(Ardian)
Ada kalanya kita ingin melepas ikatan itu
Tapi kita tahu takkan pernah bisa
Karena darah takkan bisa memisahkan apapun yang tak boleh dipisahkan
***
Aku terbangun, secara harfiah dan tak harfiah. Mendapati bahwa waktu menunjukkan jam tiga pagi. Berbagai cara telah dicegah untukku kembali, tapi aku tahu, bagaimanapun raga ini milikku, dan tak bisa untukkmu terjaga sepanjang waktu. Dua hari tak tidur sama sekali, hanya akan menimbulkan kelelahan, untuk hatimu, untuk tubuhmu, tubuh kita.
Aku merasakanmu dalam tubuhku, kita bertukar tempat sekarang, tapi aku tahu itu takkan lama, kamu sangat cermat sekali bila menyangkut masalah kepemilikan, kamu mencintai, dan juga membenci segala yang kamu miliki, proteksimu sangat tinggi.
Damainya ketika kutahu bahwa orang yang kucintai bersamaku, tapi takkan lagi bila kamu terbangun nanti. Seandainya masih terasa masuk akal seperti dulu, saat kita berdiri sendiri sendiri, saat aku masih bisa meninju bahumu, saat aku masih bisa memelukmu, saat kita masih bisa saling baku hantam, dan pada akhirnya tertawa bersama-sama. Tak pernah dalam satu haripun aku berhenti merindukan, takkan pernah, walau nyaris setelah peristiwa yang kusesali itu, kamu begitu membenciku, alih-alih aku yang membenciku, kamulah yang mengkhianatiku, Tapi aku tahu hidup ini tidak seekstrem hitam putih, tidak ada kesalahan total, ataupun kebenaran murni, aku selalu berusaha untuk menganggap, perbuatan-perbuatan yang kita lakukan hanyalah warna abu-abu dengan nuansa berbeda.
Aku memandang sekelilingku dan merasakan bahwa ini bukanlah tempat favorite-ku, suite hotel mewah yang sesuai dengan seleramu, menghadap kearah pantai yang indah. Aku bisa merasakan wangi garam, yang sejujurnya tak begitu kusukai. Aku tak pernah menyukai pantai, tempat ternyaman adalah saat terdekat dengan orang-orang yang kukasahi. Walaupun aku membawamu selalu dalam diriku, tapi akan sangat damai bila putriku sekarang di sisiku. Aku merindukannya, Gadisku yang tak mengerti tentang banyak hal, hanya mengikuti naluri remajanya yang tak memikirkan benar salah, aku tahu murni bukan kesalahannya bila ternyata dialah yang akhirnya membangkitkan lagi sisi yang hidup dalam tubuhku. Kata benci bisa sesakti kata cinta, sama-sama member bahagia, sama-sama memberi derita, keduanya bagai candu yang mematikan. Seandainya Gadis tahu, apa yang terjadi, mengapa aku terpaksa menyusun hidupnya dengan kesempurnaan bias. Tak ada alasan lainnya, seandainya dia mau mengerti. Orang tua akan melakukan apa yang bisa mereka lakukan, dan itulah yang terbaik yang kulakukan untukknya.
Ya. Orang tua akan melakukan apa yang bisa mereka lakukan, dan itulah yang terbaik yang kulakukan untukknya.
Seperti yang dilakukan oleh ayahku.
Akulah si bungsu yang membunuh ibuku, ketika melahirkanku, kakakku yang lebih tua beberapa menit dariku pastilah akan menjadi kebanggaan keluargaku, dan segala tahta teruntuk untuknya. Si bungu yang adalah diriku, dibuang ke tempat seharusnya aku di buang, panti asuhan; tempat bagi mereka yang tak diinginkan, bila aku ingin berpikir keliru maka aku akan menyalahkan ayahku. Tapi aku tahu tidaklah begitu, karena aku tahu; darah memiliki keterikatan yang maha dahsyat, dalam jantungku ayahku mengaliri darahnya, dan aku hidup karena hembusan nafas ayahku.
