(Rakendra)
Pesta, memilih menggila atau menciptakan dosa?
Aku melihatnya dari jauh. Gadis keluar dari mobil dengan langkah gontai. Kupikir Gadis memerlukanku sekarang, tapi telah ada orang lain di sana yang mengantarnya pulang dan menunggunya menghilang di balik gerbang. Mobil itu pergi dan bersamaan dengan debu terakhir yang melayang bersama derunya, aku mengubah pikiran, takkan menemui Gadis, Gadis sudah punya seseorang yang tepat dan pantas untuk bersamanya sekarang.
Aku memutuskan untuk memenuhi undangan party salah satu temanku, aku tak begitu akrab dengannya, aku selalu menjaga jarak dengan mereka para anak orang kaya. Kecintaanku pada basketlah yang menyatukan kita, kita hanya bertemu di lapangan, di luar lapangan kami menjalani kehidupan kami masing-masing.
“Hey sob!” Jaden meninju bahuku. “Gue seneng elo datang ke rumah gue! Belakangan ini elo kemana aja?” dia menghisap rokoknya “ kita udah lama nggak maen bareng”
“Gue ada dikit kerjaan belakangan ini” aku menjawab basa basinya, dan mengikuti langkahnya menuju halaman luas dengan pemandangan yang di setting serupa pantai di Bali, lengkap dengan pantai buatan dan beberapa mini cottage. Suara musik berdentum-dentum, para cewek seksi berbikini dan cowok bertelanjang dada hilir mudik di depanku, yang aku tau aku salah kostum, tapi apa peduliku, aku tak nyaman jika seragam dengan mereka. Hedonis-hedonis kecil kaya ini memang paling tau cara berpesta dan bersenang-senang, hanya saja sayangnya otak duniawi mereka seakan melupakan moral dan dosa.
Aku terus saja mengikuti langkah Jaden yang mengajakku duduk di mini bar yang di sulap menjadi mini cottage. Aku memilih Fruity Punch alih-alih Coktail beralkohol yang bisa membuatku kehilangan kesadaran dan juga kontrol testosterone, pemandangan di sini akan membuat cowok manapun bisa kehilangan kendali diri.
***
Musik terdengar lebih keras memecah malam, euphoria pesta dan tawa entah mengapa memekakkan telingaku, aku sungguh tak menikmati suasana ini. Jika boleh jujur aku lebih menyukai Debut Party ala Gadis, yang elegantdan jauh dari kesan murahan. Walaupun aku harus berdandan dengan tuxedo dan menyisir rambut dengan rapi. Paling tidak pesta itu meninggalkan kesan berharga, yang kenangannya masih meninggalkan rasa, seandainya masih ada harapan untuk kembali kepada moment indah itu.
“Gue denger-denger kemaren elo pacarin cewek tajir Sob, siapa?” Jaden bertanya
“Oh …” aku tak ingin menjawab.
“Adek gue si Sheza pernah liat elo di sekolahnya” Jaden lagi-lagi bicara, aku masih ingin mengabaikannya, tapi omongannya mendadak membuatku tak nyama, Sheza dan sekolah! Aku teringat lagi seharusnya aku lebih hati-hati. Sial jangan sampai segala tentang Gadis terbongkar sekarang.
“Hahahahahahaha” Jaden tertawa mengejek sambil menghisap rokok ganjanya. “Hebat banget elo…ternyata elo nggak bilang-bilang kalo elo tuh anaknya orang tajir”
“Jaden…elo kenal gue”
“Katanya elo di Zurich” sebelah alisnya meninggi“Cewek bernama Copelia adalah tunangan elo kan? Katanya tuh cewek misterius yang datang begitu aja”
Firasatku benar-benar menyalakan lampu merah tanda bahaya.
“Elo tau siapa gue J” aku sengaja memberinya tawa kecil, dan mengesap minumanku yang berasa tropical fruity, agak asam, dan sedikit berasa soda.
“Yeah, gue tau, elo siapa, Raken, teman main basket gue, tapi adek gue si Sheza pengen ngeyakinin dirinya kalo elo itu adalah cowok tajir yang macarin cewek baru di sekolahnya, itulah sebabnya si Sheza maksa gue untuk ngundang elo ke party-nya” Jaden meneguk habis minumannya, Blue Lizzard, minuman rendah alkohol yang menurutku lebih mirip Pepsi Blue. “By the way…gue seperti tertarik dengan cewek bernama Copelia, gue kenal cewek-cewek plastik temen adek gue, mereka bakalan terancam dengan cewek yang lebih dari mereka, dan yang nggak habis gue pikir, apa yang bikin cewek-cewek iri dari cewek lainnya.” Jaden terkekeh “Adek gue dan gank mean girls-nya memang payah, hati-hati Raken, jangan sampe Aimee naksir elo, ceweknya seksi sih tapi…entar elo liat aja sendiri”
Tak beberapa lama, tampak wajah yang memang pernah kulihat sekilas di sekolah, menghampiriku, mereka seperti yang lainnya berbikini dan menggoda.
