Sebelumnya: http://theuncensoredconfessionofsillydramaqu.blogspot.com/2011/10/rahasia-gadis-1.html
Untukmu, kutukarkan khayalan dengan kenyataan, semampu energi yang kumiliki
Sungguh, karena aku mencintaimu sepenuh hati
Karena aku tau, Kenyataan bukanlah dunia yang nantinya ingin kau tempati
Jika terpaksa kakimu melangkah pergi, jangan pernah menyesal jika tak lagi bisa kembali
Setiap pagi selalu begini, tak pernah Papa menemaniku sarapan pagi, hanya sebuah pesan singkat di atas kertas putih, dia selalu menahanku dibalik dunia mimpi, Papa menjadikanku seorang putri dalam sebuah negeri ciptaannya sendiri, seorang putri yang hidup hanya bertemankan sepi, membuatku tak mengerti mengapa dirinya memaksaku menjalani hidup sesulit ini, mungkin dia hanya menuruti kata hati, mencoba mengikuti naluri dan imajinasi, menjadikan sebuah mimpi tetap abadi. Tapi, sungguh aku tak ingin menjadi seorang putri bila begini.
Kutinggalkan sarapanku, dan kusobek kertas putih bertuliskan tulisan tangannya yang indah itu, aku tak peduli apapun yang otaknya rencanakan untuk hidupku, aku punya kehidupan sendiri, apa Papa tak pernah mendengar adanya sesuatu bernama hak asasi?
Kumasuki kamar dan membanting diri diatas tempat tidur berkanopi, tempat tidur seperti milik para putri, aku ingin berteriak bahwa aku muak dengan segala lelucon kekanak-kanakan seperti ini, aku ingin kebebasan, kebebasan akan kenyataan, aku ingin menjalani sebuah realita. Usiaku 15 tahun, kubayangkan sebuah kehidupan berwarna-warni, pergi kemanapun sesuka hati, memiliki teman sejati, mulai main hati hingga menemukan seorang kekasih, tapi aku masih saja sebagai gadis yang terkurung dalam mimpi abadi.
Aku menangisi kemalanganku, dulu, sering kali aku sering menangis untuk hal-hal yang tak kuketahui, ini agak sedikit tak bisa dipahami, tapi ada kalanya aku hanya merasa sedih tak tau kenapa, cuma sedih dan tiba-tiba saja air mata membasahi pipi, mungkin karena sepi dan perasaan sendiri, seandainya bisa seandainya boleh, aku ingin pergi ketempat yang tak diizinkan oleh Papa untuk kudatangi, bukan untuk memuaskan hati tapi hanya ingin memberikan bukti bahwa suatu hari aku bisa lari, lepas jauh dari gengamannya, dari jerat jari-jari miliknya.
***
Malam ini, seperti biasa Papa datang menemuiku di jam tidur.
“Mau bacain dongeng buatku?”tanyaku, dalam nada suara yang sama sekali tidak ramah, aku duduk di depan meja rias yang memiliki cermin yang indah, aku dulu berharap seandainya cermin ini seperti milik Ibu Putri Salju yang keji, setidaknya di waktu-waktu sepi aku memiliki teman berbicara.
Papa mendatangiku, mengambil sisir dan mulai menyisiri rambut panjang indahku, dengan lembut dan sangat hati-hati, aku merasakan sentuhan tangannya yang penuh cinta, yah…aku mengerti bahwa Papa menyayangiku sepenuh hati.
“Gadis…please…berhentilah memasang wajah seperti itu!” Papa menatapku melalui cermin, mata itu memandang sendu, “Waktunya tidur, Papa akan membacakanmu sebuah dongeng.” Aku bangkit dari tempat dudukku dengan tiba-tiba, sisir yang tadinya tergengam ditangan papaku jatuh dilantai.
“Dongeng apa lagi, Papa? Berhentilah mengatakan semua hak tak masuk akal dan memuakan itu! apalagi yang perlu diceritakan? Aku sudah mengalaminya, hidupku adalah sebuah dongeng dan Papa yang menulisan dongeng itu semua, Papalah pengarangnya, tolonglah Papa, segera datangkan pangeran berkuda putihnya, agar aku bisa terlepas dari sini, dari Puri sang penyihir jahat yang kubenci…” aku seperti memuntahkan segalanya, kata-kata dan juga air mata, aku menangis dan jatuh terduduk di lantai, aku lelah dengan segalanya, apa yang kujalani dari hari ke hari sepertinya tak berarti. Aku mulai memeluk kedua kakiku dan membenamkan kepalaku, tak ingin kulihat wajah Papaku, untuk saat ini, aku hanya ingin terbangun dari mimpi, aku ingin bahwa apa yang kualami akan berubah besok pagi saat alarm berbunyi dan aku menjadi orang yang berbeda, seorang gadis yang pagi itu akan berangkat ke sekolah, bukan gadis yang menghabiskan waktu ditempat seperti ini.
Dalam sedihku, aku merasakan sebuah kehangatan, kehangatan yang kukenal, Papaku memelukku, dia membiarkanku menangis, menangis seperti dulu, hingga aku terjatuh dalam tidurku, tapi kali ini takkan pernah lagi, aku ingin meminta kebebasanku, hakku untuk bisa seperti remaja seusiaku.
Kukumpulkan kekuatanku, kuberanikan diriku, kulepas pelukannya, kutatap matanya, mata itu, mata yang sama seperti milikku, wajah yang nyaris serupa seperti wajahku, rasanya berat dan sulit untuk kulakukan, aku ingin mengatakan kalimat-kalimat panjang yang telah dirangkai otakku seharian penuh tadi, alasan-alasan masuk akal itu, kata-kata yang mungkin akan membuatnya mengizinkanku merasakan kekebebasanku, mendapatkan apa yang diinginkah hatiku, tapi entah mengapa, lidahku mengkhianatiku…”Aku membencimu” Itu yang kukatakan, hanya kata-kata itu, sebuah kalimat menyakitkan yang tak pernah ingin kuucapkan, kalimat yang tak pernah kurencanakan, tapi lidahku melakukannya. Papa menatapku, lama, waktu seolah berhenti segalanya melambat Papa menatapku tak percaya, dia terdiam, matanya menetapku selalu begitu, sendu, air mata mulai menggenangi matanya, tapi entah kenapa, air mata itu tak pernah menetes, seperti sebuah ilusi yang tak bisa kupercayai, air mata itu mengering dan tak ada lagi tatapan sendu yang kutau milik Papaku, segalanya berubah, berganti, mata sendu itu menatapku tajam, tak ada lagi raut sedih, bibirnya terhiasa sebuah senyuman, dia tersenyum lebar, senyum aneh yang tak pernah kukenal, seperti sebuah seringai, kupikir ini hanyalah tipuan mataku yang berkaca-kaca karena tergenang air mata, tapi entah kenapa aku merasa segalanya berubah, menjadi begitu berbeda, Papa mencium pipiku, sesuatu yang seingatku tak pernah dilakukannya, karena dia selalu mencium keningku dan membelai rambutku, itu saja lalu mengucapkan selamat malam, tapi…kali ini dia mengacak-acak poniku dan dia berkata. “Sampai ketemu, di waktu sarapan pagi”.
0 comments