Tak pernah kutahu siapa aku sebenarnya, tapi ketika aku berada di sana, dikelilingi kasih dan kehangatan. Aku nyaris tak mempedulikan yang lainnya. Panti juga tempat yang nyaman hanya saja tembok-tembok rapuhnya membuat orang berpikir tentang kasih sayang murni yang tak mungkin kami miiliki, mereka salah tentang itu. Bahkan ketika sang Pangeran mendatangi si Pengemis, dengan penuh permohonan dia mengharapkan agar kami bisa bertukar tempat. Sesuatu yang tak mudah untuk dipahami otak anak Sembilan tahun kala itu.
Sang pangeran yang mendatangiku, dia mengatakan kita saudara sedarah, dan kita pernah berbagi tempat di wadah suci, rahim ibu kami. Aku bisa mengenali hubungan itu dari keidentikan kami yang nyaris sempurna. Ada perasaan takjub saat aku berdiri di depan sosok lain yang terlihat serupa bayangan cermin. Tapi binar mata kami jauh berbeda, jika aku memancarkan cahaya kebahagiaan yang sederhana, maka matanya memancarkan ketakutan tapi juga kekejaman, perasaan angkuh tapi juga kelelahan bahkan di usia yang begitu mudanya. Dalam permainan drama ala pentas anak-anak, kami bertukar peran dan memang nyaris tak ketahuan.
Aku ingat bagaimana pertama kali aku memasuki, rumah yang pernah membuangku itu. Ada perasaan terintimidasi, walau orang-orang yang lebih dewasa, kuat dan berwajah seram itu tunduk hormat dan memberikan kesetiaan tertingginya padaku. Tapi tidak dengan satu pria lainnya, Dia ayahku. Oarng inilah yang membuangku, harusnya aku memberikan padanya kebencian besar, tapi tak sanggup kulakukan, karena darah yang mengaliri jantungku adalah darahnya dan aku hidup karena hembusan nafasnya,
Tak kusangka apa yang kulihat disini, kemewahan penuh noda haram; darimana mereka memperoleh harta kekayaan tak ternilai ini?dari menjual ketakutan dan terror, dari merusak harapan akan masa depan, dari menggadaikan keberuntungan pada setan, dari menukarkan mahkota berharga dengan nafsu sesaat, bisa ditebak dengan gampang; membunuh, narkotika, judi dan prostitusi. Akumulasi kejahatan yang kompleks.
Ketika aku menjadi diri sang pangeran. Atau kusebutkan saja namanya, Adrian, sedikit bereda dari Ardian namaku. Aku tahu apa yang membuatnya mau menukarkan tahta pada seorang pengemis…?tidak lain dan tidak bukan demi rasa aman, demi damai jiwa yang ingin bebas dari siksa. Saat suara tawa dalam perayaan bertaburan darah, dalam ilusi fantasi yang diciptakan sendiri, dalam permainan yang membahagiakan tapi tanpa disadari member efek frustasi, dalam pelukan tangan-tanganan gemulai bidadari ternoda. Semua itu bukanlah hal yang pantas dilihat dan harus menjadi tontonan sehari-hari seorang anak, tapi ketika segalanya berubah menjadi; sang anak yang perlu bimbingan moral harus menjadi pemimpin untuk aneka dosa tersebut, karena tahta ayahnya yang tewas mengenaskan, mau tak mau harus dijalankan, seperti DNA dan darah, bisnis penuh noda itu harus diteruskan, menjadi kewajiban mutlak seorang anak.
Aku merasakan kegelisahan dalam tubuhku, kupikir Adrian akan terbangun, dengan cepat aku menelpon seseorang yang terpaksa harus kupercayai. Diujung telepon kudengar suara yang mirip gumaman, ya ini jam tiga pagi lebih, belum sempat aku berkata apapun. Aku merasa seperti jatuh tertidur. Segalanya seperti mimpi.
0 comments