Kami tak harus tau apa yang kami rayakan
Tapi kebersamaan dan suka citanya
Memperkaya beda diantara kita
***
Siang itu langit masih menghitam di atas sana, awan-awan gelap menggantung, menahan berat titik-titik hujan yang bersiap turun dengan derasnya. Tapi memang belum benar-benar hujan, masih rintik-rintik kecil serupa benang-benang halus.
Akhir-akhir ini, nyaris setiap hari hujan turun terus, kadang deras dengan angin kencang, petir dan halilintar, kadang hujan biasa saja,yang seolah hanya sejumlah air yang begitu saja disiramkan ke bumi, kadang juga berupa rintik-rintik kecil menyenangkan. Tapi yang jelas, seminggu terakhir langit jarang tersenyum cerah. Membuat ibu-ibu mengomel karena cucian yang tak kering, dan anak-anak merasa bosan di dalam rumah, mereka merindukan bermain di tanah kosong dekat terminal lama yang tak lagi difungsikan, untuk sekedar bermain bola, berlari-lari, atau main layangan, beberapa anak perempuan mungkin akan bermain tali. Tapi yang pasti mereka juga merindukan Alung…siapa dia?
Namanya Alung, seorang pria keturunan Tionghoa yang tak seberuntung saudara Tionghoa-nya yang lain. Di daerah itu para keturunan Tionghoa biasanya menjadi pemilik toko elektronik, toko kain, toko bahan makanan, toko bangunan, bahkan bandar besar togel. Tapi Alung tak seperti mereka yang tingkat ekonomi dan status sosialnya lebih tinggi.
Alung berusia sekitar 28 tahunan, mengalami gangguan mental, orang tuanya tak cukup berpunya, hanya menjual es balok juga es batu dan juga es lilin yang dijajakan Alung, di belakang kompleks pertokoan tempat orang-orang pribumi asli tinggal, dalam gang-gang sempit berpenduduk padat.
Alung memiliki sifat kekanak-kanakan yang lucu, yah, kecerdasannya setara kecerdasan anak umur tujuh tahun, anak-anak menyukainya, mereka menganggap Alung teman sepermainannya, selain itu mereka juga amat menggemari es lilin Alung yang manis dan segar, yang dibungkus plastik bening kecil, berbentuk tabung serupa neon mini warna-warni.
***
Seperti biasa Alung yang bersandal jepit, berkaos oblong putih, jam segini sudah menjajahkan esnya, tangan kanannya memegang termos es, dan tangan kirinya membunyikan lonceng kecil, dia menyeret langkahnya di jalanan becek berlubang, kaki kanannya memang agak pincang.
“Mak, Alung Mak” teriak anak kecil berumur lima tahun menunjuk Alung dari balik jendela rumahnya.
“Musim hujan, nggak boleh makan es!” hardik ibunya sambil melipat-lipat cucian setengah kering dengan muka sebal.
“Aluuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuung beli es” dasar bandel, Adib malah berteriak memanggilnya. Nyaring suara si anak kecil terdengar telinga Alung, Alung senang mendengar suara calon pembelinya, senyum polos permanen yang selalu menempel di wajahnya semakin melebar, matanya berbinar. Dengan menyeret langkah lebih cepat Alung menuju rumah yang pintunya agak terbuka itu.
Dari celah pintu Alung mengintip ke dalam rumah, pintunya menjeblak terbuka, si ibu dengan daster kusut dan rambut berantakan berdiri di pintu, dengan iba dia menatap wajah lugu Alung.
“Nggak jadi beli Lung, musim hujan si Adib juga lagi batuk pilek” Kata si Ibu, agak tak tega.
Alung kecewa tapi tetap memasang senyumnya, dia mengangguk. Alung ingin kembali menjajakan esnya tapi tiba-tiba saja hujan deras turun, si ibu mengajak Alung masuk, malu-malu Alung mengikutinya, duduk di lantai di samping Adib yang beringus yang tatapan matanya tak henti menatap termos es Alung yang menggoda.
Alung tersenyum pada Adib yang sedari tadi bersin-bersin, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Alung bicara “Pilek…jangan makan es” katanya terbata-bata pada Adib yang langsung cemberut,
Alung membuka tutup termosnya yang berembun, menatap ke termos yang masih penuh, esnya belum terjual sedikitpun. Si ibu merasa kasihan pada si Alung.
