(Tiara)
Air mata tertumpah. Fakta terbuka, dan cinta membuka jalan kepadanya;
hati yang pernah kehilangan asa
***
Seorang gadis muda masuk, diikuti pemuda yang kurang lebih seusianya, entah mengapa melihatnya membuatku seolah memutar ulang masa lalu, wajah itu, cara berjalan itu, bahkan caranya mengeksperikan apa yang dirasakan hatinya…mirip denganku di masa lalu.
Wajahnya memancarkan cahaya temaram bulan, matanya berbinar bak bintang, bibirnya indah berwarna merah, merah yang indah tidak semerah darah, rambutnya tergerai membingkai kesempurnaannya, aku pasti salah, mata pasti hanya merefleksikan apa yang ingin kulihat bukan sesuatu yang seharusnya terlihat.
“Papa” suaranya memanggil dengan panggilan yang membuat otakku berpikir jauh. Haruskah aku kecewa? Haruskah aku terluka? Itu hanya panggilan sederhana yang menguatkan arti adanya hubungan darah diantara mereka, gadis ini putrinya. Aku tak ingin mengartikan apa yang ingin diartikan kata yang diucapkan tadi….bertahun-tahun lalu Ardian pergi dan menghilang lalu…semuanya menjadi biru.
Pemuda yang bersamanya menatapku, pandangannya seperti bertanya. Siapa aku?
Aku mengabaikan tatapan matanya. Aku memilih terus menatap gadis muda di depanku yang kini memeluk tubuh kaku Ardian, menggengam tangannya, mengusap rambutnya dan mencium keningnya berali-kali. Ada air mata tertumpah, seandainya aku bisa menghapus air mata itu.
***
“Maaf…” gadis muda itu seperti baru menyadari kehadiranku, dia menghapus air matanya, menghela nafas, lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dia melihatku dan memberiku senyum yang manis, dia menghampiriku yang kini memilih duduk di sofa.
Aku tersenyum padanya, hanya itu yang bisa kulakukan, karena aku tak memiliki ide untuk melakukan sesuatu yang lainnya.
“Gadis” dia mengulurkan tangan padaku, dan memberi senyum manis yang harus kuakui, diperlukan ketulusan, kerendahan hati, dan kekuatan untuk melakukannya, mengingat apa yang tengah dihadapinya. Segalanya bukan sesuatu yang sederhana dan tidaklah mudah.
Aku menyambut tangannya tapi tak menyebutkan namaku karena …aku terlalu malu dan sangat ragu. Aku mengajaknya duduk di sampingku, sementara si pemuda sekarang memilih untuk duduk di kursi yang dekat dengannya, situasi ini cukup membingungkan.
“Temennya papa?” dia bertanya.
“Teman lama” aku menjawab dengan pernyataan yang tidak memerlukan jawaban lanjutan yang lebih rumit lagi.
Gadis yang memang bernama Gadis itu menangis.
Aku menarik sehelai tissue dari kotak kayu yang terlalu cantik untuk sebuah kotak tissue rumah sakit. Aku memberikannya tissue itu, dan dia menerimanya dengan senyum kikuk juga seperti meminta izin untuk membiarkannya menangis. Gadis mengerjapkan matanya berkali-kali, melihat ke atas beberapa saat, lalu seperti…entah berdoa atau memohon agar bisa menghentikan air matanya, tapi tak bisa menghentikannya, air matanya mengalir lebih deras, dan yang kutau aku memeluknya, dan membiarkannya menangis dalam dekapanku. Bentuk perlakuan yang terlalu intim untuk sebuah perkenalan berdurasi singkat.
“Maaf…” dia berbisik lirih dan lagi-lagi mengucapkan “ maaf…maaf maaf”Aku melakukan hal yang bisa kulakukan, mengusap lembut rambutnya, semoga bisa menenangkannya.
Pemuda itu seperti serba salah, terjebak dalam situasi yang tak bisa dipahaminya.
Segalanya memang tak mudah dan terlalu tiba-tiba, tak tau harus bagaimana, menyerah, dan membiarkan waktu untuk menjawab semuanya.
***
“Well, maaf aku terguncang” sepertinya gadis malang ini sudah tenang, matanya sembab, hidungnya merah, dan wajahnya basah karena air mata.
“Aku mengerti, sayang” begitu mudah bagi lidahku mengucapkan kata itu. Sayang.
“Aku begitu menyayangi Papa” lagi-lagi dia menatap langit-langit, berusaha demikian keras untuk berhenti menangis.
“Aku juga menyayanginya” ingin aku mengucapkan kata itu, tapi tentu saja, dalam keadaan seperti ini, kata-kata itu bisa merusak segalanya.
Buru-buru Gadis menghapus air matanya yang menetes lagi, kali ini dengan punggung tangannya yang tampak bergetar, tak tega aku melihatnya, aku menarik tissue sekali lagi, dan kini menghapus air matanya dengan tanganku sendiri, bukan sebuah insiatif tapi lebih karena dorongan hati dan naluri.
Bibirnya bergetar saat membisikkan “terima kasih”
Aku mengangguk.
“Aku lupa, itu temanku, namaya Enzo” dia menatap pemuda yang saat ini mengangguk dan memberi senyum kaku padaku, aku membalasnya dengan anggukan singkat dan senyuman hangat.
“Seharusnya aku mengetahui tentang papa lebih awal….aku benar-benar menyesal” gadis itu menangis lagi, walau aku tau dia benar-benar berusaha untuk tegar.
“Aku mengerti”
“Aku nggak mau sendiri…”
Aku mengangguk dan menyentuh tangannya yang rapuh dan dingin
“Papa milikku satu-satunya di dunia, tak ada lagi siapapun selain papa…”
“Aku juga sebatang kara” ingin aku mengatakannya. Seandainya kita bisa saling memiliki, tepat di saat itulah, aku ingin melempar tanya…”Ibumu dimana? Pertanyaan yang tak seharusnya kupertanyakan, karena menimbulkan luka.
“Di surga”
Lagi-lagi aku sungguh tak peka, tak seharusnya aku bertanya “Siapa namanya?”
Tapi dia menjawabnya, dan membuatku meneteskan air mata lalu memeluknya lebih erat seakan tak ingin melepaskannya, saat dia menyebutkan nama “Tiara”
0 comments