(Ardian)
Kami berdamai dengan cara yang sebenarnya, kita hidup dalam satu tempat, berbagi seperti sejak awal kami diciptakan. Kami bertukar tempat secara adil dan menyayangi putri kami bersama-sama. Bisa kuterima sekarang, bahwa Gadis bukanlah putriku yang sesungguhnya, tapi secara emosional, aku mencintainya dengan dalam, dan Adrian tak keberatan membagi cinta putrinya denganku. Bagaimanapun juga dia adalah tanda satu-satunya dari wanita yang sama-sama kami cintai.
Ada keinginan untuk menceritakan segalanya pada Gadis, tapi kuyakinkan hal ini akan sulit untuk dipahami tak mudah untuk dimengerti. Sungguh, akupun merasa frustasi saat ingin mengungkapkan semuanya, tapi putri yang kubesarkan dengan cinta ini benar-benar sosok malaikat yang terlahir ke bumi, jiwanya begitu mulia. Dia bahkan tak ingin mengetahui kebenarannya, seberapapun menyakitkannya, bagaimanapun diriku atau dalam kasus ini adalah dua orang dalam satu tubuh, Gadis tetap memiliki cinta untuk papanya, kami berdua; Ardian dan Adrian.
Janjiku dalam hati, kelak ketika tiba waktunya, maka dengan segala kerendahan dan kesiapan hati, setelah kami menjadi lebih berani, Gadis harus bertemu ibu kandungnya, tak hanya Gadis, Tiara-pun kuyakin pasti takkan mudah untuk menghadapi hari yang kami rencanakan ini. Begitulah hidup, kadang kami tak benar-benar tau bagaimana keajaiban atau keburukan menjalankan permainannya. Manusia hanya perlu melaksanakannya bila terlalu sulit untuk memahaminya.
***
Seminggu terlewati sejak kepergian ibu Lestari, segalanya seperti berjalan dengan seharusnya setelah peristiwa sedih itu. Seperti yang kuniatkan dalam hati aku mulai membiarkan Gadis merasakan tantangan hidup dalam realita. Ketakutan berlebihan itu sebenarnya bukan milik Gadis, hanya kekhawatiranku sebagai ayah saja.
“Papa, boleh minta satu hal?” Gadis bertanya penuh harap, aku tau keinginannya pasti diharapkan olehnya agar dapat terkabulkan.
“Apapun” jawabku, pagi ini aku mengantarkannya ke sekolah, mungkin besok lusa aku akan menghadiahkan Gadis mobil sendiri agar dia bisa lebih mandiri.
“Janji bakal dikabulkan?” dia bertanya lagi, mungkin sedikit trauma dengan keinginannya terdahulu, saat dia menginginkan kebebasan.
“Bolehkah aku menjadi remaja normal?” Aku menebak keinginannya
Dia tertawa, terdengar manja tapi menyenangkan.
“Kita sedang mencobanya, Papa!” dia mengingatkan.
“Lalu?”
“Bolehkah…setiap pulang sekolah aku mengunjungi panti asuhan Ibu Lestari?” agak ragu saat mengatakannya “aku janji akan bersikap baik” saat mengatakannya dia menggengamkan kedua tangannya di depan dada seperti orang yang sedang berdoa, memohon doanya bisa terkabulkan.
“Hmmmm”
“Bolehkah?”
“Untuk apa?” aku cuma ingin memastikan “bukankah kamu ingin mencoba kehidupan remaja?” aku mencoba mengingatkan niat awalnya.
“Bolehkah kukatakan, bahwa kehidupan remaja yang sudah kucoba beberapa waktu ini cukup membosankan? Di saat kupikir jadi remaja itu menyenangkan di satu sisi aku malah kebingungan Papa, tapi bukankah kebingungan itulah yang membuat kita belajar? Gampangnya adalah, aku janji aku akan menjadi remaja normal, di satu waktu, tapi izinkan aku berbagi dengan …sejujurnya aku kesepian” Entah mengapa saat Gadis mengatakan dia kesepian, ada rasa bersalah yang dikirimkan oleh Adrian ke pusat olah pikirku, ya aku tau Gadis memiliki perasaan khusus pada pemuda itu, Rakendra, pemuda yang kurimkan untuk menjaga Gadis tapi dianggap ancaman oleh Adrian, dan sementara kesalahan Adrian belum bisa kuperbaiki, sebaiknya apapun keinginan Gadis mau tak mau harus kuturuti. Aku tak ingin membuatnya kecewa lagi, apalagi sampai tersakiti berkali-kali.
“Aku belum mempunyai teman yang sesungguhnya” dia terdengar sedih saat dia mengatan hal itu” bolehkah jika aku berteman dengan anak-anak panti? Bolehkah bila aku berbagi dengan mereka, aku bisa menganggap mereka saudaraku, anggota keluarga yang tak pernah kumiliki” matanya berkaca-kaca saat mengatakannya, aku tahu Gadisku memang berperasaan halus.
“Hatimu sungguh mulia, papa bangga padamu sayang” aku mengusap kepalanya dengan sayang. Gadis seperti biasa, membuatku merasa berharga, dia memberiku sebuah ciuman sayang dipipiku.
“Aku punya papa terbaik di dunia” dia berseru, keluar dari mobil dan memasuki sekolahnya dengan ceria. Tak ada pemandangan yang lebih indah selain memandang bahwa Gadis kecil merasa bahagia.
0 comments