( Gadis )
Ada tiga jenis dunia yang ada; dunia nyata, dunia khayal, dan dunia maya. Seberapun indahnya dunia nyata, tapi banyak diantara kita lebih memilih khayalan dan dunia maya, sebagai pelarian untuk mendapatkan rasa aman.
***
Bahkan di saat jam pelajaran terakhir berlangsung sore itu, otakku tak berusaha untuk menikmati kata demi kata yang tengah diucapkan guru seniku. Beliau membicarakan drama, suatu hari ini aku juga ingin ikut dalam drama, semoga mereka akan membuat sebuah pementasan. Jika itu terjadi, aku harus ikut serta. Tapi lupakanlah, ada sesuatu yang harusnya dipikirkan otakku sekarang. Sesuatu yang lebih penting.
Aku tengah memikirkan cara, agar aku bisa di terima di sini, dan secepatnya menjadi sang Glitteraty, pusat perhatian seluruh warga sekolah. Bagaimanapun caranya tahta Queen Bee itu harus jadi milikku. Silahkan menganggapku picik atau sebagainya, tapi walaupun terdengar hal itu bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan, tapi buatku dalam pergaulan sekolah itu bakalan bikin kamu dikenang dalam sejarah.
***
“Pokoknya aku mau kamu cari seorang hacker yang bisa bikinin aku account facebook, twitter ma blog pribadi yang langsung jadi lengkap dengan jumlah teman dan follower, harus jadi segera!” aku memperbaiki posisi dudukku, mencari posisi ternyaman tapi tetap terkesan anggun walaupun aku duduk di mobil. Raken yang ada di sampingku, menunjukkan tampang bosan menyebalkan, tak pantas dia bersikap begitu, mengingat dia dibayar untuk melakukan apapun yang kumau.
“Iya non”
“Sebenernya aku juga agak tidak terlalu setuju dengan media sosial berlebihan kayak gini, bikin kita kehilangan moment kehidupan real” aku agak ragu dengan ideku “Tapi sudahlah yang kulihat di sekolah, anak-anak pada sibuk dengan gadgetmereka. Oh Tuhan aku sungguh tak mengerti ada apa dengan dunia ini, ketika aku dalam dongeng aku menginginkan kehidupan nyata dan sekarang, betapa cepatnya keinginanku berubah, kali ini aku ingin menjelajahi dunia maya.”
“Pikirin lagi, sebelum nanti loe tiba-tiba pengen ke dunia jin” sindir Raken, kali ini dia menguap, aku tahu kebosanannya telah diambang batas. Terserah! Akan lebih mudah bagiku untuk mengabaikan kebosanannya.
“Hahahahahahaha” aku pura-pura tertawa. “Oia jangan sampe kamu lupa, abis ini kita mesti ketemuan sama pihak EO, buat ngomongin konsep party kita satnite nanti. Semuanya harus perfect. Ini penting banget buat aku, ini adalah penampilan publik pertamaku setelah aku terkurung dalam sangkar emas papa…” ketika menyebut kata papa, entah mengapa aku begitu merindukannya.
“Kapan Papa pulang?” Aku bertanya pada Raken dengan mata berkaca-kaca. Aku sungguh payah.
Dia mengangkat bahu, dan balik bertanya, pertanyaannya sungguh tak berperasaan.
“Kapan mulut elo bisa diam?”
Aku berharap aku bisa memakinya, seandainya menggunakan makian itu tidak termasuk pelanggaran nilai dan norma.
***
Aku menjabat tangan dengan penuh kemalasan pada pria flamboyan, yang memiliki tatanan rambut sempurna dan memakai jeans terlalu ketat, serta memandang Raken dengan begitu….seolah-olah Raken adalah sepiring daging sapi panggang lada hitam.
Aku tak begitu memperhatikan ketika dia menyebutkan namanya tadi, Shandy, Randy, Zaldy, or Baldy, whatever!
