Percayakah kamu bahwa hidup itu tak lebih dari kumpulan dongeng?
Awalnya, otak realistisku menolaknya
Tapi ketika aku mengalaminya
Aku tak bisa mendustainya.
***
Seperti sang putri tidur yang terselamatkan oleh sebuah ciuman, akupun bangkit kembali dari mimpi panjangku, tapi bukan cinta ataupun ciuman yang menyelamatkanku, hanya sebuah ungkapan kebencian.
Sederhana. Aku juga tak menyangka akhirnya hari ini datang juga. Aku kembali lagi pada hidup, yang seharusnya sudah mengusirku ke dunia kematian yang kelam. Maafkan aku saudaraku tersayang, atas usaha sia-siamu menjadikan sebuah kehidupan orang yang kau cintai sempurna, tapi malah membuatmu terkubur dalam ragamu sendiri. Benci ya benci, itu yang kumiliki dan sekali lagi kau salah, cinta tak bisa mengalahkan segalanya.
***
Belasan tahun ini, aku hanya seperti seseorang yang menonton drama dalam layar raksasa. Menonton kehidupan yang seharusnya kumainkan sendiri, bukan olehmu sang pemeran pengganti. Kali ini aku harus hati-hati, saatku lengah kamu berusaha untuk terjaga, mengambil alih sang raga, tapi sekarang aku tau aku takkan lagi mengizinkanmu. Aku telah terlalu lama tertidur, dan aku janji pada diri sendiri tak ada waktu lagi untuk menikmati hidup dalam mimpi.
Masih kuingat suratmu tadi pagi yang kuyakin kau tulis saat kau merebut kendali raga ini;
Kekuasaan menimbulkan kehausan akan darah, bahkan saudara sedarahmu yang darahnya adalah darah yang sama yang mengaliri tubuhmu, yang kini hanyalah sebagai pelepas dahaga jiwamu, yang kau ubah menjadi sesuatu yang halal untuk sebuah hak istimewa, kemasyuran, kejayaan, sebuah tahta yang luar biasa.
Bila Remus mampu membunuh Romulus, saudara kembarnya demi sebuah keagungan. Agar dalam sejarah namanya terukir indah sebagai pendiri kota Roma, maka kisah kita nyaris tak berbeda, saudaraku. Hanya saja aku tak pernah membunuhmu, kematianlah yang datang padamu dan memberikan hidup untuk tubuh sekaratku, aku berhutang padamu., walau tanpa izinmu tapi hati itu kini berada dalam tubuhku, separuh bagian berharga dari dirimu, tapi…memang tak hanya itu, nama hingga tahtamupun kini menjadi milikku walaupun ini tak pernah jadi inginku.
Inilah yang kubayar untuk sebuah kehidupan, kematian memilihmu, alih-alih aku, walau raga ini milikku tapi aku tetaplah dirkui, saudaraku. Kita berbagi tubuh walau tak ada yang pernah tahu, tapi bila kau hidup dalam tubuhku, laranganku hanyalah satu, selain itu lakukanlah sesukamu, kecuali itu… jangan pernah lukai putriku.
Putri? Dia putrimu secara emosional, tapi secara biologis? Dia milikku.
Putriku. Akan kuubah segalanya untukmu, takkan kubiarkan kamu terpenjara dalam dongeng penuh drama yang saudaraku ciptakan untukmu
Saudaraku, kita berbeda, walau sekarang berada dalam raga yang sama. Akan kubawakan realita indah untuk putriku tercinta. Aku lelah dengan dongeng yang akhirnya menjadikanku tak lebih dari seonggok parasit seperti sekarang ini. Takkan kubiarkan dongeng itu terulang lagi….takkan pernah.
***
Ketika aku hanya bocah kecil aku tau hidupku tak bahagia, tak ada cinta disana, tak ada kehangatan. Otakku diajari untuk mengakrabi kebencian, tapi ketika buku dongeng itu terbuka dan memberiku kisah nyata. Untuk pertama kalinya aku merasakan rasa yang berbeda, yang disebut cinta.
Sang Pangeran dan Pengemis, bukan hanya dongeng klasik Mark Twain. Itu kisah hidupku; Akulah sang pangeran, dan saudaraku yang malang adalah pengemisnya. Dipertemukan secara sengaja oleh takdir. Aku jatuh cinta pada wajah yang nyaris sama denganku. Jatuh cinta dengan sosok penuh cinta yang adalah bagian dari hidupku. Cinta yang seharusnya, tapi tak pernah diajarkan ayah.
Ayahku…kejam, memilih membuang putra bungsunya, saudara kembarku. Karena apa? Karena kita terlalu sama, nyaris tak ada beda.
Dikhawatirkan akan menimbulkan bencana Merebut tahta haramnya. Sebuah mitos yang penuh dengan kebodohan.
Ketika aku hanya laki-laki kecil, kuingin menukarkan segalanya agar aku bisa berada dalam posisinya. Dalam kesederhanaan, dalam kebahagiaan, dalam kehangatan panti asuhan. Ingin kutukarkan dengan tahta yang hanya mengajarku dengan penuh kebencian.
Kenangan masa kecil yang ingin kulupakan.
“Tidak ada cinta! Ingatlah!” aku berteriak pada diri sendiri. Aku menghempas sebuah tinju keras pada cermin raksasa di depanku. Kaca-kaca retak itu menampilkan bayanganku. Tapi tak kulihat diriku di sana…ya…aku tak pernah ada. Bukan aku bayangan di dalam kaca, hanya saudara sejiwaku, yang mencoba membujukku untuk menyerah, kembali ke tempat seharusnya. Maaf, tapi itu takkan pernah.
Bersambung…
0 comments