Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal?



                Aku menatap wanita yang kucintai itu dengan tatapan bersalah. Sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang salah, aku yang salah atau dia yang salah. Rasanya memang tak ada yang membuat kesalahan, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah di antara kita. Dia wanita yang sungguh berbeda. Wanita yang tidak lagi kukenal. Aku kehilangan cara untuk menghadapi segala macam tindakannya.
                “Aku enggak mau makan di situ, mahal.”
                “Aku yang bayarin!” ucap kekasihku sambil menarik dompetnya dari tas, “Kita makan di sana aja ya, enak kok, banyak gizinya, supaya kamu gendutan dikit. Kalau kurus kan enggak enak dipeluk.”
                “Kamu yang bayarin?”
                Well, kenapa?”
                “Emangnya kita enggak bisa makan dipinggiran jalan aja? Yang lebih enak, lebih murah juga.”
                “Enggak ah, makan di sana berdebu, banyak asap kendaraan bermotor. Aku mau makan di restoran aja.”
                “Aku enggak mau.”
                “Kenapa? Emangnya salah kalau aku memberikan yang terbaik untuk pacarku sendiri? Kalau makan di pinggir jalan nanti kamu sakit. Kamu kan enggak tahu bahan campuran dari makanan itu bersih atau enggak.”
                “Restoran itu mahal, Sayang. Aku enggak bisa bayarin kamu makan di sana!”
                Wanitaku terdiam sesaat, ia hanya menatapku dengan tatapan bersalah, “Memangnya salah kalau aku bayarin kamu?”
                “Enggak ada yang salah, cuma terlalu sering. Aku kan cowok, kewajibanku adalah membayar kebutuhanmu.”
                “Siapa yang bikin peraturan kayak gitu? Gender banget. Cewek enggak boleh bayarin cowok?”
                “Itu bukan peraturan, Sayang. Itu seperti kodrat, sebuah keharusan.”
                “Kita cuma mau makan, bukan mau ngurusin kewajiban dan hak. Ribet banget sih kamu!”
                “Kamu itu pacar aku, harusnya kamu mau aku atur.”
                “Oh, gitu, mentang-mentang aku cewek, lantas kamu berhak mengatur aku?”
                “Bukan, maksud aku, kapan kamu memberi aku kesempatan menjadi laki-laki seutuhnya? Yang bisa melindungi kamu dan memenuhi kebutuhanmu?”
                “Aku bukan wanita manja yang butuh lelaki sebagai penutup kelemahan. Aku bisa menutupi kelemahanku sendiri.”
                “Itulah, Sayang, yang seringkali aku benci dari sikap kamu. Sombong.”
                “Aku yang bayarin kamu segalanya! Karena apa? Karena aku tahu, kamu enggak mampu melayani yang aku mau. Ini bukan soal hak dan kewajiban, Sayang. Ini soal keinginan untuk berbagi.”
                “Egois!”
                “Terserahlah. Aku capek berdebat berulang-ulang kayak gini.”
                “Mau kamu apa?”
                “Aku mau pulang, aku balik sama supirku aja. Aku males naik motor sama kamu. Panas! Bau! Pusing! Repot kalau banyak wartawan tahu kalau aku naik motor sama kamu!”
                Aku menghela napas, “Pulanglah, aku cuma enggak mau bikin kamu kehujanan dan kepanasan gara-gara naik motor sama aku.”
                Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, raut wajahnya seakan tak memercayai bahwa pernyataan sekejam itu bisa terlontar dari bibirku. Kekasihku melengos pergi, aku tak mampu lagi menahannya untuk tetap tinggal. Ia terlalu mandiri, terlalu kuat, dan terlalu mudah meninggikan dirinya. Aku yang kecil hanya bisa menerima, menetap dia dari jauh, tapi tetap mencintainya.
                Ketika punggungnya terlihat menghilang, aku berpikir dengan gelisah. Apakah wanita mandiri tak lagi membutuhkan sosok pria di sampingnya?

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top