Jogya
Jogya bertanya padaku
kebajikan mana yang telah terampas
hingga tata krama menjadi asing
aku menjawab
sejauh anak anak
telah kehilangan kata kata ibunya
hingga tak mampu mengurai bahasa ibunya
Jogya bertanya padaku
sejak kapan anak anak kehilangan kata kata ibunya
aku menjawab
ketika tak lelo lelo ledhung berganti nina bobok
untuk menidurkan sang jabang bayi
Jogya kembali bertanya kepadaku
dapatkah yang telah hilang itu kembali lagi
aku menjawab
ya, saat nanti
ketika orang orang mampu menikmati wayang kulit semalam suntuk
tanpa merasa memperkosa diri sendiri.
Jogya menjadi putus asa dan menyimpulkan sendiri
ah..itu sama saja ketidak mungkinan
lantas,
Jogya dicaci
karena menyesak dengan polah kemewahan
harga dirinya tergadai disembarang tempat
untuk dijadikan ruang ruang kebisuan
tanpa nyali menyapa
rumah rumah berpagar kengkuhan
menghunjamkan peredu ceplok piring
yang dulu menyapa dideretan pinggir halaman rumah
Jogya dicaci
karena anak anak telah kehilangan keteduhan pohon pohon asam
berganti dengan deretan bingkai bingkai tawaran gula gula manis kemewahan
keteduhan yang dulu banyak memberikan tempat kehidupan
terjaga dengan santunan rasa
hingga kicau burung prenjak dan kehadiran kupu kupu didalam rumah
menjadi pertanda akan kedatangan tamu
atau menjadi rasa was was
tatkala burung kulik
menyayat diatas pucuk pohon
menjadi pertanda akan datangnya duka
Jogya dicaci
karena purnama tak lagi menemukan keceriaan anak anak
bermain dolanan bocah :
gotri legendri nogosari, ri
riwul iwal- iwul jenang katul, tul
tulen olen-olen dadi manten, ten
tenono mbesuk gedhe dadi opo, po
podheng mbako enak mbako sedeng, deng
dengklok engklak-engklok koyo kodok
tenono mbesuk gedhe dadi opo
tergurat dalam kesedihan purnama
tatkala dengklok engklak-engklok koyo kodok
menyanyikan simfoni tanpa makna
membuang hajad dusta dimana mana
Jogjapun mulai mengerti
tapi masih tidak peduli
hingga masih saja bertanya
tapi aku malah berkata
panjenengan telah banyak kehilangan
jangan sampai keteduhan ringin kurung ikut diruntuhkan
hingga panjenengan tak lagi punya keberadaban.
Imogiri, 2012
0 comments