Dalam Kubur,
Mereka Berdampingan
Angin berkesiur. Dedaunan kamboja bergoyang pelahan. Burung bence menjerit dari rumpun bambu di tepian pekuburan. Aku masih menekuri nisan Pakde dan Mbokde Mitro yang berdampingan. Aku terkejut mendengar suara berkeresek di belakang punggung. Diancuk! Seekor kadal menyeruak kerimbunan alang-alang.
Pelan-pelan kucabuti rerumputan di sela-sela lubang kijing. Berbagai potongan percakapan secara terpisah, dulu ketika mereka masih hidup, pada berbagai kesempatan saat aku pulang ke Blora, terbeber kembali dalam ingatan.
***
Aku gak dianggep babar blas. Kaya-kaya aku dudu menungsa. Kaya-kaya aku wis mati. Aku wis gak kuwat, Gus. Wis gak kuwat. Mereka telah mengabaikan aku sama sekali. Seolah-olah aku bukan manusia lagi. Seolah-olah aku sudah mati. Aku tak tahan lagi, Gus, tak tahan lagi.
Coba bayangkan. Seminggu lagi Sutar kawin. Tapi apa? Aku sama sekali tak pernah diajak rembukan. Mbakyumu cuma bilang, “Pak, nanti pasrahkan saja semua kepada penghulu. Biar dia jadi wali hakim. Bapak tak usah repot-repot, tak perlu berpikir macam-macam.”
Coba! Aku iki sapa? Aku iki apa? Aku ini siapa? Aku ini apa?
Dulu, saat kawin pun Nung tak pernah mengajak aku bicara. Namun aku masih bisa mengerti, bisa menerima. Toh dia lelaki, tak butuh perwalianku.
Tapi sekarang? Seminggu lagi Sutar. Kelak adik-adiknya, Sumi, Yatmi, dan Watik, akan meniru-niru, bersikap sama. Tak peduli aku masih hidup atau mati. Padahal, aku bapak mereka. Bapak kandung! Lara atiku, Gus, lara. Aku sakit hati.
Apalagi mbokdemu pun makin nyinyir. Makin dekat hari perhelatan, cuma caci maki yang keluar dari mulutnya. Setiap saat. Kau dengar kan? Segala macam kata kotor dia lontarkan kepadaku. Tak peduli waktu. Tak peduli di depan tamu. Siapa pun!
“Sareh, Pakde. Sabar,” ujarku, tanpa meyakini bobot ucapan itu.
Kurang sabar apa aku, Gus? Dua puluh tahun sudah aku bersabar. Dua puluh tahun, Gus! Sejak adikmu Watik berumur tiga tahun. Ya, sejak itulah aku selalu mengalah.
(Wong lanang gak urus! Wong lanang wis kelangan tanggung jawab! Lelaki kehilangan kelelakian! Itulah pakdemu, Gus. Kehilangan tanggung jawab.
Hampir sepanjang hidupku sebagai istri, tak pernah aku merasakan kegembiraan. Lebih-lebih dengan tanggungan enam anak. Kau tahu, perut mereka selalu kelaparan. Mulut mereka selalu butuh makan.
Bertahun-tahun, Gus, sampai sekarang. Sudah hampir seperempat abad sejak adikmu Watik lahir. Semua harus kutanggung sendiri. Semua harus kulakoni sendiri.)
Pagi itu, Gus, dua puluh lima tahun lalu aku pergi ke kantor seperti biasa. Pagi-pagi benar. Aku harus datang sebelum siapa pun datang, Gus. Aku harus membuka semua pintu dan jendela kantor. Menyapu, mengepel, dan mengelap semua kaca pintu dan jendela. Lalu menjerang air dan membuat teh untuk semua pegawai.
Aku cuma opas kantor pengadilan. Pesuruh. Para petinggi menyuruh aku utara, aku melangkah ke utara. Disuruh ke selatan, aku ke selatan. Tak boleh membantah. Tak berani.
Namun pagi itu bukan seperti pagi-pagi lain bertahun-tahun sebelumnya. Di halaman, di teras samping-menyamping kantorku, banyak tentara. Aku heran, para petinggi kantorku telah datang. Mereka berdiri di depan pintu gerbang yang tertutup. Tentu saja. Bukankah semua kunci aku yang membawa?
Aku belum berani mendekat. Ketika melihat aku terlongong di balik kerumunan, seorang hakim melambaikan tangan. Dia memanggilku. Seorang tentara di samping hakim itu memerintah anak buahnya agar meminta aku membuka pintu pagar.