“Well, jadi kita bisa langsung aja bicarain konsepnya yak?” Dia berbicara terlalu ceria dan terlalu renyah, seperti keripik kentang bersalut gula. Aku tak yakin apakah ada kripik kentang bersalut gula.
Aku enggan menjawab, karena sejujurnya pertanyaan itu tidak ditujukan padaku, dia tak henti-hentinya menatap Raken dengan penuh kekaguman. Apakah Raken begitu mempesona? Ataukah pria ini memang tidak punya selera. Aku memutar bola mata, memilin-milin rambutku dan memilih pura-pura tidak berada di sana. Raken memelototiku, setelah dia menyadari bahwa aku tak menyukai situasi ini.
Aku memberikan senyum manis palsuku, dan mulai mengangkat bicara.
Sebelumnya aku menghela nafas dengan dramatis, lalu meneliti pria di depanku dengan seksama, dan yeah, sekarang aku benar-benar bicara.
“Aku mau sebuah pesta di ballroom hotel mewah, konsepnya kayak….Debut party…tapi tentu saja, tidak formal dan kaku, aku membenci hal-hal konvensional.” Entah mengapa ketika aku mengucapkan kata konvensional, dia terlihat menyembunyikan kedua kakinya di bawah meja. Apakah sepatunya telah ketinggalan zaman sekitar seabad?
Dia mengangguk-angguk penuh pengertian, yeah sudah tugasnya untuk memahami keinginan client.
“Bagaimana kalo kita pake konsep debut party ala bangsawan Prancis yang kita mix dengan pesta topeng? Menurut aku akan sangat sempurna bila waltz bertemu dengan gown and tuxedo” Dia memberiku senyum ala iklan model pasta gigi gagal, karena di giginya ada terdapat cabikan kecil kulit cabe.
Aku memutar bola mata, kukatakan tadi aku tak ingin sesuatu yang terdengar konvensional. Aku tak ingin berdandan ala Marie Antoinette yang pada akhirnya berakhir tragis kehilangan kepala karena tuntutan rakyatnya. Buatku itu terdengar mengerikan.
“Maksudku…aku tak ingin yang kon-ven-si-onal!” aku memperjelasnya. Raken terlihat mengantuk mendengar obrolan kami.
“Bagaimana dengan tema …Masquerade party?” Dia memberikan opsi
Aku menggeleng.
“Mystery party?”
“Sekarang januari, Hallowen udah lewat kali…”
“Princess Party?”
“Seumur hidup si Coppelia jadi princess” Ejek Raken sambil memainkan sedotan minumannya. Ice Lemon Tea-nya sudah tandas, matanya menatap penuh harap pada gelas minumanku. Kugeser kedepannya dan langsung ditandaskannya.
“Entahlah, aku mengangkat bahu, I have no idea” Aku menggeleng kecewa.
“Bagaimana dengan Hollywood star atau Theme Movie Party, kupikir kamu akan terlihat sempurna bila berpenampilan seperti Audrey Hepburn dalam Breakfast at Tiffany” Aku berpikir sekali lagi, seperti adegan dalam film lama, mungkin keren juga. Tidak konvensional. Yeah ada sentuhan chic and vintage aku suka temanya.
“Hmmmm…okay” aku mengangguk, tapi tidak menunjukkan antusias agar ia tak terlalu puas.
“Sempurna”
“Aku semuanya siap tepat waktu dan berjalan sempurna, senang bekerja sama” Aku memberinya senyum yang tak bisa dideskripsikan. “Pembayaran akan di urus akuntan saya” kataku sambil menatap Raken yang tersentak.
“Okay…”
Dan si pria flamboyan berlalu. Raken menatapku, lalu menggelengkan kepalanya dengan gaya menyesal. “Elo bilang mau jadi diri sendiri, Kapan elo akan jadi diri sendiri kalo begini?” Jujur aku tak begitu mengerti.
Bersambung….
0 comments