Rahasia Gadis (26)



(Lestari)

Aku selalu senang memandang matahari terbenam, menandakan bahwa hari telah usai. Seperti senja ini, saat langit terlihat seperti lukisan jingga keemasan bercahaya yang memberi arti bahwa kisah hari ini harus berakhir. Aku ingin bertanya, apakah hari ini kau telah menciptakan kenangan baru? Ataukah jauh dalam hatimu kamu ingin menghapus kenangan itu?

Sore ini aku ingin mengenang kembali, satu hari dalam hidupku, hari dimana…kenangan itu tak lebih dari sebuah film buram yang menjadi sebuah kenangan, hari dimana aku menemukan jalan yang pantas untuk kulalui selama sisa waktuku. Aku tak pernah menyesali hari itu.
Aku menatap wajahnya, penuh senyuman, indah menambah rupawan wajah tampannya. Aku selalu jatuh cinta pada pria yang saat ini menimang bayi laki-laki kembar yang baru saja kulahirkan. Terlahir sehat keduanya, pada awalnya, tapi tidak untuk salah satunya, karena bertahun-tahun kemudian kesehatannya tidak sesempurna seperti saat dia mengawali kehidupannya di dunia.
“Terima kasih” bisik laki-laki itu, kali ini dia menyerahkan kedua jagoan cilikku itu pada dua orang suster yang terlihat sangat terpesona oleh keelokan sang bayi yang seperti baru saja diterima dari surga.
 Setelah kedua suster dan bayiku pergi, laki-laki itu menghampiriku, duduk di sisis tempat tidur, tempatku berbaring lemah tapi bahagia. Dia menggenggam tanganku, tersenyum padaku, bukan tersenyum tapi semacam seringaian, kedua tanganku yang digenggamnya sekarang diberi sebuah kehormatan, ciuman hangat penuh penghargaan.
“Terima kasih” kali ini dia mengucapkannya lagi dan sekarang ditambah sebuah ciuman di puncak kepalaku. Aku meneteskan air mata saat bibirnya menyentuh kulit kepalaku yang tertutup rambut halus indahku. Aku tak menangis bahagia, tapi lebih kepada mengasihani diriku sendiri.
“Lestari, aku sudah memikir nama untuk kedua anakku; Adrian Pranadjaja dan Ardian Pranandjaja, kuberikan nama belakang, tahta, serta kehormatan.” Matanya berbinar saat mengatakannya.
Aku mengangguk, tak berkata apa, tapi terpaksa memberikan senyuman memahami yang menyakitkan hati. Ibu macam apa aku ini! Aku menjual anakku sendiri! Bukan pada siapa-siapa, memang pada ayah biologisnya, sungguh masalahnya bukanlah hal yang sederhana.
Tak bisa menyimpan kepiluan yang mendalam, mau tak mau aku membiarkan air mataku menetes lagi.
“Jangan sedih! Aku takkan sekejam itu padamu, yang kubutuhkan hanya satu pria penerusku, si bungsu boleh jadi milikmu.”Dia memberi senyum pengertian. “ Tentu aku tak keberatan memiliki keduanya, tapi aku memberikanmu bukan karena aku mengasihanimu yang harus kehilangan darah dagingmu. “ Berhenti sejenak, menghela nafas, lalu mulai lagi berbicara “Ini lebih karena aku tak ingin ada perebutan tahta di kemudian hari. Kamu tau siapa aku, aku bukan pria baik, aku otak dari segala kejahatan yang pernah terciptakan; pembunuhan tanpa ampun, narkotika sebagai pelarian, ataupun wanita-wanita pelepas dahaga pria, itulah duniaku, kehidupanku, tahtaku, hartaku. Kehidupan kotor yang menyenangkan.” Dia seperti mengejek dirinya saat mengatakan hal itu.
Aku tak dapat bicara, mulutku kelu, tenggorokanku sesak. Lelah masih menyelimutiku, belum lagi hancurnya rasa hatiku.
“Lestari, tapi putraku itu tak sepenuhnya milikmu. Jika nantinya terjadi sesuatu dikemudian hari. Mungkin aku akan membawanya bersamaku. Jadi jangan pernah mengaku bahwa kamu adalah ibunya!” Dia berbicara seakan dia makhluk es, tak punya hati tak punya jiwa. Apa yang ada dalam dirinya? Apakah dia iblis yang menjelma sebagai manusia.
Aku menangis.
“Wanita adalah sumber air mata” dia terlihat kesal, tapi aku ingin menganggap bahwa air mata membuatnya tak berdaya, kehilangan kuasa.
“Lestari, aku memilihmu bukan tanpa alasan” Dia bicara dalam nada yang merendahkan. Kata-katanya seolah mengingatkan siapa aku sebenarnya, gadis muda yang rela menjual tubuhnya demi rupiah. Yah itulah aku, aku memang menjual diriku untuk lelaki yang kucintai tapi tak bisa kumiliki. Laki-laki yang tak punya hati, melihat segalanya dari sudut pandang berbeda, benci!
“Kau tahu aku tak pernah mencintai, wanita terlalu banyak dihadirkan di atas dunia yang fana ini” dia terkekeh, dia seperti mengejek fakta ini. “Seharusnya Tuhan lebih banyak menciptakan laki-laki untuk membuat Bumi ini tempat yang lebih layak untuk ditempati, wanita makhluk lemah hina, yang membuat Adam terusir dari surga” Dia memainkan jemariku, mengusapnya, membelainya dengan lembut tapi aku tau hatinya memang tak selembut sentuhannya. Aku mengenali setiap sentuhannya, sentuhan yang berkali-kali kurasakan sebelumnya, tidak hanya di antara jari jemari, tapi nyaris di setiap centi tubuhku ini.
