Sebuah OratOret Bab1 Part 1.... (mata Rantai)




Jakarta, September 2012

Petir menggelegar bersahut-sahutan. Awan gelap menyelimuti seluruh permukaan angkasa. Hujan turun dengan derasnya. Deru angin berhembus dengan kencangnya, hingga menggoyangkan ranting-ranting pohon. Daun-daun yang mulai hampir kering dan tak kuat menahan terpaan angin dan deras air hujan jatuh berterbangan. Daun jendela yang sudah tak kuat lagi engselnya, membangunkanku dengan derik suaranya yang menyayat hati. Kulihat jam weker yang tak pernah kusetel untuk berbunyi, di meja tepian ranjangku, sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Membuatku enggan meneruskan tidurku yang benar-benar lelap.

Segelas susu hangat dan sebuah jeruk mandarin sudah terhidang di meja tepi ranjang, tepat disamping jam weker. Ibuku yang bersahaja tak pernah lupa untuk menyediakan sarapan pagi yang sudah menjadi langganan setiap aku terbangun. Tetapi belum lama ku menyentuh gelas susu tersebut, dering telpon genggam membuatku meletakkannya kembali. kutatap sesaat layar ponselku, sahabat lama telah menghubungiku…

“Halo….” ucapku sembari menahan rasa kering pada tenggorokan.

“Kau bisa datang?”

“Ada apa Kep?”

“Aku butuh kau saat ini. Kau bisa datang?”

“Ah gila, ada apa? Jangan kau seret aku ke dalam kasus-kasusmu. Sudah kukatakan aku tak tertarik.”

“Kali ini saja. Aku butuh bantuanmu. Aku tahu kau sedang menganggur saat ini. Sampai kapan kau terus mendekam di rumahmu? Aku mendengar kau lulus dengan predikat terbaik di Inggris sana. Mau jadi apa kau? Satu-satunya bidangmu adalah menjawab pertanyaan atas kasus-kasus kriminal.”

“Aku baru saja mau mendaftar menjadi seorang magician. Ada ajang pencari bakat magician di salah satu TV lokal. Dan aku tertarik.”

“Terserah….” ucapan kawanku terdengar menahan geram. Dan aku tertarik untuk menambah keprihatinannya aklan diriku. “Tapi, tolonglah, sekali ini saja. Kau lihat jenazah korban. Aku tak menuntut apa-apa. Selebihnya terserah padamu kawan.” lanjutnya.

“Oke sebutkan padaku TKP-nya. Oh ya, pertahankan sebisa mungkin jangan ada yang berubah, sampai aku datang. Ku berharap kau bisa, menahan jenazah itu.”

“Oke, paling lambat satu jam. Selebihnya kita hanya bisa melihat TKP tanpa jenazah. Dan Jenazah kalau kau tertarik melihatnya, kita akan datang ke rumah sakit.”

“Kalau kau memindahkan jenazah. Aku akan dengan senang hati kembali ke rumah. Percayalah, tak akan kubantu kau.” aku menantang jalan pikirannya. “Silahkan sebutkan alamatnya.”

Aku hanya perlu mendengar dengan teliti alamat yang disebutkan sahabatku itu. Sambil tersenyum geli, ku seruput susu hangat di dalam gelas. Aku tertarik, semangat hidupku seakan pulih. Setidaknya kini aku memiliki pekerjaan. Sudah lama menganggur, membuat kemampuan berpikirku kian melamban. Dan aku betul-betul tidak menyukai situasi seperti ini. Ada kegairahan yang terteguk ke dalam rongga tubuhku, bersamaan dengan tegukan susu hangat buatan ibu.

Tak lama kemudian aku sudah mulai merapihkan setelan yang kukenakan. Jeans berwarna hitam tampak padu dengan kaus yang juga berwarna hitam polos. Sebuah jas berwarna putih tentu akan menampilkan aksen yang begitu berbeda. Kekontrasan terkadang membuat semua menjadi padu.

