Ada saatnya kita ingin mengubur kenangan masa lalu
Tapi kita tahu, masa lalulah yang membwa kita pada masa depan
***
(Zara)
Aku baru saja menampar putriku, kemarahanku tertumpah begitu saja saat mendapatinya melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis remaja yang baru berusia lima belas tahun. Dia dan pacarnya, sedang berciuman di sofa ruang tamu.
“Arrrrrrrrgggghhhht….” Dia berteriak, memandangku seakan hendak menerkamku.
“Aimee!” aku berteriak memanggil namanya, tapi dia berlari menuju lantai dua, dengan langkah cepat-cepat.
“Malam tante “ pemuda yang terlihat malu-malu, kurasa dia pamit pulang, minimal dia masih mencoba bersikap sopan, bukan salahnya, mugkin putriku yag kelewat murahan. Kuabaikan pemuda itu dan secepatnya aku mengejar putriku. Aku ingin bicara berdua saja dengannya sekarang.
Aku mungkin bertindak berlebihan, tapi…bagi orang tua manapun, pemandangan tadi seperti sebuah mimpi buruk. Aku tak kuasa menahan air mata, mungkn saja kejadian ini juga karena kesalahanku juga.
“Aimee…sayang” aku membujuknya, aku ingin agar dia mau membukakanku pintu. Tak ada sahutan. Aku masih menunggu.
“Aimee…” aku masih memanggilnya, kali ini disertai ketukan di pintu.
“Aku benci mama!” teriakan penuh kemarahan itu terdengar menyakitkan, membuatku mudur dan berbalik, berjalan pergi meninggalka pintu kamar, yang tak mau terbuka utukku.
Aku turun lagi, berjalan gontai menuju dapur. Rumah ini begitu sepi, apapun bisa terjadi bila aku tak ada di sini, putriku harusnya lebih bisa kuproteksi.
Aku ingin memanggil pembantuku untuk membuatkanku secangkir teh hangat, aku perlu sedikit ketenangan, kubatalkan, aku lebih memilih untuk membuatnya sendiri.
Aku tengah menghirup aroma nikmat ginger tea, tapi langkah kaki yang terdengar tergesa-gesa membuatku bangkit. Aimee dengan pakaian rapi, bersiap-siap pergi.
“Sayang…” aku memanggilnya,sedikit berlari agar aku bisa mencegahya pergi, berhasil kuraih tangannya.
“Aimee” aku memandangnya denga tatapan permohonan, kuharap dia tidak pergi, ini jam 10 malam.
“Apa lagi ma?” dia memandangku dengan mata yang berkilat tajam, dagunya terangkat. “Pengen nampar aku sekali lagi?” dia menghampiriku, mendekatkan pipinya padaku. “Mama menampar aku gara-gara sebuah ciuman! Aku 15 tahun, gadis remaja, apa salahnya jika pacarku menciumku? Berhentilah bersikap seolah mama adalah ibu yang sempurna! Jangan munafik, makin lama mama makin membuatku muak, tau kenapa? Aku cuma ciuman…! Dan apa yang mama lakukan ketika tidak ada papa? Membawa-bawa brondong-brondong, atau….gigolo-gigolo muda mata duitan! Apakah yang mama lakukan tidak jauh lebih parah dari apa yang kulakukan?” Dia berbicara dengan nada manja kekanak-kanakannya yang menyebalkan, kali ini dia benar-benar menamparku dengan kata-kata kasarnya. Aku tak mencegahnya, kubiarkan dia pergi dengan segala sakit hati dan tuduhannya.
***
Aku tak bisa memejamkan mata, bukan hanya karena kejadian memalukan tadi juga karena putriku tengah malam begini masih berkeliaran di luaran sana, tapi juga karena tuduhan-tuduhannya. Aku tak menyangkalnya! Hanya saja, seandainya saja aku bisa mengatakan semuanya…
Otakku mau tak mau kembali ke masa lalu, kehari dimana aku seharusnya mengambil langkah lainnya, seharusnya aku memutar jauh, bukannya melewati sekelompok anak-anak tim basket yang baru saja memenangkan pertandingan nasional, sedikit mabuk karena pesta, perayaan kemenangan.