Aku gemetar, Gus. Apa yang terjadi? Apa salahku?
Aku digiring dua tentara. Mereka membawa bedil. Aku disuruh membuka pintu kantor dan semua pintu ruangan. Setelah semua kukerjakan dengan keringat berleleran dan kaki dan tangan gemetaran, aku disuruh duduk di kursi deretan depan ruang sidang bersama para pegawai rendahan lain. Satu-satu para petinggi masuk ke ruangan masing-masing diiringi tentara.
Aku bingung, Gus. Aku tak mengerti apa yang terjadi.
Para tentara itu mengaduk-aduk semua lemari. Mereka membuka-buka semua arsip dan membawa tumpukan kertas itu, entah ke mana.
Aku tak berani bertanya-tanya. Setelah seharian dibiarkan duduk, tanpa berani menggerakkan tubuh, aku dan pegawai yang tersisa karena para petinggi dikawal tentara pergi, entah ke mana, disuruh duduk di lantai di ruang sidang.
“Biar otot-otot kalian lemas,” kata seorang tentara, mungkin yang berpangkat paling tinggi.
“Nah, mulai hari ini, kalian yang saya panggil tak perlu lagi ke kantor. Kalian untuk sementara tinggal saja di rumah. Namun seminggu sekali, setiap Kamis, kalian harus melapor ke Kantor Kodim,” kata perwira itu.
Begitulah, Gus, aku termasuk salah satu yang dipanggil dan disuruh mengisi formulir berisi segala sesuatu tentang riwayatku dan semua keluargaku, cap jempol, dan berkali-ulang diminta mencamkan dalam pikiran untuk tidak pergi ke mana pun, kecuali setiap Kamis apel ke Kantor Kodim.
Aku pulang dengan tubuh lungkrah, pikiran kosong, dan jiwa bolong. Aku tak tahu apa sesungguhnya yang telah dan sedang terjadi.
(Dasar kemaki! Berlagak! Pegawai rendahan ikut politik-politikan seperti priayi, penggede. Coba, akhirnya apa? Dipecat. Tanpa beslit, tanpa pensiun. Saat itu Watik berumur tiga tahun. Kakak-kakaknya, Tomo, Yatmi, Sumi, Nung, dan Sutar berturutan umur lima, tujuh, sembilan, sebelas, dan tiga belas tahun. Mereka semua butuh makan. Semua butuh sandang, butuh sekolah.)
Sampai rumah kukabarkan apa saja yang kualami seharian itu kepada mbokdemu dan saudara-saudaramu. Sebisaku. Tapi mbokdemu tak bisa menerima garis kehidupan itu. Dia memaki-maki. Dan, makian itu pula yang harus kudengar bertahun-tahun. Mungkin sampai aku mati kelak. Karena sejak hari itu, tak pernah sekecap pun mbokdemu mau berbicara baik-baik denganku. Sejak hari itu pula dia menyuruhku keluar dari kamar, dan tidur entah di mana. “Jika perlu tak usah pulang,” katanya.
Anak-anak masih kecil, Gus. Mungkin belum ada yang mengerti apa sesungguhnya yang telah dan sedang terjadi pada orang tua mereka. Jangankan mereka, aku pun tak tahu benar apa yang menimpa keluargaku itu. Jadi aku tak pernah menyalahkan jika anak-anak cenderung menyetujui sikap ibu mereka.
(Sejak hari itu, ketika pakdemu pulang dari kantor menjelang magrib – katanya dipecat, tanpa tahu apa-apa! Mana mungkin? Aku harus jungkir balik menghidupi keluargaku. Sikil tak-enggo sirah, sirah tak-enggo sikil betheke nggolek pangan kanggo anak-anakku. Aku harus jungkir balik untuk mencari makan buat anak-anakku. Sebelum subuh aku ke pasar. Kulakan segala kebutuhan dapur. Lalu dengan dhunak dan anting kujajakan keliling kota dari rumah ke rumah para priayi. Lepas asar baru kembali ke rumah. Begitu setiap hari, berpuluh-puluh tahun.
Aku harus mampu membuang rasa malu. Masa istri pegawai dodolan trasi, dodolan bumbon? Namun Nung tak tahan. Dia keluar dari sekolah, lalu bekerja jadi kenek angkutan. Yatmi, yang merasa tak pernah pintar, ikut-ikutan keluar. Dialah yang setiap hari memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah, sementara saudara-saudaranya bersekolah.
