SMA sama sekali bukan kamu menuntut ilmu! SMA hanyalah soal bagaimana kamu bersosialisasi dan bersikap seperti remaja pada umumnya, yang normal! Fisika, Kimia, Matematika, Sejarah itu tidak akan pernah benar-benar kamu pelajari, menurut mereka, para siswa, mereka akan lebih ingin memahami bagaimana otak para cewek bekerja, dan para siswi akan lebih senang mengetahui bahwa cowok-cowok itu sebenarnya makhluk yang memiliki hati atau tidak, tapi untuk sementara mereka hanya punya satu kesimpulan kecil; bahwa cowok adalah anak-anak lelaki yang terjebak dalam tubuh pria dewasa.
***
Entahlah, tak bisa kudeskripsikan dengan bagaimana rasanya, tapi yang jelas, aku sedikit gugup saat memasuki bangunan agung tempat ilmu itu diajarkan. Memasuki ruangan kepala sekolah, rasanya seperti memasuki ruangan pribadi seseorang, awalnya aku menganggap ruangan itu seperti ruangan Dumbledore, mungkin aku akan menemukan wajah bijak yang menyenangkan, tapi yang kutemukan di sana…
“Saya dulunya mengajarkan Biologi, sebelum menjadi Kepala Sekolah, dan saya rasa pendidikan adalah panggilan jiwa saya…” tapi jujur saja aku tak menangkap bahwa dia terlihat bahagia saat membicarakan profesinya. “Senang menerima kalian sebagai bagian dari sekolah” yang ditelingaku terdengar seperti, senang menerima sumbangan yang banyak dari orang tua kalian yang kaya. Semoga aku memang salah dengar.
Raken menyikutku, maksudku Alfan, yeah aku harus memanggilnya begitu sekarang, nama Alfan lebih manis dari Raken, Raken terdengar mirip Rakun. Aku agak terpesona dengan naluri detektifku yang mencoba menyelami wanita 38 tahun yang adalah kepala sekolahku, wajahnya terlihat tak bahagia, mungkin karena perceraian…dugaanku begitu karena jari manisnya meninggalkan bekas cincin kawin, mungkin masalahnya adalah, perkawinan tak bahagia karena dia tak bisa memberi keturunan, aku menilai bentuk tubuhnya yang tidak seperti tubuh wanita yang pernah memiliki anak. Kemungkinan besar dia memang menguasai segala teori Biologi, tapi ketika mempraktekannya, dia ternyata belum semahir itu. Apa yang dipikirkan otakku.Huh!
Aku hampir saja memasang tampang permusuhan pada Alfan yang tak henti-hentinya menyikutku. Aku tak mengerti apa maksudnya. Setelah dia membisiku aku baru mengerti.
“Tatapanmu membuat Kepsek salah tingkah”
“Oh” Aku mengerti sekarang.
Kami terpisah kelas, Alfan akan jadi siswa kelas XII dan aku akan jadi siswi kelas X.
***
Kelas itu seperti ruangan kelas yang kulihat di tayangan televisi, tapi yeah begitulah, hanya saja sekarang aku melihatnya langsung tidak dibatasi layar kaca TV Plasmaku.
Ada sekitar tiga puluh anak, jumlah cewek lebih banyak dari cowok, yang sekarang memandangiku dengan tatapan menilai. Bila boleh berpendapat maka menurutku; para cowok melihatku seperti melihat sebuah bola menggelinding indah setelah ditendak atlet sepak bola favoritnya yang berhasil masuk ke gawang, dan para cewek menatapku seperti meneliti sepasang sepatu Manolo Blahnik yang ternyata bukan asli tapi KW nomor satu, susah dibedakan asli dan palsunya. Hey walaupun aku tumbuh di balik tembok bukan berarti aku buta fashion.
Aku diminta guruku (yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Miss. Adelia, guru Fisika) untuk memperkenalkan diri.
“Halo, selamat pagi, aku Coppelia Widjaja, senang berkenalan dengan kalian semua.” Semoga mereka terkesan dengan perkenalan awal, walau aku tak ingin berharap terlalu banyak.
Yang kupelajari dari majalah-majalah remaja, bersikaplah cool dan sedikit misterius, agar seseorang lebih tertarik padamu.
Beberapa orang memberikan senyuman, dan beberapa orang lebih suka pura-pura mengabaikan.