Aku sempat terbingung dengan benda apa yang akan kubawa. Ah tentu saja, sebuah pendulum tak boleh tertinggal. Aku membuka laci pada meja kecil dimana perkakas ku tergeletak begitu saja. Sepuluh buah pendulum berbagai jenis membuatku sukar untuk memilih. Semuanya memiliki ciri khas yang berbeda, dan kepribadian berbeda akan timbul setiap aku menggunakan satu diantaranya. Meski hanya terdiri atas satu rantai tunggal dengan bandul yang terbuat dari macam-macam tipe benda, alat ini mempunyai fungsi dalam pekerjaanku. Bandulnya ada yang terbuat dari intan, perak berbentuk peluru dan sebuah arloji berbentuk jam kantung (pocket watch). Aku memilih yang berbentuk arloji kantung dengan ornament yang unik, memperlihatkan kesan antik dan tentu saja membuatku kian berwibawa.

Aku juga sempat mempertimbangkan untuk membuka laci yang satunya lagi, dimana tersimpan brankas di dalamnya. Brankas itu tergeletak sebuah revolver yang sudah kuperoleh lisensinya ketika aku masih kuliah di Inggris dulu. Tentu saja sudah dilegalkan di negara ini. Namun aku mempertimbangkan untuk tidak membawanya turut serta. Toh belum waktunya, setidaknya begitu yang kuyakini pada alam bawah sadarku.

Setelah mengecup pipi Ibuku dan meminta izin kepadanya, aku bergegas pergi. Tentu saja wanita yang paling kuhormati tersebut akan sedikit heran, hal ini kulihat dari raut wajah dan pupil matanya, kemana putranya yang pengangguran ini akan pergi meninggalkan rumah sepagi ini. Sesuatu yang belum pernah aku lakukan setidaknya dua tahun ini, setelah kepulanganku ke tanah air. Tapi kurasa ia takkan bertanya, karena aku pernah mengutarakan maksudku untuk mengikuti audisi ajang pencari bakat magician yang diadakan salah satu TV lokal. Dan pendapatku itu betul, seketika ia berkata, “Ibu harap kau akan lolos. Percuma kau dikuliahkan jauh-jauh ke Inggris, hanya untuk mendalami bidang yang kau sudah tekuni sejak SMA itu nak.”

Mendengar ucapan itu aku hanya tersenyum. Ibuku, wanita terbaik sedunia versiku, telah mendoakanku. Betapa berharganya doa dari seorang Ibu. Harga yang tak terbalas dengan apapun jua. Dengan doa itulah aku bergegas dengan semangat menuju kasus pertamaku, yang kuharap bisa terselesaikan dengan mudahnya.

Dengan mobil sedan tua pemberian almarhum ayah aku meluncur di bawah derasnya hujan dan angin yang berhembus kencang. Semangat yang membara tentu saja menampikkan segalanya. Ketika ku membuka rak dashboard, saat hendak mengambil kaset musik, aku melihat selembar kertas ijazah sewaktu aku lulus kuliah dulu. Tertera tulisan “UMBRIDGE UNIVERSITY : The Institute of Criminology”. Aku hanya tersenyum sambil berusaha mengenang jejak-jejak kenangan yang sudah banyak terlupakan, atau sengaja tak kusimpan dalam otakku.

Seusai lulus dari Akademi Kepolisian aku tidak langsung berminat ditempatkan menjadi polisi. Karena sebuah peristiwa yang tak terlupakan, dan membuat aku benci dan enggan menjadi anggota kepolisian. Serta menyadari bahwa bakatku tidak seharusnya hanya menjadikan aku polisi, yang dulu kuanggap pekerjaan itu adalah kacangan. Aku meminta kepada ayahku, untuk memasukkan aku kuliah ke Inggris. Meski dengan berat hati, ayahku yang mencintaiku, disebabkan aku adalah anak semata wayangnya, meluluskan niatanku.

Aku menyadari betul ketertarikanku terhadap dunia hypnosis dan Kriminologi. Dan untuk memperdalamnya, tentu saja tidak bisa kudapatkan di Indonesia. Maka belajarlah aku ke Inggris. Namun semua itu, sebagaimana aku benci ketika awalnya untuk masuk ke dalam kepolisian, malah membuatku sadar bahwa kepolisian bukanlah satu-satunya untuk bisa mengembangkan keilmuanku menjadi praktik yang nyata. Dan disinilah aku saat ini, dimana keinginan, pasti terkabulkan.



YANG MEMBACA INI DENGAN SUNGGUHSUNGGUH HARAP KASIH MASUKANNYA!!! AH GILA BETUL PEKERJAAN INI LAMA TERTUNDA..... DAN KUUBAHUBAH TERUS....... INI VERSI YANG ENTAH KESEKIAN..... TAPI KUHARAP TERSELESAIKAN......

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top