dan selimut tebal? Takkan pernah! Aku keluar, kuharap ada sesuatu yang menarik yang bisa kulakukan di luar sana.
Jalanan sepi, tak ada kendaran yang melintas. Aku berjalan menyusuri malam yang temaram, lampu kotanya lebih tua dari usiaku, kurasa.
Bangunan-bangungan toko berdiri reyot seperti nenek-nenek renta, kurasa kota ini seperti panti jompo, hanya saja tak ada bau balsem dan minyak angin, tapi wangi roti yang menguar dari toko, tempat kuberdiri saat ini yang membuatku memutar memori.
Saat aku masih jadi gadis kecil, saat papa masih berada bersamaku, sebelum aku dan mama meninggalkannya hingga pada akhirnya ia, memilih pergi jauh dan membentuk keluarga baru. Bodohnya, aku menangis, tapi kenangan indah yang kami punya memang berkesan. Setiap pagi, sebelum berangkat ke TK, papa pasti membelikan bekalku di sini, roti coklat keju kesukaanku.
Aku meneruskan langkahku, sepi, tak terdengar apapun, hanya langkah-langkah kakiku yang menginjak trotoar keras, berwarna gelap dan kusam. Angin dingin membelai wajahku, dan aku lupa ini bulan Januari, dan hujan sore tadi masih menyisahkan titik-titik kelembaban. Kupeluk diri sendiri dan merasakan kaos tebal kedodoran membalut kulitku, ini baju lama papa, kadang ketika aku begitu merindukannya, aku memakai barang-barang miliknya, gila tapi aku berharap papaku memelukku sekarang.
Dingin tak dapat kutahan begitu saja. Kurogoh tas slempangku, mencari rokok dan korek api, menyalakannya dan mulai menghisapnya dalam-dalam. Aku suka merokok bukan karena nikotin, pengaruh teman atau apapun yang dianggap orang, lebih karena asap rokok akan mengingatkanku dengan wangi papa, aku masih ingat bagaimana dia membuat lingkaran-lingkaran perak yang akan membuatku senang.
Semakin mengenang, semakin membuatku tersiksa, kucoba mengubur kenangan itu.
Aku lelah dan bosan melangkah, jadi kuputuskan untuk duduk di bangku taman. Taman ini tak terlalu indah dan sepi, tapi tak apalah, mungkin aku bisa menghabiskan malam di sini, sambil menghisap rokok, menyesap kopi kalengan rasa mocca, dan mendengar musik dari I Pod-ku.
Kunikmati kesendirianku, hingga aku mulai menyadari bahwa ada seseorang yang diam-diam memperhatikanku, pemuda, seusiaku. Dia baru saja datang dengan scooter Pink-nya. Boleh kudeskripsikan tampangnya? Dia punya mata tajam tapi teduh, hidungnya mungil tapi sempurna untuk wajah tirusnya, bibirnya tipis, dia sedikit pucat, dan rambut kriwil lucunya berantakan karena tertiup angin, dia terlihat…aku tak ingin membahasnya! Karena sekarang dia tengah tersenyum padaku . Aku tentunya membalas dengan muka datar cuek. Itulah aku.
“Cewek, nikotin, kopi, di pukul dua pagi, hal yang tak biasa di kota kecil ini” tanpa permisi dia duduk di sampingku.
“Elo pikir ini kota elo sendiri?” aku bergumam dan menunjukkan tampang menjengkelkan terparah yang sanggup wajahku ekspresikan
“Gadis metropolitan rupanya…”dia seperti menyindir atau mungkin lebih tepatnya berbicara pada diri sendiri. “Nama?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya
“Coffee” kataku cuek sambil menunjukkan kaleng kopi setengah kosongku.
“Hmmmm” dia tersenyum, geli, selain tak ramah aku juga jutek, mungkin itu pendapatnya sekarang. “Okay, call me Chocolate” katanya sambil mengeluarkan mug termosnya, membuka tutupnya yang menguarkan aroma nikmat cokelat hangat. Tarian uap coklat hangatnya lebih indah dibanding tarian asap rokokku.
“Mengapa memilih tak tidur dibawah selimut hangatmu?” tanyanya ingin tahu. Dia menatapku menunggu jawabanku. Aku gugup dipandangi seperti itu, kupilih menghisap rokokku dan kulihat dia menyesap coklatnya.
