Rahasia Gadis (56)


(Rakendra)
Kadang kita memang harus berlari
Kadang kita memang harus menghindari
Kadang kita memang harus pergi
Tapi semoga, masih ada waktu untuk kembali, suatu hari nanti
***
Berjarak begitu dekat dengan perempuan yang melahirkanku, tapi tak tau harus menyebutnya dengan apa, harus menunjukkan sikap yang bagaimana. Memang, bukan perlakuan yang sepantasnya yang bisa kuberikan tapi aku tak yakin dengan pilihan lainnya, kulakukan seperti apa yang dituntunkan hatiku saja, penyesalan dan apapun itu, semoga saja tak menjadikan segalanya menjadi lebih sulit di kemudian harinya nanti.

Berat mengatakannya tapi harus kuucapkan “Seharusnya semuanya lebih sederhana sekarang…jangan pikirkan apapun, kembalilah pada masa depan, semua akan baik-baik saja.” Aku tersenyum padanya, ini sebuah penolakan yang tak mudah.
“Apa yang harus kulakukan? bagaimana agar aku bisa dimaafkan?” Sambil menangis, dia memohon, wajahnya membuatku tak tega, tapi aku harus tetap bersikap angkuh di balik tembok pertahananku.
Aku menyentuh tangannya menatap ke dalam matanya. “Terima kasih, karena telah membawaku ke dunia” Air matanya menderas, tak ingin kuhapuskan, karena aku juga bahkan tak kuasa untuk menahan air mataku sendiri, air mata yang jika tak lebih keras kutahan akan tertumpah dan menjadi deras, aku masih mencoba bertahan, tapi kata-kataku tak bisa berdusta, serak dan menyakitkan saat aku membuka kata “Pulanglah, ada keluarga yang membutuhkanmu di sana…” Aku  meyakinkannya “aku akan baik-baik saja.” Memaksakan diri untuk bersikap tega. Aku pergi, meninggalkannya, dan menangisi kemalangannya dan juga kemalanganku dari balik pintu rumah kontrakanku.
***
Aku sudah menyelamatkan hidupku, dan sekarang aku harus menyelamatkan kehidupan mereka seperti yang telah dipesankan
***
Melangkahkan kaki di lorong yang begitu bersih, putih, sepi, membuatku seakan diintimidasi. Buatku rumah sakit bukan tempat penyembuhan, tak pernah jadi tempat untuk membuka harapan, rumah sakit hanya tempat yang dengan gamblangnya mengatakan bahwa kesehatanmu tidak dalam kondisi sempurna, dan kamu harus siap untuk keadaan apapun nantinya.
Memberanikan diri melangkahkan kaki, dan apa yang terjadi, pintu itu menjeblak terbuka, seakan gadis itu telah menungguku di sana, dia menarikku, tangannya bukan lagi hangat, tapi memanas, bukan karena demam tapi emosi yang tertahan. Dengan langkah tergesa dia memaksaku untuk melangkah, hingga pada saat menemukan tempat yang dianggapnya tepat, kami berhenti dan sudah saatnya semua hal harus dibukakan, perlu diungkapkan.
“Apa yang kamu ketahui, tapi tidak kuketahui! Bagaimana bisa kamu seperti kunci tapi tak ingin memberiku sedikitpun informasi…Oh Tuhan, apa yang terjadi…fakta-fakta yang datang menghantamku sedemikian hebatnya, aku hancur, patah dan remuk, tapi kamu tau, kamu paling memahami keadaannya, tapi apa yang kamu lakukan ? bagai pengecut pergi, menghindari, dan berlari! “Dia terlihat marah dan frustasi, matanya sembab, rambutnya berantakan. “Bagaimana bisa kamu melakukan semua hal yang menyakitkanku begini? Kenapa tak bilang ibuku belum mati! Kenapa tak bilang kalau ayahku….sedang menuju mati” hening, dan aku tak melakukan apapun, aku hanya berdiri, memandanginya dengan otak kosong melompong. “Jangan salahkan aku bila aku terpaksa untuk mebencimu!” Air matanya menderas, dia terlihat marah juga menyesal, aku merasa, aku telah salah dalam memilih sebuah langkah, tak tau apa yang kulakukan, aku berbalik arah, dan…pergi…menghilang, meninggalkannya. Seperti katanya; pergi, menghindari, berlari…dan sebuah tambahan kata lagi, aku tak lagi ingin kembali.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top