Dan, apa yang dilakukan pakdemu? Ngethethi manuk!)
Kau tahu, Gus, aku tak bisa dan tak boleh ke mana-mana. Aku tak bisa mencari penghasilan apa pun. Jangankan membiayai sekolah anak-anak, sekadar membeli penganan untuk mereka pun tak bisa. Tak ada lagi orang sudi memanfaatkan jasaku memperbaiki mesin jahit atau mengikutkan aku nggamel, menabuh gender, seperti sebelumnya. Mereka bilang aku tersangkut Gestapu dan karena itu tak pantas lagi bergabung dalam segala kegiatan kemasyarakatan.
Di rumah pun, Gus, aku harus tinggal di samping dapur. Semula aku cuma bisa menyekat ruang dengan tumpukan kayu bakar dan tidur beralas karung. Namun sedikit-sedikit, dari tahun ke tahun, akhirnya aku bisa menyekat ruang tersendiri dengan gedek. Jadilah kamar ini. Ya, paling tidak, aku tidak tidur di tanah lagi atau di bangku di emperan rumah.
(Setiap hari pakdemu cuma ngethethi manuk! Padahal, bocah-bocah harus tetap hidup. Tapi, apakah dia pernah peduli? Ketika mereka lulus sekolah -- semua itu hasil nggendhong dhunak mubeng kutha -- mereka butuh dan harus bekerja. Apakah dia berbuat sesuatu? Tidak. Apa pula yang bisa dia perbuat ketika anak-anak harus kawin? Apa yang kami harapkan, Gus? Tidak ada. Bukankah bisa saja tiba-tiba dia nggendheng, seperti biasa setiap kali harus berperan sebagai bapak, sebagai kepala keluarga yang tak pernah bisa dia lakukan?
Mati pun lebih baik bagi dia, Gus, ketimbang tetap hidup tetapi terus-menerus jadi klilip, nyepet-nyepeti mata.)
Mereka telah membunuhku berkali-kali, Gus. Jadi tak masalah Sutar membuat surat kematianku agar bisa mendaftar sebagai guru, menjadi pegawai negeri. Selama ini aku dianggap tak berguna bagi kehidupan keluargaku. Karena itulah aku senang surat kematian itu bisa mempermudah anak-anakku mencari pekerjaan.
(La, apa ada to Gus, wong wis mati jadi wali nikah? Pakdemu itu lupa, sudah dibuatkan surat kematian tetapi merasa masih tetap hidup dan berguna. Lalu, menuntut bakal mengawinkan sendiri anak-anaknya. Apa tumon?)
***
Angin kembali berkesiur. Dedaunan kamboja bergoyang pelahan. Burung bence menjerit dari rumpun bambu di tepian pekuburan. Entah kenapa bulu kudukku meremang. Aku masih menekuri nisan Pakde dan Mbokde Mitro. Tafakur. Aku terkejut mendengar suara berkeresek di belakang punggung. Diancuk! Seekor kadal menyeruak kerimbunan alang-alang.
Kini, Pakde dan Mbokde Mitro telah terbaring di sini berdampingan. Ketika hidup mereka tak pernah akur, apakah di sini, di pekuburan ini, mereka tetap tak saling menegur? Apakah di sini mereka telah kehilangan kepedihan? Kehilangan segala kepempatan? Tak ada lagi umpatan, tak ada lagi ketakutan? Dan pernahkah sekali waktu, seperti saat lebaran kali ini, mereka saling memaafkan?
Semarang, Dulkaidah 1998
Catatan
Diancuk: kata makian, umpatan.
Dhunak: keranjang bambu yang digendong di punggung.
Anting: keranjang bambu lebih kecil yang ditenteng.
Dodolan: berjualan.
Trasi: terasi.
Bumbon: bumbu dapur.
Ngethethi manuk: (kiasan) memelihara burung sebagai hobi.
Nggamel: menabuh gamelan.
Gender: instrumen musik tradisional Jawa.
Nggendhong dhunak mubeng kutha: jual sayuran keliling kota.
Klilip: benda kecil yang masuk ke mata, terasa mengganjal.
Nggendheng: berlagak gila.
Nyepet-nyepeti mata: menyakitkan mata.
Wong wis mati: sudah meninggal.
Apa tumon?: Apa pantas?
* dari Gunawan Budi Susanto, Nyanyian Penggali Kubur, kumpulan cerpen, Yogyakarta: Gigih Pustakan Mandiri, 2011: 13-14.
0 comments