“Kenapa elo nggak milih tidur di rumah loe?” aku menanyakan hal yang sama padanya
Dia tertawa kecil, lalu menjawab.
“Anggap saja, aku sudah terlalu banyak tidur, dan…kita bayangkan bahwa hidup ini hanya sekali, ada batas waktunya, apa yang akan kamu pilih? Memilih menikmatinya, atau malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur dan bermimpi?” dia menghela nafas. “Atau kamu bisa menganggap bahwa aku keluar di malam buta begini, cuma untuk menunggu bintang jatuh” dia tertawa lagi, aku sudah bisa mengenali tawanya, renyah dan hangat “kamu boleh menertawaiku, cuma anak kecil yang percaya bahwa bintang bisa mengabulkan keinginanmu… ” Ketika kecil dulu akupun percaya bintang jatuh dan segala keajaibannya, tapi sekarang tak lagi “aku ingin agar itu benar, agar permintaanku terkabulkan.” Bisiknya lagi, lebih lirih.
Aku mencoba untuk memahami kata perkata, dan aku…tidak begitu mengerti.
“Boleh mengatakan hal yang sedikit pribadi? Anggap saja aku membutuhkan teman bicara…”
Cowok aneh! Tapi kubiarkan dia, aku mengangguk dan secara bergantian menyesap kopi dan menghisap rokokku, tak tahu ini batang keberapa yang sudah kuhabiskan.
“Waktuku tak lama, dan di saat terakhirku, aku ingin menghabiskan waktu untuk hal-hal yang kusukai; aku suka bintang aku suka langit malam, jika suatu saat aku pergi nanti, aku ingin menjadi bintang di langit, agar aku bisa melihat orang-orang yang kusayangi dari atas sana” suaranya agak serak dan tergetar, dan ada cairan bening tertahan di sudut matanya. “Apa kabar Bee?” tanyanya pelan dan membuatku tersentak, Namaku Beatrice dan Bee adalah panggilan sayang dari orang-orang terdekatku.
Kutatap lama padanya, kucoba mengingat siapa dia, tanpa kuduga aku memeluknya. Dia Alan, cowok tetangga sebelah, teman mainku semasa kecil dulu. Sahabat yang menangisi kepergianku beberapa tahun lalu, anak laki-laki yang mengejar mobil mamaku saat mama membawaku dari papa, dari kota ini, tak menyangka dia masih mengingatku. Dan dia membalasku dengan pelukan hangatnya.
Ingin kukatakan padanya betapa aku merindukan kota yang ingin kulupakan ini, karena menyimpan begitu banyak kepedihan, ingin kukatakan kenapa aku memilih melupakan kamar dan selimut hangat untuk bermain-main bersama malam, itu semua karena ketakutan akan kenyataan yang tak bisa kuterima; saat mama di kamar sebelah, setelah waktu makan malam usai, setelah hari lelahnya sepulangnya kerja bersama suami barunya, mereka akan bercengkraman dan bersenda gurau bersama anak-anaknya tanpa menyertakanku, menyedihkan! Tapi itu pilihanku, karena…aku lebih suka mengunci pintu berpura-pura di dalam, padahal aku telah pergi menyusuri malam, aku tak bisa bersama mereka dan menjadi bagian keluarga baru itu. Aku memilih sendiri lebih karena ketakutanku.
“Bee…I miss you like crazy” bisiknya. Kata-kata itu terdengar sangat manis alih-alih gombal, terdengar penuh perasaan dari hati terdalam.
Betapa tenang menatap langit malam bersama seseorang yang kita pikir telah tak ada tapi masih menanti kita. Aku tahu apa yang di deritanya, penyakit jantung bawaan sejak kanak-kanak.
“Aku tau suatu hari kamu akan kembali ke sini” katanya lagi, aku tak sanggup berkata apa-apa, hanya menahan tangis dalam pelukan yang kini dipereratnya. “Tahukah kamu apa yang kulakukan malam kemarin?” dia kembali mengeluarkan tawa khasnya. “Menatap langit malam sambil mengharapkan bintang jatuh dan mengabulkan permintaan, seperti aktor dalam film drama aku berteriak Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok Tuhan tolong jangan menjemputku sebelum aku menemui cinta pertamaku.”
0 comments