21 April 2012 03.00
Kau bilang, perawan-perawan itu cuma sekumpulan kurcaci bodoh berlatar belakang pendidikan rendah! Hingga, kau menyeret mereka ke dalam belangga darah: sebuah rumah bordil yang memiliki jaringan luas di seluruh Asia.
Aku memang pelacur bodoh. Namun aku mengerti bahwa rasa yang bergetar, juga gentar dari perawan-perawan yang kadang belum genap masa pubertasnya itu begitu mencuat. Mereka seperti maniken yang dipajang sepanjang etalase. Sepertinya di dada perawan itu, terpampang tulisan: Ah, tunggulah hingga aku benar-benar siap bermasturbasi secara sempurna....
Perawan itu terkoyak. Sebagaimana mereka diambil dari daerah tepi-tepi. Ekonomi rendah yang cuma memiliki konsiderasi: meninggalkan daerah untuk mendapat pekerjaan, menyambung hidup, membahagiakan orang tua, memuaskan diri sendiri dengan tren busana up to date dan aksesoris canggih. Ketika para 'hunter' itu datang, mereka tergiur oleh rayu bahwa di daerah sana, di wilayah sana, di negara sana, ada pekerjaan menarik, ringan dan bergaji tinggi. Gaji tinggi yang menjadi air liur tersendiri. Gaji tinggi yang menjadi hayalan impulsif bahwa perawan-perawan itu akan hidup makmur nantinya. Tak akan ada cerita makan singkong rebus atau nasi aking karena kehabisan beras!
Lalu, para hunter membawa perawan yang sedianya masih berada di usia pendidikan itu ke sebuah tempat gelap. Mereka dibawa untuk dididik menjadi seorang pelacur: belajar sex style, make-up, well dressing dan merayu para costumer.
Ah, shit! Awalnya mereka berfikir itu cuma bagian dari training sebelum benar-benar terjun ke profesi yang dijelaskan si hunter saat pertama merekrut mereka.
-------
Seorang perawan belia terkejut ketika dibawa ke sebuah ruangan, dan seorang lelaki, kira-kira usia kepala lima dan lebih layak menjadi kakeknya berbaring di ranjang dengan mata membuas. Perawan itu takut. Di kepalanya berdengingan lagu Cucakrowo dan Keong Racun. Merasa jijik harus bersentuhan dengan lelaki yang tiba-tiba menyerangnya sengan ciuman bertubi-tubi. Apa yang lelaki itu pikirkan? Si Pedopilia keparat itu cuma berpikir mendapatkan perawan free penyakit. Sebagai retribusi bahwa dia telah mengeluarkan nominal yang terlalu tinggi untuk memecahkan selaput dara!
Dia tak pernah berpikir tentang anak perempuannya, atau mungkin cucu perempuannya bila diperlakukan najis seperti itu. Dia hanya mengejar kepuasan pribadi dan mengesampingkan arti humanisme. Dia hanya mengejar laju birahi hingga nurani menjadi hal yang bulshit!
Si Ester keparat ini lantas berfikir, human trafficking, terutama di bidang woman trafficking tak akan pernah bisa sirna bila si phedopilia keparat itu masih merajalela. Pelacuran akan terus berjalan bila masih ada consumer yang membutuhkannya.
Apakah istri yang cantik seperti Angelina Jolie yang berhati seperti Bunda Theresa akan mengentikan lelaki-lelaki penggila sex di luar pagar?
----------
Gadis malang itu menangis di pelukanku. Dia benar-benar tak tahu, ruangan terpisah di belakang yang dulu kukira untuk para TKW itu ternyata dijadikan penampungan khusus gadis-gadis korban trafficking.
Aku tersenyum sinis. Ternyata masih banyak kasus-kasus serupa terjadi di negara yang terkenal dengan keramahtamahannya. Loh jinawi yang menjadi symbol kemakmuran negara kini berubah menjadi luh! Air mata darah dari masyarakat ekonomi rendah yang rela menjual martabatnya demi uang! Menyambung hidup. Mengentaskan kemiskinan dengan usaha mereka sendiri tanpa harus menunggu realisasi program-program pemerintah.
