Rahasia Gadis (3)




Kekuasaan menimbulkan kehausan akan darah, bahkan saudara sedarahmu yang darahnya adalah darah yang sama yang mengaliri tubuhmu, yang kini hanyalah sebagai pelepas dahaga jiwamu, yang kau ubah menjadi sesuatu yang halal untuk sebuah hak istimewa, kemasyuran, kejayaan, sebuah tahta yang luar biasa.
Bila Remus mampu membunuh Romulus, saudara kembarnya demi sebuah keagungan. Agar dalam sejarah namanya terukir indah sebagai pendiri kota Roma, maka kisah kita nyaris tak berbeda, saudaraku. Hanya saja aku tak pernah membunuhmu, kematianlah yang datang padamu dan memberikan hidup untuk tubuh sekaratku, aku berhutang padamu., walau tanpa izinmu tapi hati itu kini berada dalam tubuhku, separuh bagian berharga dari dirimu, tapi…memang tak hanya itu, nama hingga tahtamupun kini menjadi milikku walaupun ini tak pernah jadi inginku.
Inilah yang kubayar untuk sebuah kehidupan, kematian memilihmu, alih-alih aku, walau raga ini milikku tapi aku tetaplah diri, saudaraku. Kita berbagi tubuh walau tak ada yang pernah tahu, tapi bila kau hidup dalam tubuhku, laranganku hanyalah satu, selain itu lakukanlah sesukamu, kecuali itu… jangan pernah lukai putriku.
***
          Papa tak datang padaku, padahal dia berjanji akan melewati sarapan bersamaku. Sepertinya dia sarapan lebih dulu, dan pergi dengan terburu-buru. Di meja makan aku menemukan sesuatu. Kertas yang di remas, dengan tulisan, entah apakah sebuah pesan? Tak ingin kupikirkan!
          Aku menikmati sarapanku dengan otak yang penuh penyesalan. Apakah Papa marah padaku? Ataukah? Sekarang papa malah membenciku? Setelah sikap emosional menyebalkanku semalam.
          “Gadis?” seseorang entah siapa tiba-tiba muncul begitu saja di depanku. Dia menatapku, ada keanehan dimatanya saat memandang sosokku.
          “Ya?”
          “Putri pak Ardian?”
          “Adrian!” aku mengoreksinya
          Tampangnya agak kebingungan
          “Ardian…Adrian, whatever!” Dia menggaruk kepalanya, gayanya salah tingkah“Jangan takut, gue nggak gigit!” katanya cuek, dan tanpa tedeng aling-aling, dia duduk di kursi papaku, seharusnya ada yang mengajarkannya tata krama! Sekarang, dengan seenaknya, dia mencomot Croissant lalu mengunyahnya. Aku tak mengundangnya untuk sarapan bersama!
          “Kamu siapa?”
          “Nggak penting”
          “Maksud kamu kemari?”
          “Nggak tau !”
          “Lalu?”
          “Boleh tanya sesuatu?” dia bertanya dengan tampang serius. “Apa yang sedang kalian mainkan?” Sebelah alisnya lebih tinggi dari alis lainnya. Tampang skepstis. Ekspresi yang tak kusukai. “Drama apa?”
          “Kita hanya memainkan kisah dongeng” gumamku, aku yakin dia tak mendengarku.
          “Jangan bergumam”
          “Jangan melarangku!”
          “Sebenarnya aku tak mau”
          “Katakan apa maksudmu kemari?”
          “Menemuimu, dibawah perintah papamu. Aku tak melihat perlunya menjagamu” aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi aku tahu dia akan berpendapat aku gadis yang aneh, sedari tadi dia memperhatikan tutu-ku, rok baletku.
          “Well, bisakah kamu jelaskan dengan bahasa manusia?” aku memutar bola mata.
          “Seandainya bukan Pak Ardian yang menelpon pagi buta tadi, aku tak akan mau merepotkan diri begini. Aku lebih suka kalo beliau menjadikanku kurirnya. Pengantar pesan, seperti pekerjaanku sebelumnya. Bukan menjaga putrinya yang manja. “
          “Untuk apa kamu menjagaku? Aku punya Nanny, dan lihatlah! Aku cukup aman di dalam sini. Tembok-temboknya cukup tinggi untuk melindungiku” Saat mengatakannnya aku malah sedikit mengasihani diri sendiri.
          “Apa kamu punya masalah kejiwaan? atau mengalami gangguan sosial? Sehingga memilih home schooling? Tapi kabar baiknya, kamu akan bersekolah di sekolah formal” aku merasa ingin memeluk cowok menyebalkan di depanku, tapi kuurungkan saat dia menyambung lagi kalimatnya. “ Dan kabar buruknya, aku akan menjagamu. Jujur aku menyukai sekolah lamaku, bukan sekolah orang-orang kaya kayak kalian.” Si cowok itu mengeluarkan sebuah kartu, dengan tulisan.

Sebuah kebebasan
Untuk Putriku

Love

Papa

            Itu bukan tulisan papaku!” aku memprotesnya.
          “Secara teknis itu tulisanku, tapi papamu mendiktekan begitu via telepon. Katanya dia pergi, dan aku diminta untuk menjagamu. Besok pagi aku akan menjemputmu kita akan ke sekolah baru, walau sebenarnya dengan mobilmu. Saranku satu, tolong jangan merepotkanku!”. Dan dia berlalu dengan sejuta pertanyaan berputar di kepalaku.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top