Jrakah, 11 April 2012 01.55
Sudah larut. Ketika aku menjejakkan kaki di depan pintu gerbang. Rumah Berly sepi. Senyap. Hanya lampu spot yang menyorot papan di depan rumahnya: studio foto Cortexs!
Aku sudah jengah. Udara yang berembus membuat pikiranku terus menerus tergerus. Bukankah aku musti pamit? Bukankah dia salah satu lelaki terdekat yang, setidaknya harus aku peluk sebelum aku meningalkan tanah air? Tapi dasar cengeng, aku cuma menitikkan air mata seperti anak kecil. Aku bahkan tak punya kekuatan untuk menekan bel hingga mungkin lelaki yang tengah asyik bersembunyi dalam selimut itu terbangun, membukakan pintu lalu mengataiku tolol karena selarut ini datang bertamu.
Aku ingin berbaik lagi. Namun tulisan di papan itu kembali menahanku. Menyeret ingatanku kembali pada dua tahun silam saat pertama studio itu dibangun.
“Cortexs? Kulit maksudmu?”
“Yup! Biar orang yang pakai jasa kamu nggak cuma lihat penampilan acakadutmu yang bikin mereka berpikir kamu cuma fotografer kacangan.”
“Asu!” maki Berly. “itu juga menyangkut dirimu: orang lain tak akan menyangka kamu perempuan jalang yang rela tidur dengan bandot tua hanya karena uang!”
“Anjing kamu, Ber!” balasku memaki. Berly tergelak. Bahak yang samar-samar tenggelam ditelan malam.
“Sebaiknya kamu menata ulang tujuan hidupmu kembali, Es. Kamu sudah terlalu dewasa untuk…’bermain-main’!” putusku. Kemudian berlalu meninggalkan halaman rumah Berly yang semakin sepi.
****
Bed Room, 12 April 2012 19.32
pesan suara telepon rumah: “Halo Ester. Saya Laksmi dari LSM Mitra Perempuan. Kalau ada waktu, tolong kamu datang ke kantor di atas jam satu siang. Bisa kan? Thanks you.”
Terlambat. Aku sudah tak tertarik dengan penawaran mereka untuk mengirimku sebagai duta perempuan ke Asia Selatan. Lalu membantu mereka menangani kasus Child Trafficking dan Woman Trafficking. Menjadi volunteer yang dengan suka rela membantu mengentaskan generasi pelacur. Membimbing mereka agar mereka sadar kesempatan hidup tak cuma sebagai pelacur. Bahwa perempuan juga punya skil. Tak cuma sebagai barang komoditas. Memberi pengertian pada orang tua yang telah menandatangani kontrak, anak perempuannya diusia sekian akan diserahkan pada mucikari sebagai jaminan hutang! Bagaimana mungkin perempuan jalang sepertiku melakukannya?
Ketika hendak beranjak dari ranjangku, hapeku berdering. Aku sebenarnya muak melihat nama itu terpampang di layar display hapeku. Ah, dia memang selalu ikut campur urusanku. Bahkan ketika aku lagi ingin menikmati kesendirian di balik ancaman mengerikan itu!
“Es, kamu di rumah kan?” tanya lelaki itu.
“Tidak.”
“Emm… aku cuma ingin menanyakan sesuatu.”
“Apa?”
“Apa benar malam sebelum kematiannya, kamu pergi ke Hotel Anjasmara dengan Pak Hendra?”
Aku tercekat. Sial benar intelpol itu.
“Bagaimana kamu tahu?” tanyaku gusar.
****
Kafe Boa Noite, 12 April 2012 21.34
“Halo Ester. Maaf membuatmu menunggu lama.” Lelaki itu menyalamiku. Hangat. Dengan senyum yang lebih hangat tentunya. Aku membalas senyumnya. Tapi yang keluar justru seringai serigala. “Oh, katanya kamu ada perlu denganku? Apa? Apa yang bisa aku lakukan untukmu, manis?” katanya sambil mencubit gemas daguku.
