Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal? (END)




                Langit-langit rumahnya masih sama. Putih. Bersih. Kosong. Ia punya pembantu untuk mengantarkan minum untukku, tapi ia selalu berpendapat bahwa aku harus dilayani oleh kekasihku sendiri—dia.
                “Kamu naik motor?” percakapan awal yang tak begitu kuharapkan, pertanyaan seperti ini harusnya tak ditanyakan lagi.
                “Iya, kenapa?”
                “Di luar kan panas, kenapa enggak minta jemput sama supirku aja?”
                “Aku cuma ke rumahmu, bukan ke kawah Gunung Merapi.”
                “Jayus ah!” senyum kecil tergambar di sudut bibirnya, senyum yang akhirnya bisa kunikmati dengan bebas.
                “Akhirnya kita bisa ngobrol sedekat ini.” aku menggeser posisi dudukku lebih dekat dengannya, ia mengerti keinginanku; ia segera bersandar di dadaku.
                “Maaf untuk kejadian kemarin, mungkin aku terlalu lelah dan enggak bisa memahami keinginan kamu.” wanitaku berbicara dengan nada menyesal, aku bisa rasakan penyesalannya.
                “Aku yang salah, harusnya aku sadar dan paham, kamu enggak bisa makan sembarangan.”
                “Bukannya aku gak bisa makan sembarangan, aku lebih memikirkan pola makanmu.”
                “Iya, makasih.” tuturku tegas sambil mengenggam jemarinya, “Aku juga paham, kamu bukan wanita yang seperti dulu. Yang sederhana, yang mudah kuajak ke mana-mana. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu.”
                “Ini mimpi aku, salah kalau aku mengejarnya? Salah kalau aku akhirnya berhasil dan bisa menghasilkan banyak materi?”
                “Bukan itu yang salah, kamu berbeda. Berbeda!”
                Ia menghela napas, meremas-remas tempurung kepalanya, “Aku enggak mau berdebat. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaanku, dengan jadwal syuting di banyak tempat. Kita cuma punya waktu sedikit untuk bersama, jangan rusak segalanya dengan egomu.”
                “Aku membicarakan kenyataan, kamu berubah. Kamu udah enggak mau kuajak makan dipinggir jalan, udah enggak mau aku bayarin. Sekarang, kamu yang mengatur segalanya.”
                Dia kembali menegakkan posisinya, tak lagi bersandar di dadaku. “Aku enggak berubah, kamu yang belum terbiasa dengan aku yang sekarang.”
                “Kalau kamu ingin aku jujur, aku lebih menginginkan kamu yang dulu.”
                “Segalanya udah berbeda, Sayang. Jarum jam tidak mungkin bisa diputar ke kiri.”
                “Apa kita enggak bisa kayak dulu lagi? Jalan-jalan bareng ke tempat yang ramai tapi tetap bisa ngobrol bareng kamu.”
                Kekasihku menggeleng mantap, “Banyak mata mengawasi aku.”
                “Aku belum siap dengan ketenaran kamu.”
                “Aku juga belum siap, tapi kalau aku beranggapan belum siap maka aku tak akan pernah siap.”
                “Apa dalam ketenaranmu, kamu masih membutuhkan aku?”
                “Aku masih sangat butuh sapaan selamat pagi darimu, juga ucapan selamat tidur dari kamu. Aku masih wanitamu yang dulu.”
                Senyumku mengembang, aku menarik dia dalam pelukku. Rapat sekali.
                Mungkin kekasihku benar, aku hanya belum siap pada perubahannya yang sekarang. Soal perasaan, wanita tak pernah salah.
                Semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan sosok pria tangguh di sampingnya.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top