Rahasia Gadis (59)



(Adrian)
Kita bisa menolak cinta
Kita bisa mengabaikan cinta
Kita bisa mendustai cinta
Kita bisa menyangkal cinta
Tapi sejujurnya, semua itu tak mudah, begitu menyiksa dan seperti dihantui dosa.

***

“Sudah berapa lama sekarang?” Ardian bertanya.
“Aku tak memahami perputaran waktu, dimensi kita dan dimensi mereka berbeda” aku menjawabnya, tidak melalui kata, tapi dia sendiri yang membacanya, lama-lama kami terbiasa untuk berkomunikasi tanpa suara, dan tentu saja tak ada yang mendengarkan, selain kami berdua.

“Tapi aku bahagia” Ardian berbicara, melalui pikirannya.
“Bahagia seperti bahagia yang kurasa?” aku bertanya
“Mungkin sedikit berbeda…atau mungkin sama saja” Ardian seperti dilanda rasa bimbang
“Kamu melihat mereka berdua?” Pertanyaan yang tak seharusnya ditanyakan, karena kami berdua tak pernah melepaskan pandangan dari keduanya.
“Tentu saja…mereka memiliki satu dengan yang lainnya sekarang, dan mungkin…”
“Tidak!!!!” aku berteriak
“Adrian…harus sampai kapan?”
“Selamanya … hingga akhir waktu…hingga di ujung batas!!!” aku seakan ingin melawan kehendak yang seharusnya tak terbantahkan, tapi…otakku yang mati secara harfiah tapi hidup secara tak harfiah mengatakan padaku, bahwa aku belum ingin pergi, aku masih ingin di sini, menikmati, keadaan ini suasana ini, walaupun…sungguh aneh harus menipu diri lagi dan lagi tanpa ingin berhenti, yah kami keluarga, dan apa? Mereka, Gadis dan Tiara, walau telah membawa raga Ardian pulang ke rumah, dan berpura-pura kita adalah keluarga, tapi…aku makhluk transparan seharusnya tak memiliki perasaan tapi entahlah walau sudah kubangun tembok pertahanan tapi air mata itu tak tertahankan!
Ardian hanyalah Ardian bukan Adrian tak pernah Adrian, walau Gadis kadang bingung siapa ayahnya sebenarnya, dia pikir ini hanyalah kesalahan dalam pengejaan, tapi Tiara meyakinkan bahwa Ardian hanyalah Ardian yang harus pergi untuk sebuah peran untuk Adrian, seseorang yang mati sia-sia dalam kecelakaan, saudara dari kekasihnya, yang membuat kekasihnya itu pergi dan memilih meninggalkannya sendiri dan membawa serta putri yang dipikirnya telah mati, Gadis!
Seandainya mereka tau bahwa kami adalah dua orang, seandainya mereka tau bahwa kami dulu saling bertukar peran.
“Seandainya Tiara tau kamu pemerkosanya..apakah kamu siap?” Ardian membacaku.
Mau tak mau aku tertawa…
“Bilapun dia tau…yang dipikirkannya itu adalah kamu! Wajah kita satu, dan yang dikenalnya hanyalah kamu! Dia takkan pernah membenciku, tapi hanya kamu! Karena aku adalah sisi gelap, makhluk tak terlihat tak pernah dianggap, tak lebih dari bayangan kelam, hina, dan hitam.”
“Bisakah kamu tidak menghina drimu sejauh itu! kamu pernah ada kamu pernah nyata!” Ardian berteriak
“Tapi tak pernah dianggap apa-apa!”
Aku  ingin menangis, saat aku tak bisa menjadi nyata, sedari dulu hingga kini selalu menjadi sesuatu yang tak terlihat dan rasanya sungguh menyakitkan.
“Mengapa tak berhenti untuk menyiksa diri?” Ardian bertanya seakan dia tak bisa menjawab…haruskah kuteriakkan dengan gambling sekarang?
“Haruskah segala kebaikan dan keberuntungan menjadi milikmu? Se-la-lu?”Aku terdengar seperti wanita tua perengek.
“Adrian..”
“Kukatakan saja semuanya!”
“Sejujurnya itulah yang tak pernah bisa kubaca” Ardian jujur mengatakannya, bahkan saat kami tak lagi berkomunikasi suara ke suara dari kata ke kata lainnya, tapi untuk hal satu ini Ardian memang takkan bisa mengerti, karena untuk hal ini, benar-benar kukubur, kuberi kunci.
“Bolehkah kukatakan bahwa aku iri?” akhirnya kukatakan dengan berani “Aku iri untuk kebaikan hati, aku iri untuk rasa sayang yang kamu miliki, aku iri karena kamu memiliki ibu Lestari, aku iri karena kamu memiliki Tiara, wanita yang kamu cintai dan juga mencintaimu, tak pernah mencintaiku, dan ketika iri itu berubah jadi benci, sungguh aku tak menyangka bahwa akan berakhir seburuk ini. Aku melakukan segalanya hanya karena ingin agar kamu menderita seperti yang pernah kurasa”
“Derita apa? Kamu bahagia Adrian!”
“Punya papa? Punya harta? Punya tahta?”
“Bukankah itu segalanya?”
“Apalah artinya jika tanpa cinta”
Akhirnya aku mengatakannya, akhirnya segala terbuka, aku selalu berteriak memaki cinta dan sekarang harus kukatakan padanya bahwa kebutuhanku hanyalah satu; kata yang kubenci, rasa yang kuhindari yaitu CINTA.

(Ardian)
“Kamu memilikinya… “ aku meyakinkannya.
“Tidak!”
“Yah kamu memilikinya” keyakinan yang harus kupertegas agar dia bisa menerimanya. “Jika tanpa cinta, mengapa kita bisa hidup seperti ini, berada di satu tempat, kamu tak bisa pergi tanpaku dan aku tak bisa pergi tanpamu! Berapa kali hal ini terjadi.
“Berkali-kali” aku mendengarnya menjawab pertanyaanku dari dalam hatinya. Sekarang aku tau, dia telah membuka pikirannya, mencabut selubung yang dulu ditutupinya, benteng itu hancur sudah. Dia menyadarinya tapi tak ingin mengakuinya.
“Kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu” Aku memberitahukannya seakan itu hal yang harus kuperjelas, cinta kadang tak perlu kata hanya perlu rasa tapi akan lebih baik jika diucapkan dalam bahasa yang indah.
Dia tertawa, singkat, pelan, dan…berubah menjadi tangisan, lalu tawa dan…
“Bodohnya aku…”
“Tidak” walaupun kita adalah dua makhluk tak terlihat tapi saat pelukan itu menyatu, yang kami tau ada harapan baru di mata dua wanita yang kami cintai, saat dia melihat ada senyum mengembang di raga beku yang tebaring kaku. Di Tubuhku.






0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top