“Girls, kenalin sohib gue dan…buktiin kalo doski bukan cowok yang kalian maksud” Sedikit melantur Jaden memperkenalkanku, Sheza yang memang beberapa kali pernah bertemu denganku, antara yakin dan tak yakin memandangiku sekali lagi. Sementara cewek berbibir tebal menatapku dengan tatapan seperti kucing kelaparan, lalu cewek satu lagi, yang berbikini merah menatapku sekilas, entah kenapa tatapan matanya, bentuk matanya…sangat mirip familiar, mata itu nyaris serupa dengan mataku…wajah itu…bentuk mukanya tirus, berdahi tinggi tertutup poni, matanya…tajam berwarna cokelat, berbulu mata panjang, binarnya seperti campuran misterius dan juga menggoda, hidungnya indah bagai terpahat, tidak ada lesung pipi, tapi saat berbicara dan bibir tipisnya bergerak, belah dagunya yang dalam terlihat.
“Ini Nikita ini Aimee, elo masih ingat gue kan?” Sheza memperkenalkan teman-temannya.
“Gue Raken” aku mengulurkan tanganku yang disambut antusias oleh Nikita. Tangannya licin dan lembab. Tapi ketika aku tak membalas senyum cerianya Nikita agak cemberut dan berlalu begitu saja. Cewek seperti dia walau cantik tapi tak membuatku tertarik.
“Dan namanya bukan Alfan” cewek bernama Aimee itu terlihat marah pada Sheza, sementara Nikita sedang menebar pesona ke Jaden yang tak menolak, keduanya berjalan menuju tepi kolam renang yang difungsikan sebagai dance floor, mereka menari dan berpelukan hangat di sana. Aku bisa gila melihat ini semua.
Seorang gadis lain datang, berkulit gelap hasil tanning buatan, berambut cepak yang di cat warna merah menyala, menghampiri Sheza, keduanya pergi dan meninggalkanku dengan cewek bernama Aimee yang bukan hanya memandangku tapi juga menelitiku, setiap inci tubuhku.
“Raken?”
Aku menatapnya tapi tak bicara.
“Elo siapa?”
“Bukan siapa-siapa”
“Tidak menikmati pestanya?”
Aku tersenyum
“Mau menikmati pesta pribadi denganku?”
“Penawaran yang menggoda dan berbahaya”
“Takut?” dia memandangku dengan tatapan yang merendahkan.
“Apa yang perlu aku takutkan?”
Dia tertawa, bukan jenis tawa alamiah.
“Gue juga benci pesta…ayo…kita tinggalkan pestanya”
Rasa penasaran tentang cewek ini yang membawaku mengikutinya, dia mengajakku untuk masuk ke dalam rumah dan menuju ke lantai dua tempat kamar yang kuyakinkan ini pastilah kamar Sheza. Serasa rumah sendiri, Aimee mematikan AC dan menyalakan rokok mengeluarkan beberapa kaleng bir dari kulkas dan duduk di sofa nyaman berwarna ungu tua. Aku merasa risih tapi kuputuskan untuk duduk di kursi kayu antik yang artistik di sudut ruangan pura-pura tertarik pada wallpaper kamar yang berwarna seperti gula kapas.
Aimee menghampiriku dan menawariku rokok, sial, cewek ini juga menghisap ganja. Alangkah malang nasib orangtua yang memilikinya.
“Gue nggak suka” aku menolak. “Boleh minta satu hal?”
“Apa?”
“Tolong berpakaianlah, aku merasa risih dengan …”
“Kenapa?” dia tertawa “Takut tergoda?”
Kali ini dengan berani dia menghampiri dan menyentuh bahuku, merapatkan tubuhnya, memelukku.
Aku melepaskannya, tapi dia tak menyerah dan berkali-kali melakukan hal yang sama, aku tak menyukainya, ada apa dengan gadis ini? Apa dia kerasukan iblis atau memang dia sudah menjadi gila.
Aku memutuskan untuk keluar dan sayangnya, aku tak bisa meneruskan langkahku manakala tangannya yang bercakar mencengkram lenganku, melukai kulitku, terasa perih, garis-garis tipis yang mulai terbuka berwarna merah muda. Sialan aku terluka.
Aku tak menyukai permainan ini, jebakan atau entah apalah namanya, aku memutuskan untuk melakukan tindakan yang pantas kulakukan untuk menyadarkannya. Aku menamparnya, dan dengan berang mata liarnya menatapku, berbalik arah menuju telepon di dekat tempat tidur. Bersuara lirih dan pura-pura menangis “Papa…aku diperkosa”
Dan aku dalam masalah.
0 comments