Rahasia Gadis (37)


(Ardian-Adrian)

Jatuh cinta adalah sebuah gagasan hebat, sensasi rasa yang kualami sungguh mampu menjadikanku sesuatu yang bukan aku, tak pernah kutau ternyata rasanya bisa sangat memabukanku, tapi setelah menyadarinya, rupanya aku agak sedikit keliru. Ada rasa lain yang lebih menggembirakanku, yaitu…rasa cemburu.
 ***

          Dari balik kaca mobil mewahku, aku melihatnya bekerja banting tulang di bawah panasnya matahari yang menyengat tanpa ampun siang ini. Semangat dan kegigihannya layak untuk mendapatkan hal yang lebih baik daripada menjadi kuli bangunan, dengan banyak mengeluarkan tenaga tapi mendapatkan upah yang tak seberapa.

          Pemuda itu, pemuda yang hatinya punya ruang khusus untuk gadis kecilku.
          “Jangan menaruh simpati padanya!” Bentakan kasar itu berasal dari dalam otakku.
          “Adrian…aku mencoba bersikap manusiawi!” aku membisikinya melalui hati.
          “Dan aku hantu tanpa perasaan memang tak bisa melihat dari sudut pandang manusia!”
          “Adrian berhentilah bersikap dramatis, kamu cuma terlalu mencintai Gadis!” aku mencoba mengingatkannya.
          “Selamat kamu akhirnya menyadari bahwa cinta itu indah” aku mengejeknya, dalam diriku dia merasa marah dan yang kutahu posisi kami berubah.
          “Ardian…bisakah kita berhenti membahas afeksi, itu bukan topik favorite-ku!” tak ada suara di sana, aku tau terlalu lama tersadar dan mengambil alih posisi menjalankan fungsi manusia membuatnya lelah, aku merasakan saudaraku terlelap dalam diriku.
          Dia bilang aku mulai menyadari bahwa cinta itu indah…benarkah seindah yang dipikirkannya?
          Jatuh cinta adalah sebuah gagasan hebat, sensasi rasa yang kualami sungguh mampu menjadikanku sesuatu yang bukan aku, tak pernah kutau ternyata rasanya bisa sangat memabukanku, tapi setelah menyadarinya, rupanya aku agak sedikit keliru. Ada rasa lain yang lebih menggembirakanku, yaitu…rasa cemburu.
          Aku tau aku menikmati cemburu yang kumiliki, yang merubah cinta menjadi benci. Permainan bodoh masa lalu, saat kami saling bertukar peran, aku jadi Ardian dan Ardian menjadi diriku. Keidentikan diantara kami bisa jadi berkah juga musibah, manakala satu cinta itu pada orang yang sama …Tiara, ingin aku kembali lagi, muncul di hadapannya sebagai seorang pemberani, mengatakan segalanya, menyelamatkan yang telah terlewati, tapi…
          “Adrian jangan!” sial, Ardian terbangun lagi, dia membaca pikiran terdalamku.
          “Berhentilah bersikap seperti pengecut!” Aku berteriak, suaraku seakan memecah gendang telingaku.
          “Siapa yang lebih pengecut?” pertanyaannya membuatku muak.
          “Pengecut itu adalah, seseorang yang jatuh cinta pada wanita yang dicintai oleh saudaranya tapi terlalu malu untuk mengakuinya…Adrian…seandainya dulu kamu mengatakannya?” apa yang dikatakan oleh makhluk dalam otakku? tak ingin kumengerti!
          “Sudah terlewati, kita lupakan saja!” aku ingin menyudahi pembicaraan ini.
          “Pengecut itu…adalah seseorang yang merebut kehormatan wanita yang dicintainya dengan cara seperti hewan mencabik mangsanya!” Ardian mulai kelewatan! Tak ingin menyangkal apa yang dituduhkannya, tapi tak ingin pula menerimanya sebagai sebuah kebenaran.
          “Pengecut! Bisakah sekarang kamu datang pada Tiara dan mengatakan segalanya?” suara dalam otakku menghakimiku secara keji!
          Akan lebih mudah apabila makhluk dalam otakku berada sebagai makhluk utuh yang berada di depanku, sehingga tak sulit bagiku untuk membalasnya dengan cara yang wajar, aku merasa seperti penderita Schizophrenia parah. Tak kuasa kutahan amarah, aku mengambil langkah gegabah, aku melakukan hal yang gila mengemudikan mobilku secara tiba-tiba lalu menabrakkannya pada pohon besar di depan sana.
          Sebelum kegelapan itu datang, aku merasakan satu hal, bahwa tawa manja Gadis perlahan menghilang dan berganti menjadi isakan tangis.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top