Sepanjang koridor lantai tiga hotel Anjasmara, aku melangkah cemas. Perasaanku memang sudah tak enak sejak meninggalkan rumah. Dua jam setelah panggilan itu. Tak biasanya aku mengalami nervous bertemu klienku. Lebih-lebih klienku ini terbiasa ‘memakaiku’ ketika dinas ke Semarang.
Aku mencari ruang 119. Tak terlampau sulit karena berdekatan dengan lift. Ah, sepertinya hotel ini cuma dibooking oleh satu orang saja. Sedari tadi aku check ke resepsionis, tak satupun tamu yang terlihat. Koridor ini juga begitu sunyi. Wingit. Mungkin karena konsep semi klasik dengan lukisan wayang dan candi-candi di dindingnya.
Di depan pintu aku mengatur nafas. Aku menekan sepuluh digit nomor sebagai akses masuk ruangan itu.
Beruntung terbuka.
Mataku langsung melalang buana ke ruangan besar berkonsep semi-kontemporer dengan lukisan Rama dan Sinta di atas springbed. Namun, aku menemukan keanehan di kamar ini. Ruangan mewah dengan mini bar itu begitu sunyi. Lampu utama juga tak nyala. Hanya lampu meja yang membuat suasana temaram. Mataku jelalatan mencari sosok pria perkasa itu. Pria yang selalu membuatku rindu. Rindu uangnya, Rindu bagaimana dia menghujaniku hadiah mewah. Ah, entah kejutan apalagi yang ingin dia berikan malam ini. Mungkin kalung berlian lagi. Atau jam tangan Rolexs?
Aku melangkah pelan. Tanganku menyusuri dinding mencari skakel lampu. Aku menemukannya. Tiga langkah saja dari pintu utama. Tapi saat lampu menyala…seketika…Oh my God!!! Inilah yang sebenar-benarnya kejutan! Ceceran darah di sprei putih bersih itu membuatku tercengang. Bukan cuma itu. Gulungan selimut penuh darah tergeletak di sisi springbed dengan kondisi berantakan. Pecahan botol Red Label tercecer di atas lantai. Lembaran uang seratus ribuan tersebar di atas lantai. Kertas-kertas yang entah berisi apa. Foto-foto cabul seorang pria dengan wanita muda di sebuah bar dan kamar hotel, Bantal yang berubah bentuk jadi mamahan tikus.
Aliran darahku tiba-tiba berhenti.
Lelaki itu….
Lelaki yang dua jam lalu menelponku, terlentang dengan pecahan botol menancap di perutnya.
Mataku terbelalak. Sekejap kemudian terpejam untuk memastikan bahwa aku tak sedang bermimpi. Ini tak mimpi. Ini nyata. Darah, darah, darah… semuanya darah. Sepertinya si pelukis kehabisan tinta merah hingga terpaksa menggunakan darah sebagai pengganti. Tapi ini bukan seni lukis. Ini…pembunuhan!
Apalagi teriak, bicarapun tak bisa.
Telapak tanganku sudah dingin.
Tubuhku gemetar…
Gemetar itu bertambah sempurna ketika mataku bersirobok dengan lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan baju penuh darah. Wajah lelaki itu memar. Aku mengenalnya. Aku mengenal lelaki itu. Dia yang duduk di barisan awal ketika sidang kasus korupsi ayahku. Dia yang memberiku kartu nama dan dengan sok manis mengundangku minum kopi di kafe yang baru dia buka. Dan sekarang aku menyaksikan lelaki itu….
Dia pembunuh! Dia mafia. Dia pejabat yang semestinya dilenyapkan dari muka bumi. Dia mafia hukum. Dia makhluk biadab yang menjadikan jabatan sebagai kamuflase kebejatannya. Ah, bodohnya! Kenapa aku masih berdiri di tempat ini? Aku harus lari. Menyelamatkan diri. Karena sejak detik ini aku sudah bisa memprediksi: nyawaku terancam!
****
singapore......
0 comments