“Aku tahu Lestari, kamu mencintaiku sepenuh hati.” Kali ini dia benar-benar membuatku ketakukan, ketakutan atas tatapan matanya yang indah yang menatap dalam, jauh ke dasar  mataku yang seolah menembus relung jantungku. “Aku tahu, tapi kamu tahu, aku tak bisa mencintaimu” kali ini pandangannya berbeda, menghina, seakan aku seonggok benda menjijikan penuh nista. Air mukanya kembali berubah, kali ini sebuah senyuman lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang tersusun sempurna. Wajahnya menghampiri wajahku, dia menciumku, kening, pipi, bibirku, pelan, lembut penuh perasaan, tapi dalam waktu seketika, tiba-tiba bibirnya seperti mencabikku, dia buas dan beringas, dia lupa betapa lelahnya hati dan ragaku saat ini. Aku ketakutan, dia merasakan setiap ketakutan yang seperti menguar dari pori-pori kulitku” Dia tertawa, menikmati sensasi ketakutanku, itu membuatnya senang, membuatnya tahu diri betapa berkuasanya dia.
“Lestari…aku memang membutuhkan wanita yang mencintaiku untuk menjadi ibu anakku, tapi takkan pernah menjadi belahan jiwaku, karena kamu tahu, aku tak memiliki itu.”
Dia masih saja menciumiku, seakan aku seperti aku yang biasanya, yang bisa kapan saja ditidurinya, ya, aku adalah budak beliannya, tubuhku telah dibayar untuk menghilangkan dahaga nafsunya. Derita yang harus kuterima karena kemiskinan dan kerasnya dunia.
“Lestari, terima kasih” dia mengecupku sekali lagi, kali ini di kening, dan dia menjauhiku, berdiri, berjalan mondar-mandir sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku  celananya.
“Jangan tatap aku seperti itu” kali ini kalimatnya terdengar lembut. “Betapapun laknatnya aku tapi jangan khawatir, aku adalah makhluk yang pandai berterima kasih.” Dia tersenyum “Apapun yang kau inginkan, akan kuberikan, katakan saja, dan seperti mantra abrakadabra, semuanya menjadi nyata, kulakukan hanya untukmu wanita pilihan yang jadi ibu anakku.” Dia bicara seakan dia orang gila. Tapi tentu saja tidak, seburuk apapun dia, selakhnat apa, harus sekali lagi kutegaskan walau ini adalah sebuah kesalahan, kepada manusia biadab inilah kuserahkan hati dan jiwaku.
“Katakan…katakan sayangku.” Dia tertawa.
Aku tau permintaanku bukan hal mustahil baginya.
“Buatkan aku sebuah panti asuhan” kataku lemah, tapi tetap bisa tertangkap oleh telinganya. Aku sudah memikirkan permintaanku ini sejak lama. Aku serius dengan keinginanku ini. Walau aku wanita yang menjual diri tapi jauh di dalam hati aku ingin kembali fitri, ingin menyelamatkan mereka yang terlahir sepertiku, tanpa ibu bapak, sebatang kara. Aku ingin menjadi ibu bagi anak-anak yang dibuang, seperti aku dulu, agar tak pernah berakhir tragis dalam drama dunia yang seakan tak pernah tersenyum manis.
Dia terkekeh “Akan kukabulkan sayangku” dia menghampiriku, memberikan kecupan di bibirku. “Permintaan yang sangat mulia, akan dikabulkan segera” dia memberi hormat padaku, seakan dia rakyar jelata dan aku adalah ratunya. Dia tertawa-tawa dan meninggalkanku pergi.
Kenangan itu usai. Seperti film yang diakhiri kata tamat, seperti layar yang telah diturunkan. Aku kembali ke masa kini, warnanya tak lagi buram dan hitam putih. Aku mengelus sebuah buku harian, catatan sejarah hidupku, beberapa kejadian penting kutuliskan disini. Aku memasukkan buku harian itu ke dalam sebuah amplop karton cokelat yang bertuliskan. Teruntuk Rakendra, Aku percaya, kamu bisa mengubah sejarah.
Aku naik ke tempat tidur, seakan ini adalah waktunya tidur. Di kejauhan masih kudengar sayup celotehan riang anak-anak yang kini menjadi anak-anakku, walau nanti akan ada orang-orang datang menjadi keluarga barunya, banyak anak datang banyak anak yang pergi, hanya satu yang tak pernah ingin pergi tapi kupaksa pergi, dan terlalu malu untuk kembali. Rakendra. Putra istimewa yang menyayangiku seakan aku ibunya, anak muda penuh cinta.
Aku berbaring, menarik selimutku. Aku tak pernah merasa sesehat ini. Aku tak pernah sakit, tapi sudah waktunya bagiku untuk menutup mata. Dalam gelap wajah-wajah itu datang; laki-laki yang kucintai tapi tak pernah mencintaiku, Adrian dan Ardian, serta Rakendra. Pria-pria istimewa yang menjadikanku wanita yang seutuhnya.
Dalam ketenangan dan damai jiwa, ada satu hal yang sungguh-sungguh kurasakan. Bahwa aku tak pernah benar-benar hidup selain saat menjelang mati.

Bersambung…

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top