Ketika bumi tertusuk separuh matahari, 24 Januari 2012
Bulan kelima setelah kehilangan kamu, semua terasa begitu berbeda, semua terasa tak lagi sama, begitu abnormal, tak ada yang kuketahui selain aku masih mencari-cari cara untuk melupakan kamu. Aku bertingkah seakan-akan semua telah kembali seperti semula, aku tanpamu, kamu tanpaku, kita tak lagi berjalan pada arah yang sama. Begitu hebatnya perpisahan, sehingga ia selalu memaksa seseorang mengikhlaskan suatu ketiadaan... suatu kepergian. Surat ini kutulis dengan sangat hati-hati, agar bayangmu tak lagi menyebabkan tangis dan agar kenanganmu tak lagi menyisakan luka. Kauboleh baca hingga selesai atau bahkan membuangnya ke tempat sampah setelah kaumembaca paragraf pertama. Seperti yang kuketahui sebelumnya, kauselalu berusaha keras untuk melupakan aku, sementara aku tak pernah berusaha keras untuk melupakanmu. Bagiku, memaksa otak untuk lupa hanya akan membuat otak semakin memutar kembali memori yang ia simpan secara sengaja. Sementara aku tak mau melupakanmu dengan cara yang menyakitkan, waktu punya tugas untuk menghapus jejak dan aku percaya waktu akan melakukan tugasnya untukku.
Saat aku kembali mengundangmu masuk ke dalam memori otakku, ada bayang yang seketika merampok perhatianku. Dulu, kita adalah pasangan yang seringkali berkhayal tentang banyak hal. Ingat waktu kamu membuat dengan runtut nama panjang anak-anak kita kelak? Bagaimana pekerjaan dan cita-cita mereka nantinya? Dan akan seperti apa wajah mereka? Kita juga merencanakan rumah tinggal kita kelak, di suatu negara maju yang manusianya memiliki harapan hidup tinggi, di suatu kota yang aman dan tentram. Daerah tersebut sangat nyaman untuk keluarga kita, sawah-sawah hijau menyapa tiap pagi, awan yang setia meneduhkan kita dari teriknya matahari, dan danau-danau bisu yang setia memancarkan sinar rembulan setiap malam. Kota itu memang tak se-romantis Paris yang terletak di Prancis, juga tak se-unik Bali yang terletak di Indonesia, tapi setidaknya kota ini milik kita, kota penuh cinta yang ideologinya kita ciptakan sendiri, kota yang tak terdapat di peta tapi terdapat di hati kita masing-masing, kaudan aku memberi nama kota itu Azurine.
Siapa yang peduli pada Azurine? Hanya aku dan kamu yang mempedulikan indahnya Azurine. Azurine milik kita juga punya taman kota, dengan pepohonan yang rindang dan setia memeluk siapapun yang berteduh dirindangnya. Taman kota Azurine dihiasi tawa anak-anak kita yang berlari-lari dan bersembunyi di balik pohon, kamu yang mengejar-ngejar mereka tak ubahnya serigala nakal yang mengejar-ngejar mangsanya. Azurine, kota milik kita, adalah kota yang kita sebut bayi mungil yang lahir tanpa tangis. Azurine milik kita, milik aku, kamu, juga anak-anak kita.
Ingatkah kamu bagaimana kamu menggambarkan langit di kota Azurine? Selalu biru muda dan lembut menyapa, tapi kadang mendung seringkali menggoda langit biru di kota Azurine. Hujan di kota Azurine tak pernah menyebabkan tangis, justru hujan itulah yang ditunggu-tunggu anak-anak kita. Setelah hujan selalu ada pelangi, saat pelangi muncul, kamu segera menggendong si bungsu lalu berlari-lari ke ujung pelangi, begitu juga si sulung dan anak kedua kita, mereka ikut berlari mengikuti jejak langkahmu. Aku yang memandang kalian hanya tersenyum bahagia, menunggu di beranda rumah ditemani angin yang sesekali menggelitik tubuhku. Bukankah Azurine sangat indah? Tak pernah ada tangis di kota ini, karena aku dan kamu saling mencintai, maka kita tak mungkin saling menyakiti dan saling menyebabkan tangis. Azurine adalah milikku, juga milikmu.
