Rahasia Gadis (40)

(Gadis)
Pem-bully itu tak lebih dari sekumpulan para pecundang
Lawan mereka, dan jangan pernah biarkan menang

          Hari ini konsentrasiku buyar, dan aku bisa memastikan hal ini tidak memiliki korelasi dengan cowok aneh yang keren yang hari ini mencoba merayuku di perpustakaan.

          Aku berkali-kali menjatuhkan buku, pulpen dan apa saja yang ada di meja selama pelajaran berlangsung di kelas tadi. Tatapan-tatapan tak nyaman, selalu tertuju padaku. Jujur aku gelisah, perasaanku benar-benar tak baik saat ini, entah apa yang terjadi, aku khawatir, tapi tak tau apa yang kukhawatirkan, aku tak suka perasaan seperti ini.
          Aku mencoba mengambil nafas dalam lalu membuangnya, mencoba menenangkan diri dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, tapi beberapa saat belakangan ini, aku tak bisa memikirkan hal yang membahagiakan, dan sekarang perasaanku tambah tak nyaman, saat Nikita memandangku dengan seringai liar seperti serigala betina di wajahnya.
          Sepulang sekolah, ketika aku hendak menelpon papa untuk menjemputku, tiba-tiba saja sebuah pesan masuk ke dalam handphone-ku. Aku ingat ketika membeli benda ini, ada Raken yang membantuku mempertimbangkan warna mana yang harus kupilih, betapa idiotnya aku, mengapa dulu tak sempat menanyakan nomor handphone-nya.
          Kubuka pesan singkat itu, dari papa, yah, satu-satunya kontak yang tersedia di handphone-ku.
Papa, harus pergi beberapa waktu
Take care, Dear
Love u
          Aku menghentakkan kaki ke lantai dengan kesal, untuk hal seperti ini harusnya papa menelponku, ada apa dengan papa? Dia datang dan pergi sesukanya, jauh di sudut hatiku saat papa pergi seperti ini, aku ingin ada Raken disini yang akan menjagaku, sayangnya itu adalah hal yang tak mungkin lagi terjadi, tak tau alasannya, hanya saja, yeah Raken kembali seperti mengharapkan Dinosaurus hidup lagi!
          “Coppelia” sebuah suara menyapa, Nikita dan seorang temannya yang bertubuh jangkung, Sinta atau Sheza, aku lupa namanya.
          “Sendiri?” Si jangkung bertanya, tidak ramah, aku merasakan aura tidak menyenangkan menguar dari tubuh kedua cewek yang memang terlihat cantik ini, otak konyolku mulai menggambarkan mereka menyerupai makluk gaib dalam otakku, Veela, hantu cantik dalam mitologi kuno.
          “Seperti yang terlihat” aku mencoba mengeluarkan kata yang bersifat netral.
          Mereka tertawa kecil, “Lucu”
          “Apa kabar tunangan elo yang cakep itu?” ada senyum licik saat mereka menanyakannya, seharusnya ini bukan urusannya.
          “Kembali mengikuti orang tuanya, kembali ke Zurich” itu kebohongan yang keluar begitu saja dari mulutku.
          “Wow, sepertinya orang tuanya kaya raya” ada decak kagum tak alami yang mereka perlihatkan.
          “Well, tapi sepertinya gue bisa menemukan seseorang yang seperti Alfan, di suatu tempat, yang jelas bukan jauh di Zurich, tapi yeah…kapan-kapan gue bisa nunjukkin ke elo dimana tempatnya” aku merasa tak nyaman dengan apa yang dikatakan Nikita, saat memandangnya aku seperti merasa bahwa bibir penuhnya mengeluarkan bisa. Tapi agak tergoda juga dengan topik tentang Rakendra, mungkin aku bisa menemuinya di suatu tempat seperti yang dikatakannya, yeah tidak ada seorang Alfan atau Rakendra di Zurich, tapi yang jelas, aku memang ingin tau dimana dia berada.
          Aku memilih tak berkata-kata, dan berjalan meninggalkan keduanya, tapi langkahku berhenti manakala sebuah kaki memblok kakiku dan membuatku terjatuh, ada kikikan dan tertawaan yang membuatku merasa terhina.
          “Coppelia!” sebuah suara lagi, terdengar manis saat melafalkan namaku, tapi ketika aku menatap darimana kata itu terucap, otakku langsung bisa menilai manis suaranya bukan semanis madu ataupun kembang gula, tapi seperti rasa sirup obat, yang lengket dan menjijikkan.
          “Menunggu jemputan?” cewek itu bertanya lagi, aku memandang wajahnya memperhatikan dirinya, terlihat seperti …jika dua temannya adalah Veela, maka dia adalah Vampire wanita.
          “Nggak juga” aku mencoba menenangkan diri, berdiri perlahan dan mengibaskan rok-ku yang sedikit berdebu “terima kasih kalau-kalau kalian mau menawarkan tumpangan.” Kataku lagi
          “Oh…gue nggak semurah hati itu” dia berkata dengan diiringi tawa yang tak menyenangkan dari dayang-dayangnya.
          “Kalo gitu, dengan penuh kerendahan hati aku minta supaya aku bisa pergi sekarang” aku berkata dengan tegas, tapi sayangnya seperti Troll yang idiot mereka malah membentuk formasi menutupi jalan di depanku. “Sepertinya kalian tidak mengerti bahasa manusia?” aku bisa saja berubah sama seperti mereka, aku sendiri dan harus bisa membela diri, terlalu lama menunggu papa menjemputku, dan ketika sekolah sudah benar-benar sepi mau tak mau aku harus menguatkan diri menghadapi cewek pem-bully seperti ini. Mereka cuma sekumpulan pengecut yang berani mem-bully seseorang secara keroyokan di saat tidak ada siapapun, apa peduliku, aku cukup berani, walau sejujurnya aku berusaha memberanikan diri.
          Aku menatap mereka dengan tatapan paling merendahkan yang bisa dipancarkan mataku, tidak ada satu orangpun yang suka dipandang seperti itu.
          “Coppelia…siapa elo sebenarnya?” Sheza membuka suara. “Datang begitu saja, secara aneh dan tiba-tiba…”
          “Kalo pengen tau siapa aku, silahkan bertanya dengan sopan, siapa tau aku berbaik hati mau mengajak kalian minum teh  bersama di rumah atau undangan makan malam, oh ya aku lupa berterima kasih kepada kalian karena telah mengacaukan pestaku” tiba-tiba saja otakku memutar ulang adegan romantisku, saat berdansa dengan Rakendra. “Tapi tak apa, aku tau salah satu dari kalian bikin pool party, yeah aku tau, pesta anak-anak remaja biasa, so nice, tapi aku kasihan pada kalian, melihat apa yang sedang kalian lakukan dan memikirkan bagaimana otak kalian bekerja, aku tau masa depan kalian tak secerah wajah cantik kalian, sayang sekali, para cewek kayak kalian tak lebih dari para cewek manja yang tak bisa apa-apa!”
          Ada kekehan dari suara mereka
          “Dan elo pikir elo siapa?” cewek bertampang seperti vampire wanita itu bertanya dengan geram.
          “Cewek baru gue” sebuah suara menimbulkan efek yang mencengangkan, lagi-lagi si cowok itu, Enzo. Dan seperti terhipnotis, aku mau saja berjalan disisinya yang menggengam tanganku dengan sikap melindungi, aku tak punya pilihan lain, selain terus saja melangkah meninggalkan para pem-bully yang bertopeng Barbie!
         

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top