(Minggu, 26 Agustus 2012, pukul 00:45)
Ya, salahkah aku jika selama ini memiara dendam? Selalu memandang dunia dengan kemarahan? Senantiasa siaga kapan pun, menghadapi siapa pun dengan syakwasangka?
Ejekan, hinaan, caci maki, dan laku kekerasan! Itulah yang selalu kami sekeluarga – ibu dan kami berenam kakak-beradik – terima. Itulah yang selalu kami derita.
Cengeng? Tidak, kami tak pernah menerima begitu saja perlakuan itu. Kami melawan dengan kata-kata, kami melawan dengan tubuh kami sebisa-bisa. Kekerasan ucapan, kekerasan pukulan, kami lawan pula dengan lebih keras. Kalaupun kalah, aku tak pernah menyerah.
Maka jangan salahkan aku jika terus mencari kelemahanmu, untuk suatu saat membalas. Jika kau lengah, celakalah kamu. Jika tubuhmu tak terjangkau tanganku, tongkat atau batu bakal mengenaimu. Bahkan bila perlu parang pun teracung ke depan hidungmu.
Kalian mendidikku dengan kekerasan, kekerasan pula yang menjadi pembayar!
Kau ingat bukan cerita yang pernah kutulis untukmu? Saat itu, tahun 1992, Mbak Tatik membangunkan aku dari tidur yang tak pernah lelap. Ada hawa kemarahan tertahan di wajah dan suaranya yang membuat aku terlompat bangkit dari dipan. “Gun, tangi. Aku ewangana. Ana wong nerak paugeran lan tumindak ora patut,” ujar mbakyuku.
Tanpa membasuh muka, aku berlari ke luar rumah. Aku melihat puluhan tetangga, lelaki tua dan muda, “bekerja bakti” di pekarangan rumah kami. Sebagian memotongi dahan pohon dan bebungaan, sebagian mengecat kuning pagar kayu pembatas pekarangan. Aku memasuki rumah dan kembali keluar seraya mengacung-acungkan parang. “Siapa pun yang berada di pekarangan rumah ini, keluar! Siapa pun yang masih menyentuh pagar akan tertebas parang!” Aku sesumbar.
Orang-orang berlarian, serabutan, bersicepat keluar dari pekarangan rumah kami. Beberapa pemuda berkata lirih, nyaris tak terdengar, “Mas, kami cuma menjalankan perintah Pak RT. Kami minta maaf telah menyingung perasaan.”
Sang ketua RT disokong oleh beberapa warga meminta anak-anak muda itu kembali bekerja, mengecat pagar dan membabat tanaman di pekarangan kami. Aku muntab. “Kamu guru, kamu ketua RT, tetapi tak punya sopan santun, tak punya otak! Siapa berhak membabat tanaman dan mengecat pagar rumah kami tanpa izin? Siapa berani melewati batas itu, leher taruhannya!” seruku.
Ya, siapa tidak marah jika tiba-tiba, pagi hari bangun tidur, pagar sampean telah berubah warna menjadi kuning? Warna yang menusuk perasaan, warna yang menginjak-injak harkat kemanusiaan, warna yang mematikan segala aspirasi, warna simbol kekerasan. Itulah yang menempelak kesadaranku (tentang kedaulatan teritorial yang terlanggar). Jika mereka bisa secara semena-mena masuk dan bertindak semau hati di pekarangan rumah kami, bukankah kali lain mereka pun bisa berbuat serupa di dalam rumah kami? Padahal, jauh sebelum itu mereka - dan warna kuning itu - bukankah telah sedemikian kurang ajar meraja diri dan mengobrak-abrik pedalaman batin dan perasaan kami? Tinggal tanah, setumpak tanah, yang tersisa sebagai penanda paling jelas “keberadaan” kami. Jika itu pun telah dikilani, apa pula yang tersisa?
0 comments