Aku pernah sekali melayani seorang lelaki. Dia berusia sekitar awal empat puluhan dan masuk dalam jajaran fraksi entah apa. Memonitor laju ekonomi. Menyusun program-program yang terlalu mewah untukku: mengentaskan kemiskinan rakyat!
Bila itu benar, maka tak akan ada lagi ribuan TKW bebondong-bondong meninggalkan tanah air. Tak ada lagi cerita gadis yang menjadi korban trafficking.
Kita ambil contoh, perempuan Batam. Destruksi mental besar-besaran yang merubah prinsip orang-orang kampung yang berbudi luhur menjadi sok metropolis. Mulai mencintai hal-hal berbau borjuis tanpa mengukur kemampuan diri. Hidup ala artis! Dunia gemerlap menjadi kiblat kehidupan mereka.
Itu hanya gambaran secara umum. Namun ada sisi-sisi gelap (sebut itu: remang-remang). Tak semua perempuan itu mengalami nasib yang senang. Sebagian diantara mereka terlunta-lunta. Dikebiri seluruh hidupnya. Dipenjara di tempat yang gelap tanpa tahu akan dibawa ke mana. Mereka, sebut itu residu, adalah perempuan-perempuan yang tak terpilih. Perempuan yang tak dikehendaki karena mungkin, tak laku secara fisik atau tak memiliki cukup skil. Mereka hanya menjadi parasit bagi para gembong.
Pernah sekali aku mendengar cerita, di sebuah tempat terselubung, perempuan-perempuan dengan kondisi mental juga fisik yang mengenaskan dikurung di sebuah kamar rahasia. Mereka hanya diberi makan seadanya. Kadang pula tak diberi jatah makan sama sekali. Perlakuan yang mereka terima tak lebih dari seekor anjing gembel. Benar-benar tak anggap manusia.
Setelah lelah menampung mereka, mereka digiring ke sebuah laboratorium gelap: eksekusi! Inilah yang sebenar-benarnya perdagangan. Bagian tubuh mereka congkel: otak, mata, jantung, hati, dan bagian-bagian yang masih bisa digunakan untuk kepentingan medis. Lalu sisanya dicincang, dibuang ke laut sebagai santapan hiu!
Aku manatap nanar gadis itu: apakah dia nantinya akan menjadi santapan piranha? Atau gadis amoral yang tertawa terbahak di sebuah bar karena pengaruh alkohol? Apakah gadis malang itu akan dicongkel matanya? Atau justru nantinya akan mengenakan kontak lensa berbagai warna untuk mempercantik penampilan mereka?
Semuanya masih sublime.
*****
23 April 2012 at 18.30
Dari siaran berita di televisi, aku melihat Pak Hasan dan jajaran reskrim mengadakan jumpa pers: penanganan kasus pembunuhan itu masih akan dilanjut!
Dia menegaskan bahwa itu murni perampokan. Menyebut juga pelakunya sembunyi di luar daerah. Menyebut juga perampokan itu telah direncanakan.
Menyebut juga tak ada keterkaitan dengan lawan politik!
Aku mengutuk!
Kebohongan publik!
Aku benar-benar kehilangan selera makan. Mie ayam yang sedang kunikmati ini jadi terasa pahit. Dadaku menjerit-jerit. Betapa Pak Hasan masih seperti dulu: takut kehilangan kedudukan, kekuasaan juga uang!
Lalu apa arti KUHP kalau kasus yang sudah ketahuan dalangnya saja tak bisa ditangani secara objektif? Apakah penguasa yang melakukan dosa tak boleh dipenjara sementara maling ayam dipukuli hingga memar saat interogasi?
Seandainya aku bisa keluar dari sini, aku sudah lebih dahulu pergi ke konfrensi pers itu. Aku akan teriak-teriak seperti orang gila bahwa pelakunya ada di sekitar mereka. Dekat. Terjamah. Dan sedang menikmati cerutu sambil tertawa melihat tololnya orang-orang seperti Pak Hasan yang mau saja melakukan kebohongan besar hanya dengan disumpal uang!
Sepertinya aku harus menyumpal mulutku dengan mie ayam! Melihat mulut Pak Hasan membuat aku lapar. Membuatku ingin makan apa saja.
Aku benar-benar ingin menelan bulat-bulat kepala Pak Hasan!
*****
bersambung......
0 comments