Kisah Cinta Mawar Berduri
Oleh DP Anggi
Suatu pagi yang begitu basah. Aku menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan. Begitu sejuk dan segar. Mungkin, pagi begitu sunyi. Hingga, desah napasku membangunkan sekuntum mawar yang baru saja mekar. Mawar itu menggeliat, sesekali mulutnya menganga karena masih mengantuk. Tapi, itu hanya kuketahui dari bayangnya. Karena, ini masih terlalu pagi dengan langit hitam dan legam. Ditambah lagi awan mendung, dan lampu teras rumah masih menyala.
Tubuhku yang panjang dan tipis tertiup-tiup angin. Aku menggigil. Wajar, karena aku hidup tanpa atap, tanpa dinding. Jika pun tersengat mentari pagi, silau begitu menusuk mata dan menghunus pori-pori wajahku. Aku mengendap-ngendap, memerhatikan sekuntum mawar merah yang tadi terbangun karenaku. Kulirik, ia
mencoba kembali melanjutkan tidurnya. Duhai, mawar ini begitu indah. Membuatku ingin sekali mendekatinya, dan menjalin asmara.Tak terasa, matahari bangun dari tidurnya, menggantikan bulan dan bintang yang memang tak jadi piket pada malam hari karena digantikan hujan. Hujan semalam masih menyisakan bulir-bulir air di tubuhku. Aku bening, sebening kristal dengan warna hijau muda.
“Selamat pagi, dunia!” teriak Matahari.
“Selamat pagi, Matahari. Apa tidurmu nyenyak?” tanyaku.
“Nyenyak sekali. Walau piket dari bulan dan bintang digantikan hujan, itu tak berpengaruh untukku. Kau sendiri, bagaimana Rumput?”
“Aku begitu basah, dan gigil. Hangatkan aku, dengan cahayamu,”
“Mengapa tidak kau minta pada gadis itu? Gadis di teras, berwarna merah,”
“Sstttttt! Diamlah, suaramu yang besar itu nanti mengganggu tidurnya, barangkali dia juga gigil, tolong hangatkan dia dulu,”
“Tapi, kau juga butuh. Ia tak pernah langsung terkena hujan, juga tak pernah langsung terkena sengat panasku. Seharusnya kau memperdulikan dirimu,”
“Entahlah. Perasaanku terlalu dalam,”
“Cinta telah membutakanmu, sahabatku,”
“Sudahlah, hangatkan saja dia, bukankah sinarmu bisa seluas dunia ini?”
“Baik, tunggulah sebentar, kau juga akan bisa hangat karenaku,”
“Terimakasih, Matahari.”
***
Sudah seminggu ini aku kehujanan. Tubuhku juga hampir hancur dipijak-pijak tapak-tapak yang selalu lewat. Aku merasa demam, merasa begitu sakit. Matahari tak mampu menyembuhkan. Aku, butuh Mawar. Aku kerap bercerita pada Matahari, ingin menguning, dan mati dalam dekap Mawar. Ia hanya bisa simpati, dan menghiburku dengan senyum yang cerah.
“Mawar, bangunlah dari tidur panjangmu,” ucapku suatu malam.
“Ada apa, Rumput? Kenapa membangunkanku? Sedang, selama ini kau begitu dingin dan kaku,”
“Aku, merasa hidupku tak lama lagi, aku terlalu lama menunggumu hanya untuk mekar dan mewangi,”
“Maksudmu?”
“Sudah waktunya aku pergi, tubuhku hancur. Sebagian lagi telah menguning. Sedang kau, selalu dilindungi dan dirawat sepenuh hati,”
“Itu sudah kodrat kita, kau harus terima,”
“Malam ini, purnama indah. Berilah aku senyummu, yang manis, dan menggetarkan jiwaku,”
“Tidak, apa kata teman-temanku nanti, tersenyum pada Rumput liar. Manusia saja tak menginginkanmu,” ucap Mawar. Mawar menjadi angkuh, ketika tahu teman-temannya di teras yang sama mendengar ucapannya.
“Mawar, dengarlah ini. Aku, memang bagai pungguk yang merindukan bulan. Aku pungguk, kau bulan,”
“Sudahlah, aku tak ingin mendengar rayuanmu,” ucapnya menyudahi pembicaraan. Hatiku benar-benar tersayat. Nyawaku pun benar-benar sekarat. Aku bertahan, dan bertahan sampai melihat matahari bersinar.
“Sahabatku, kau terlihat begitu pucat,” ucap Matahari.
“Senang melihatmu, Matahari. Kaulah yang kutunggu-tunggu,”
“Ada apa?”
“Semalam, untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku berbicara dengan Mawar,”
“Lalu? Apa dia sudah tahu perasaanmu?”
“Aku tidak tahu, untuk meminta senyumnya saja aku tak mampu. Ia terlalu angkuh, aku dan dia berbeda kasta, kami tidak akan bersama. Pun, aku sebentar lagi akan binasa,”
“Rumput,” ucap Matahari. Ia seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku. Tapi, langit sudah berubah kelam. Suara Matahari sayup-sayup menghilang. Matahari seketika menghadapkan diri pada Mawar yang sedang tertidur.
“Mawar! Bangun!”
“Ada apa kau berteriak seperti itu, Matahari?”
“Kau menghancurkan sahabatku! Kau membunuhnya! Bukankah pagi itu, ketika Rumput masih tertidur, kau bersenandung dan menyanyikan lagu untuknya, bukankah kau cinta?!”
“Apa maksudmu? Dari mana kau dengar itu?”
“Langit! Langit yang mengatakannya padaku! Mengapa kau munafik dengan perasaanmu! Seharusnya, Rumput dapat bertahan hidup, setidaknya beberapa hari saja, sampai ia menguning dan mati di dekapanmu!”
“Kau bilang apa?” Mawar mulai menahan airmata yang menganak sungai.
“Ia ingin mati dalam dekapanmu, itulah yang selalu ia ceritakan padaku ketika kau tertidur,” ucap Matahari sambil terisak.
“Benarkah?” Hati Mawar menyesak.
“Aku pikir, tadi malam ia bercanda. Karena, selama ini ia tak pernah berbicara padaku,”
“Untuk apa Rumput liar yang sekarat itu bercanda menjelang ajalnya!”
“Maafkan aku! Selama ini, aku hanya terlalu takut diolok-olok temanku. Tak ada sejarahnya, Mawar bercinta dengan Rumput Liar!”
“Kau, egois! Aku tidak akan menghangatkanmu lagi. Selama ini, Rumput Liarlah yang selalu memintaku agar menghangatkanmu, lalu ia bercerita tentangmu dengan suara pelan agar tidurmu tak terganggu!”
“Tidak hanya itu, Matahari. Jika ia mati dalam dekapku, duri-duriku akan menancap pada tubuhnya, ia akan lebih menderita!” teriak Mawar pada Matahari. Namun, Matahari tidak ingin dengar, ia segera tenggelam dan langitpun menjadi hitam. Berhari-hari, dunia tanpa sinar. Mawarpun, layu dan melegam. Mendekap Rumput, dalam syurga keabadian.***
karya DP Anggi
FAM790M Pekanbaru
0 comments