Tapi sekarang... Azurine milik kita hanyalah kenangan, Azurine milik kita telah hancur termakan air mata, Azurine telah runtuh bersama dengan perpisahan kita, Azurine telah hilang bersama dengan canda tawa yang kini berubah menjadi tangis dan sesal. Azurine yang hidup dalam khayalanmu dan khayalanku tak akan berwujud nyata. Azurine hanyalah dongeng sebelum tidur yang meninabobokan tangis semalaman. Azurine hanyalah sejarah yang membisu sehingga ia tak kunjung menjadi buku. Azurine bukan lagi milikku, juga bukan lagi milikmu. Kini, Azurine hanyalah milik kenangan, hal-hal indah di kota itu tetap menjadi khayalan. Azurine yang kauanggap bayi kita yang lahir tanpa tangis, kini memperdengarkan tangisnya. Kauyang menyebabkan Azurine menangis! Kauyang telah membuat semuanya menjadi bermasalah! Mengapa kaurenggut masa-masa itu, ketika justru aku mulai merasa bahagia denganmu?
Ini hanya surat kecil, yang mungkin membuatmu semakin membenci sosokku, yang mungkin membuatmu termotivasi untuk semakin melupakanku, atau mungkin sebaliknya? Mungkin juga surat ini membuat senyummu mengembang, karena ternyata sebelum kita berpisah ada banyak kenangan indah yang kita ciptakan dengan cara kita sendiri, dan sekarang hal-hal indah itu tak akan pernah kembali. Masihkah kamu mencintai Azurine seperti dulu? Bagaimana kabar kota itu setelah lima bulan kita meninggalkannya? Mungkin hujan terus-menerus turun, mungkin langitnya tak lagi biru, mungkin pohon-pohon di taman kota tak lagi rindang, mungkin Azurine merasa kehilangan kamu, juga kehilangan aku. Azurine mungkin marah karena orang-orang yang membangun dan melahirkannya malah dengan sengaja meninggalkannya. Sungguh, aku sangat ingin kembali pada kota khayalan yang kita bangun bersama itu. Aku ingin menjelaskan banyak hal padanya, agar ia juga mengerti bahwa aku dan kamu berpisah karena suatu hal, dan sebenarnya aku dan kamu tak pernah berhenti mencintai Azurine. Aku tak ingin kau membuat Azurine menangis seperti kaumembuatku menangis. Aku ingin Azurine seperti dulu.
Melalui surat ini, aku tak ingin berbicara banyak hal, karena kamu bukan sosok yang senang dicereweti oleh perempuan. Aku hanya ingin menanyakan kabarmu dan kabar kekasihmu, apakah kalian juga membuat Azurine-Azurine yang lain, kota khayalan yang justru lebih indah daripada kota khayalan kita dulu? Ah... sudahlah, bukan urusanku, cuma ingin titip satu hal, tolong jangan gunakan nama anak-anak kita yang telah kaurencanakan bersamaku, sebagai nama untuk anak-anakmu, kelak bersama dengan wanita lain pilihanmu; kecuali jika wanita pilihan itu adalah aku :p
Sebenarnya, diam-diam aku masih menyimpan harapan untuk kembali membangun Azurine bersamamu, kota itu belum memiliki balai kota dan pusat perbelanjaan. Maukah kaukembali membangun Azurine bersamaku? Maukah kaumeninggalkan ceritamu bersama wanita itu lalu kembali pada masa lalu? Masa di mana kebahagiaan kita masih terlihat begitu nyata, masa di mana aku dan kamu sempat menjadi kita. Maukah? Demi aku, demi Azurine, dan demi kita.
Dari wanita yang seringkali bernyanyi untukmu
lewat sambungan telephone
wanita yang seringkali merindukanmu
dan diam-diam masih menginginkan kamu...
kembali
0 comments