Mereka memanggilku, sebuah panggilan yang tak pernah kuyakin aka diterima gadis culun sepertiku. Para atlet menyukai gadis seksi, anggota cheerleader atau anak klub dance, bukan gadis berkacamata yang cinta dan waktunya dicurahkan pada tumpukan buku berdebu di sudut perpustakaan.
“Zara…” panggil salah seorang, entah siapa, yang lainnya tertawa-tawa. Kupikir mereka baru saja menertawakan lelucon bodoh yang kuyakin ada hubungannya dengan diriku. Mata mereka memandangku dengan tatapan, seolah aku keranjang basket, dan di tangan mereka ada bola yang harus dimasukkan kesana.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore lebih. Aku terlambat pulang, aku terlalu asyik dengan buku yang kubaca tadi. Gadis bodoh! Seharusnya aku tak terlena, ibuku bisa membunuhku gara-gara aku lupa waktu.
“Hey Zara…boleh ngomong sebentar! Agam pengen ngomong ma elo! Dia terlalu malu buat jalan dan memperkenalka diri ke gadis cantik kayak elo!” ada suara lagi, dan lagi-lagi disertai tawa, tawa mengejek yang membuatku ingin menangis. Aku mempercepat langkahku, aku mencoba mengabaikan mereka dan sesegera mungkin sampai ke rumah, sebelum ibuku benar-benar meledakkan amarahnya yang bisa membuatku menderita radang telinga.
Terlambat! Langkahku terhenti, Tommy, aku sangat jelas mengingatnya, cowok itu! pahlawan tim basket, seseorang yang punya senyum manis menawan, yang senyumnya sering kali masuk melewati jendela imajinasiku. Kali ini dia ada di depanku, tersenyum manis, lebih manis dari yang mampu diciptakan ilusi.
“Zara…” dia terseyum, aku terlalu gugup untuk membalas senyumnya. Aku terlalu terpesona oleh wajah rupawannya. Dia terlihat keren, wajah bagai ukiran sempurna, rambut godrong ikalya sedikit basah dan aku mau tak mau harus mengalihkan pandanganku manakala dia melepas kaos basketnya yag basah karena keringat. “Gabung sebentar untuk berpesta, dan gue janji, kita bakal bersenang-senang dan, gue bakalan antarin elo pulag ke rumah, janji.”
Ada tak percaya, tak percaya karena …apakah ini mimpi ? Tommy berbicara padaku dan dia mengetahui namaku, dan anehnya sekarang dia memegang tanganku, dan aku mengikuti langkahnya. Kami berjalan ke pinggir lapangan. Sekolah mulai sepi, dan lapangan basket terletak jauh di belakang, ada rasa was-was, tapi kuabaikan, aku hanya mampir sebentar.
Tommy mengajakku duduk dan aku duduk di sampingya, beberapa dari anak lelaki medekat ke arahku.
“Tommy selalu bisa diandalkan” ada senyuman licik saat cowok jangkung bernama Petra itu menatapku. Tatapannya membuatku ketakutan.
“Jangan berlaku seperti babon tanpa adab, guys” Tommy terkekeh, ada apa dengan mereka? Terlalu banyak tertawa, entah mereka mengejekku atau mereka memang gila. “Buat Zara nyaman, berlaku sopanlah pada wanita! Ingat…elo elo punya ibu dan sodara yang berjeis kelamin cewek. Tommy mencoba …kuanggap dia melindungiku, caranya melingkarkan lengannya di leherku tak kupikir sebagai sesuatu yang seharusnya perlu diwaspadai.
Aku ingin bicara. Tapi tak tahu harus megatakan apa “Boleh aku pulang?” aku bertanya, mulai terasa tak nyaman.