“Saya perlu back-up.” kataku tegas.
“Maksud kamu?” tanyanya dengan kening berkerut. Lalu tawanya berderai memenuhi kafe yang dipenuhi pengunjung dari kelas menengah ke atas.
“Kamu ingin kostumer yang lebih kaya dan punya kekuasaan? Atau mungkin calon suami?”
Aku memasang senyum serigala lagi. Sepertinya dia tahu aku tak sedang bercanda. Dengan isyarat mata, dia memintaku untuk mengatakan yang lebih jelas. Aku membuang nafas. Melayangkan mata pada lampu dekor minimalis yang terpasang begitu apik di sepanjang platfon bercat merah marun.
“Aku sedang dalam bahaya, Pak.” kataku kemudian. Tanganku gemetaran memegang mug berisi coklat panas yang aku pesan beberapa menit yang lalu. “Aku terancam. Dan aku merencanakan untuk pergi. Abby merekomendasikan sebuah PJTKI yang akan membawaku ke Singapura. Beberapa hari lagi. Tinggal berangkat. Temanku sudah mengatur seluruhnya dengan orang dalam PJTKI itu.”
“Terus maksud kamu dengan back-up?”
“Bapak punya kenalan di sana?”
Pak Hasan mengetuk pelipisnya. Tatapan matanya dan senyuman yang hangat membuatku sedikit merasa lega. ”inspektur Ahmed. Dia bekerja di bagian investigasi criminal. Tapi aku tak yakin dia akan membantumu. Kau tahu, polisi Singapura sangat lurus dalam bekerja. Tak seperti di Negara kita yang mudah ‘dibeli’. Tahu maksudku?”
Aku menghela nafas kembali. Mataku sudah nanar sejak tadi.
“Ester, aku tahu posisimu. Tanpa kamu ceritapun, aku sudah tahu. Kami sedang melakukan investigasi ini. Ini memang tak mudah. Pelakunya seperti belut, Ester.”
“Dia atasan bapak? Karena dia orang yang membantu Bapak hingga Bapak bisa meraih kedudukan seperti saat ini, bukan?”
Pak Hasan bungkam. “Bapak tahu juga kalau ayah saya tak terlibat dalam kasus korupsi. Tapi diam saja ketika Ayah dihujat habis-habisan di pengadilan.”
“Es, semua tak semudah yang kita bayangkan. Kamu tahu negara sedang kacau bukan?”
“Sedari dulu memang kacau, Bapak. Dan saya bosan mendengar negara selalu dijadikan alasan kekacauan itu sendiri.”
Kami sama-sama terdiam. Pak Hasan meraih pundakku dan menepuknya pelan. Senyumnya tetap hangat seperti biasa. Sialnya, aku selalu merasa nyaman mendapat senyuman itu. “Lalu apa yang bisa aku lakukan untukmu sekarang?”
“Teman Bapak sudah mulai usil menanyai saya. Tadi dia telepon. Dia mencurigai keterlibatan saya.”
“Dan kamu benar terlibat?”
“Bapak sudah tahu bukan, siapa yang sebenarnya terlibat?”
Pak Hasan cuma tersenyum. Senyum yang membuatku merasa muak. Karena sekali lagi, aku harus berhadapan dengan orang-orang yang takut kehilangan kedudukan, kehilangan pekerjaan hanya karena menahan atasan yang telah banyak membantunya.
“Lalu apa rencanamu sekarang?”
“Membunuh orang-orang seperti bapak!” kataku tajam. Pak hasan terbahak. Dia mengacak-acak rambutku lalu bangkit dari kursinya.
“Kita musti tahu diri dengan siapa kita berhadapan, Es.” bisiknya tepat di telingaku. “Lebih baik kamu amankan diri. Jalankan rencanamu secepatnya. Aku akan melindungimu dari sini.”
(Bersambung)
0 comments