“Alung nggak bisa beli kembang api buat Imlek nanti. Es Alung nggak laku beberapa hari gara-gara hujan-hujan ini” dia berbicara pelan terdengar manja, agak sedikit cadel juga, terlihat lucu tapi juga menyedihkan, seperti seorang anak yang terjebak dalam tubuh pria dewasa.
Si Ibu tak terlalu mengerti apa yang dikatakan Alung, lagipula dia juga tak tau harus berkata apa, jadi dia memilih untuk pura-pura tak mendengar, dan sengaja menyibukkan diri dengan tumpukan cuciannya.
***
Saat itu petang hari, orang-orang dari Masjid baru selesai melaksanakan ibadah sholat maghrib, Alung menyeret-nyeret langkahnya menuju tanah kosong dekat terminal lama, di tangannya tak ada termos es tak ada juga lonceng kecilnya, tapi kali ini dia memeluk sejumlah toples plastik. Alung masih tetap bersendal jepit, tapi tak berkaos oblong putih, dia memakai baju berwarna merah, bukan baju baru tapi sepertinya itu baju terbaiknya.
Dia melewati rumah warga, dia memanggil-manggil nama anak-anak yang tinggal di sana, seakan memanggil teman-teman seusianya.
“Aga….Ical…Odon, main …..ayooook” teriaknya.
Ada sahutan dari dalam rumah, dan langkah-langkah kaki yang terdengar.berirama.
“Boni…Lulu…, maiiiiiiiinnnn ……yooooookkk” teriaknya lagi.
Beberapa anak muncul di pintu dan bergabung dengannya, sekarang ikut memanggil teman-teman lainnya. Dan anak-anak lainnyapun segera muncul.
“Adib….Adib…Adib….” Alung memanggil lama di depan rumah seorang anak lainnya, tak ada sahutan, dia sadar ini waktu makan malam, tak banyak anak yang boleh keluar di waktu ini. Dia dan anak lainnya dalam langkah-langkah kecil penuh semangat menuju tanah kosong dekat terminal.
Di sana, Alung mulai membuka-buka toples-toples plastiknya yang berisi kuaci, kacang dan permen, anak-anak dibagi-bagikannya agar tak rebutan.
“Bayar nggak nih?” tanya Aga si anak paling besar “berhenti dagang es, Lung?”
Alung menggeleng
“Ayo makan” katanya sambil tertawa, dia merasa gembira.
Sambil menikmati penganan kecil itu anak-anak tertawa-tawa, juga saling bercanda, di kejauhan sana, seorang anak kecil berlari kencang, wajahnya memerah karena semangat dan kegembiraan yang meluap, itu si Adib, ditanggannya terdapat beberapa bungkus kembang api, jenis kembang api yang berwarna abu-abu berfungsi serupa sumbu beku yang disalutkan pada sebatang kawat, di tangan lainnya terdapat korek dan lilin.
Adib mendongak menatap Alung yang bertubuh jangkung, Alung bahkan lebih jangkung dari bapaknya. Dengan malu-malu Adib, menyerahkan benda-benda yang memenuhi tangannya. “Ayok main kembang api” . Alung berlutut agar tubuhnya bisa tergapai Adib, dia menerima kembang api, korek dan lilin. Ada rasa tak percaya saat menatap benda yang sangat diinginkannya itu, dia tersenyum senang, matanya berbinar ceria.
Dengan bersemangat dia menyalakan lilin, dan membagi-bagikan satu persatu batang kembang api kawat itu pada setiap anak. Mereka bergantian membakar kembang api miliknya, mereka terlihat gembira. Anak-anak menyukai cahaya kembang api yang menari, mereka berlari-lari juga ada yang menari-nari sambil memegang ujung kawat yang menyalakan indahnya cahaya api. Alung memandang teman-temannya dalam tubuhnya dia merasa seakan jantungnya bisa meledak karena rasa bahagia. Dia bahagia bisa melewati saat indah ini dengan teman-teman lainnya, yang bahkan tak mengerti bahwa hari ini adalah perayaan penting bagi dirinya.
***
Malam itu dari kejauhan kembang-kembang api sederhana itu memberikan cahaya yang indah, cahaya penuh bahagia, ada perayaan di sana walau tak pernah mereka pahami, karena saat itu jauh hari sebelum Gus Dur menjadi presiden, jauh hari sebelum Imlek di tetapkan sebagai hari besar nasional.
GONG XI FA CAI
0 comments