Kelas Bahasa Mandarin, 17 Januari 2012
Untuk Penyebab Tangisku,
Kupandangi lagi foto-foto itu, kuingat lagi kenangan-kenangan itu, kuingat lagi sosokmu, yang sempat menghancurkan aku.
Sudah beberapa hari sejak peristiwa itu, saat pertengkaran hebat kita memuncak pada kata putus, saat cekcok yang kita alami berujung pada kata pisah. Bukan karena kita, bukan karena aku ataupun kamu, tapi karena mantanmu. Dia begitu menggilaimu. Dia begitu mencintai kamu. Dia masih saja sulit melupakan kamu. Dia masih saja mengharapkan kamu, meskipun dia tahu bahwa kala itu kamu telah bersamaku.
Pesan singkatnya masih saja mengisi inbox handphone-mu, dan tahu bagaimana perasaanku saat itu? Rasanya aku ingin membentakmu dengan keras, rasanya aku ingin meronta pada ketidaktegasan yang kamu tunjukkan padanya. Ingin rasanya aku menyadarkanmu, menggoyang-goyangankan tubuhmu, "Dia mantanmu! Dia masa lalumu! Aku kekasihmu! Aku masa depanmu!"
Tapi, kautetaplah pria baik yang sama seperti pertama kali kukenal, kauselalu takut untuk menolak orang-orang yang ingin kembali masuk ke dalam hidupmu, meskipun dia telah mengiris-iris perasaanmu, meskipun dia telah merusak dan mematahkan hatimu. Dan, kebaikanmu yang terlalu berlebihan itu berimbas padaku, menyebabkan cemburu mengalir deras di darahku, dari vena sampai arteri, hanya ada emosi yang tiba-tiba merasuki. Apa salahku sehingga kamu berbuat begini?
Kautahu? Sebenarnya aku masih mencintaimu, sebenarnya tak ada yang lain yang bisa membuatku tersenyum, selain kamu. Tapi, semua telah terlanjur terjadi, kata putus yang kulontarkan dengan emosi kini menjadi sesal yang tak terganti.
Sempat kala itu kaumengajakku untuk kembali, seperti dulu, saat mantanmu tak lagi mengganggumu, saat kita bisa bahagia dengan jalan kita, aku dan kamu yang dulu satu. Tapi, entah mengapa, aku ragu untuk kembali bersatu denganmu. Entah mengapa masih ada yang mengganjal dalam hatiku. Entahlah... Semua terjadi di luar perkiraanku, kita seperti dipermainkan takdir, sedangkan aku dan kamu tak sempat membaca aturan main.
Aku tidak pernah berbohong kalau aku berkata rindu. Aku tak pernah menggunakan topeng ketika aku berkata tentang cinta padamu. Aku mencintaimu, setulus dan sesederhana itu.
Aku bukan seperti mantanmu, yang seringkali menyiksamu, yang seringkali membakar emosimu. Tapi, sekeras apapun perjuanganku, mengapa tetap saja sulit membuatmu, menatapku?
Dari mantanmu
yang kadangkala membasahi selimut tidurnya
dengan air mata
yang terjatuh untukmu
0 comments