(Kamis, 9 Agustus 2012 pukul 08:28)
“Ah, tak perlulah kau terus-menerus menyimpan dendam. Nyatanya toh kita mampu bertahan hidup, mampu menjalani hidup sebagai manusia-manusia berpribadi, tanpa harus menumpukan diri pada siapa pun?” ujar Mbak Tatik.
Ah, aku masih heran: dialah di antara kami berenam kakak-beradik yang paling teraniaya. Namun, kenapa justru dia yang paling bisa membasuh luka, melenyapkan dendam yang mengerak di dasar hati? Aku merasa tak semestinya dia begitu gampang melupakan semua perlakuan tak mengenakkan. Sejak kanak-kanak, ketika belum lagi tahu apa kesalahan bapak dan ibu kami – jika sesungguh benar itu kesalahan mereka, kami selalu diperlakukan sebagai sampah, sebagai kotoran. Yang menjijikkan, yang mesti dibuang, jika perlu dilenyapkan.
“Berbelas tahun aku menyimpan dendam. Berbelas tahun aku memeram luka, sakit hati, kecewa. Segala macam perasaan yang menyiksa. Namun akibatnya? Aku makin merasa tak berarti, aku merasa tak layak hidup. sesekali terlintas keinginan mengakhiri hidup, bunuh diri,” ujar mbakyu sulungku. “Namun aku berubah pikiran. Aku berpendapat, kita justru harus memperlihatkan kepada siapa pun, ya kita harus membuktikan diri bahwa kita tak layak diperlakukan secara semena-mena. Dan, karena itu pilihanku, pilihan kita, adalah bertahan hidup, sebisa-bisa, dan menunjukkan bahwa kita bukan pecundang.”
Aku tepekur. Mbak Tatik rada terengah setelah mengucapkan kalimat panjang itu. Dia melolos sebatang kretek dari bungkus rokok di atas meja. Menyulut dan mengisap dalam-dalam.
Mataku nanar. Kepalaku pening tiba-tiba. Kusandarkan tubuhku ke sandaran kursi rotan di ruang tamu rumah yang dia tempati bersama suami dan anak-anaknya, Mas Jacob Sambo serta Anno, Ratih, dan Lia. Ke rumah inilah setiap kali pulang ke Blora, aku mengistirahatkan hati dan pikiran dari kelelahan yang mendera. Dari kesuntukan yang menjemukan.
Salahkah aku jika selama ini memiara dendam? Selalu memandang dunia dengan kemarahan? Senantiasa siaga kapan pun, menghadapi siapa pun dengan syakwasangka?
0 comments