Aku dipersilahkan duduk di bangku pojokan kelas. Aku memberikan senyuman hangat pada seorang cewek yang terlihat lebih cocok menampilkan senyum palsu di halaman-halaman majalah mode ternama, daripada terlihat terlalu modis untuk jadi siswa yang tersiksa Fisika di dalam kelas. Aku yakin ukuran otaknya lebih kecil daripada ukuran bra-nya.
“Nikita” dia memperkenalkan diri, kuyakin setengah hati, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia memperhatikanku atau lebih tepat menilaiku. Lip glossrasa Cherry-nya (aku menebak dari wanginya) terlihat tak natural di bibir penuhnya, boleh kukatakan tanpa maksud merendahkan? Dia terlihat habis menghabiskan jatah minyak goring dapurnya hanya untuk bibirnya.
Aku tersenyum dan memberikan tanganku, tapi tak di sambutnya. Kupikir keramahan bukan salah satu sifatnya.
Aku duduk di bangku dan mencoba untuk pura-pura antusias dengan penjelasan Miss Adelia tentang Gerak, dia mengajak kami untuk menghitung kecepatan jatuhnya sebuah mangga dari pohon, jujur aku tak tahu apakah itu harus kami ketahui, tak ada diantara kami yang cukup kurang kerjaan untuk mencoba memahami hal itu, bukan menyepelekan pelajaran, walaupun aku sudah mempelajari hal ini bertahun-tahun lalu oleh professor yang dibayarku ayahku, tapi Miss Adelia lupa, orang tua anak-anak di kelas ini memiliki income minimal perbulan di atas 10 kali gajinya ditotal selama lima tahun. Mereka akan lebih suka melihat mangga itu ada dalam piring saladnya bukan memusingkannya dalam rumus dan angka-angka.
Mungkin seharusnya aku pura-pura bodoh, agar apa yang guruku katakan tak terdengar basi saat aku diajarkan.
***
Di jam istirahat aku mencoba membuat kesimpulan. Apa rasanya jadi siswa SMA? Bahwa satu hal yang mampu kusimpulkan adalah bahwa SMA sama sekali bukan kamu menuntut ilmu! SMA hanyalah soal bagaimana kamu bersosialisasi dan bersikap seperti remaja pada umumnya, yang normal! Fisika, Kimia, Matematika, Sejarah itu tidak akan pernah benar-benar kamu pelajari, menurut mereka, para siswa, mereka akan lebih ingin memahami bagaimana otak para cewek bekerja, dan para siswi akan lebih senang mengetahui bahwa cowok-cowok itu sebenarnya makhluk yang memiliki hati atau tidak, tapi untuk sementara mereka hanya punya satu kesimpulan kecil; bahwa cowok adalah anak-anak lelaki yang terjebak dalam tubuh pria dewasa. Pantas saja Raken bersikap seperti bayi raksasa, ooopss aku lupa sekarang aku akan memanggilnya dengan Alfan.
Alfan terlihat semangat makan bekal dari rumah yang dimasukkan Nannydalam keranjang rotan berhias bunga-bunga. Padahal sebelumnya ada pandangan mencela saat Nanny menyerahkan keranajang itu padaku pagi tadi.
Aku melihat beberapa pandangan yang tak ingin kujelaskan dari mata-mata yang menatap kami. Aku harus berterima kasih atas karunia Tuhan yang telah memberiku kemampuan mendengar sangat baik, saat aku mendengar percakapan seperti ini.
“Dia pikir dia dimana? Di sekolah Eropa-nya??? Kenapa nggak memilih makan di taman belakang sambil pura-pura menikmati keindahan alam???”
“Gue bisa tebak, besok dia bakalan bawa perlengakapan minum teh-nya yang mewah, lengkap dengan pelayan juga para pemain biola”
“Berhantilah bersikap seperti Putri Prancis! Dia pikir dia siapa?”
“Ooops, gue nggak menderita anorexia, tapi ngeliat tampang innocent palsunya bikin gue pengen muntahin semua makanan yang barusan gue makan.”
“Apa yang ada di otak cowoknya? Kenapa memilih wanita yang bisa retak? Ya ampun dia terlihat seperti boneka porselen rapuh”
“Pasangan membosankan, perkawinan bisnis, ini tahun 2012!!!”
“Tapi cowoknya keliatan kayak cowok-cowok di iklan pakaian dalam Calvin Klein, sexy!”
Menjadi bagian dari remaja normal bikin aku berpikir bahwa jika ingin bertahan di sini? Aku akan memilih memakai telingan baja.
bersambung...
0 comments