“Zara, hari belom terlalu gelap, berpesta sebentar, aku janji akan mengantarmu pulang” Tommy membuatku ketakutan sekarang, dia memelukku dan menciumi pipiku, aku mencoba terlepas dari pelukannya. Tapi entah mengapa, pelukannya semaki erat, dan aku tak bisa bergerak, mana kala Tommy malah menghempasku di tanah berumput di samping lapangan basket. Aku masih ingat langit bercahaya kemerahan, dan wajah-wajah dan tawa-tawa membuatku makin ketakutan. Aku ingin berteriak, tapi tangan itu terlalu besar menutup mulutku. Aku ingin berteriak dan meronta, tak ada yang bisa kulakukan, mereka, lebih dari lima orang menahan tubuhku agar tak bergerak. Selanjutnya adalah bagian yang tak ingin kuingat tapi tak bisa kulupakan, satu persatu pakaianku terlepas dengan kasar, mereka memperlakukanku seakan aku binatang, aku bukan manusia dimata mereka kala itu, dan mereka tak lebih dari iblis dalam topeng-topeng remaja naïf. Segalanya terjadi, peristiwa terkelam dalam hidupku. Hari yang membuatku harus mengubah langkah, tak pernah terpikirkan harus menghadapi peristiwa ini. Bagian inilah yang membuat apa yang terjadi selanjutnya tak lebih dari perjalanan melelahkan dijalanan berdebu dan berlubang.
***
Aku memandag bayi laki-laki tampan dalam pelukanku, terlihat rapuh tak berdaya, tapi membawa harapan. Menatapnya membuatku merasakan cinta yang mendalam, ada keinginan untuk tetap membuatnya berada dalam pelukanku. Aku tak kuasa melepasnya, hari ini ibu mengantarkanku pada sebuah panti asuhan. Peristiwa senja di tepi lapangan basket sekolah membuahkan seorang putra, entah dari yang mana, salah satu dari lima iblis yang tak pernah tau apalagi bertanggug jawab. Aku membenci mereka, tapi tak sanggup membenci makhluk mungil yang sekarang berada dalam pelukanku, tapi harus kulepaskan.
“Namaya Rakendra” itu yang kuucapkan, sebelum aku menyerahkan pada seorang wanita berwajah lembut yang langsung menggendong bayiku, menciumnya dan menatapnya dengan penuh cinta. Bayiku yang malang, betapa mudahya orang jatuh cinta padamu, seandainya orang tuaku tak terlalu memikirkan kehormatan dan masa depanku, tentunya mereka takkan menyarankanku melakukan hal ini, menyerahkan bayiku.
“Boleh aku menciumnya sekali saja” aku memohon, wanita itu memberikan lagi bayi itu padaku, aku menciumnya berkali-kali, bayiku menangis, air mataku dan air matanya menggenang di pipi merahnya.
“Ibu Lestari, terima kasih” itu suara ibuku “Zara akan berangkat besok pagi ke Jerman, masa lalunya harus terlupakan, bayinya akan aman bersama anda” Ibuku merebut putraku dari hangat pelukanku, aku masih bisa mendengar tangisan malangnya. Bayiku di serahkan pada ibu Lestari yang sekarang tersenyum iba padaku yang berurai air mata karena harus berpisah dengan anakku. Seharusnya aku tak meninggalkannya di sana, seharusnya aku tak mengikuti paksaan tangan ibuku yang meyeretku.
***
Mungkin hidupku sempurna sekarang, aku memiliki keluarga baru; pria yang mencintaiku yang mau memaafkan masa laluku, juga seorang putri cantik yang sangat kusayangi, tapi di dalam hati aku tak pernah menyayanginya lebih daripada rasa sayangku pada putraku yang dulu, salahku.
Obsesiku pada putraku membawaku untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang kupikir apabila dewasa dia seusia putraku, tapi memang tak wajar, walaupun yang kulakukan hanya berperan sebagai ibu pada putranya, tak pernah kusadari sampai hari ini, saat tuduhan keji putriku bagai menamparku di pipi. Bodohnya aku, apa yang telah kulakukan? Aku berharap pada sososk-sosok seperti putraku yang kuyakin memang bukan dia, aku hanya menipu diri selama ini, harusnya aku lebih bijaksana, bukankah ada cara yang lebih mudah? Aku akan mencari ke sana, tak peduli apa yang terjadi aku harus menemui ibu Lestari, mencari tahu, dimana Rakendra, di mana putraku kini berada.
0 comments