Inilah jamannya, waktu saya masih SMP. Orang yang dianggap cantik oleh si Bondan, waktu saya kelas tiga SMP, kayaknya cuma si Merry deh. Teman sekelas saya. Jangan bergerak, sekarang saya mau cerita tentang si Merry.
Selain keturunan Tionghoa, si Merry juga keturunan nabi Adam. Dia juga suka turun dari mobil yang mengantarnya ke sekolah. Kupingnya dua, hidungnya satu. Pokoknya cocoklah untuk menjadi penghuni bumi. Kakinya dua. Tangannya dua.
Saya pernah tidur di temani oleh si Merry, yaitu waktu sedang belajar di kelas. Maksudnya, tidak cuma ditemani oleh si Merry, tapi juga oleh teman-teman sekelas.Terus dilempar kapur oleh pak Thalib, guru biologi. Itu membuat saya jadi bangun dan disuruh cuci muka.
Berbeda dengan pembantunya si Merry, saya tidak pernah bertemu ayahnya Merry. Eh, pernah sih ketemu, tapi lebih tepat dikatakan melihat, yaitu setiap ketika ayahnya mengantar si Merry ke sekolah.
“Ayahmu ganteng, Mer”
“Oh, iya dong”
“Sayang, pintu mobilnya suka ditutup”
“Kenapa gitu?”
“Aku jadi gak bisa lihat”
“Ih!”
Banyak hal yang bisa saya ingat dari si Merry. Pertama, dia perempuan. Kedua, kalau ke sekolah seragamnya sama dengan yang lain. Ketiga, waktu jam istirahat, saya melihat dia lagi duduk bersama temannya. NamanyaYuli. Kelas tiga juga, tapi dari kelas yang lain, dan kurus. Kurus banget, cocok untuk tinggal di Ethiopia, tapi dia gak mau. Sebelum pergi ke kantin saya dan teman-teman mendatangi Merry dulu:
“Boleh nanya, Mer?”
“Nanya apa?”
“Siapa yang paling kamu cintai di dunia ini?”
“Pengen tahu aja!”
“Iya pengen tahu. Siapa, Mer?”
“Kedua orangtuaku lah”, jawab si Merry sambil senyum dan memandang temannya.
“Selain kedua orangtuamu? Ada gak?”
“Siapa? Gak ada! Udah ah!”
“Ada laaah pasti”, saya bilang begitu.
Mungkin Merry langsung curiga bahwa saya sudah mendengar gosip Merry pacaran sama si Adnan, anak kelas lain. Dan Merry merasa saya sedang ingin mendesaknya untuk dia menjawab: Adnan.
“Siapa ya? Siapa, Yul?”. Merry nanya ke Yuli. Yuli ngangkat bahunya.
“Siapa?”, saya tanya lagi.
“Tuhan”. Dia memandang saya dan menjawabnya sambil senyum.
“Tuhan?”
“Iya. Kenapa gitu?”
“Ah” saya memandang teman-teman: ”Kalau Tuhan sih...saingankuberat nih!”
Merry ketawa, Yuli juga, kawan-kawan saya juga.
“Kirain si Adnan!”, kata saya lagi seraya pergi keluar bersama teman yang ketawa.
Mau gimana lagi, itulah merry. Entah di mana dia sekarang. Mudah-mudahan masih ada di bumi. Kalau dia baca ini, mudah-mudahan dia nanti akan bilang:”Kok waktu kamu dulu ngirim surat ke aku, enggak diceritain sih?”
Oh iya. Saya pernah ngirim surat ke dia. Surat itu di dalam amplop tertutup. Saya nulisnya di dalam kelas, waktu jam istirahat. Terus nyuruh si Afud untuk dikasihin ke si Merry yang lagi ngobrol di luar bersama teman-temannya.
“Kalau udah dikasihin, kamu jangan pergi dulu, Fud”
“Kenapa?”
“Tunggu dia bikin surat jawabannya”
“Oh. Iya. Siap”
“Beneran, Fud. Tungguin”
“Iya!”
Dari jendela kelas, saya bisa lihat si Afud sedang nunggu si Merry membaca surat itu bersama teman-temannya. Kalau mereka ketawa mungkin karena isi suratnya adalah ini:
Kepada
Merry yang cantik
Jangan tahu, ya, siapa yang nulis surat ini. Gak penting, yang jelas bukan Afud. Ini surat pemberitahuan saja bahwa yang bernama di bawah ini:
Nama: Afud, atau Mahfud.
Nama: Afud, atau Mahfud.
Kelas: 3 D. Teman sekelasmu.
suka sama kamu. Suka ngomongin kamu dari senin sampai minggu. Katanya kamu cantik, seperti Enny Beatrix. Afud ingin jadi pacar kamu, tapi malu mau bilang. Ini Afudnya yang nganterin surat. Jangan sampai Afud tahu isi surat ini ya.
Dadah!
Penulis Rahasia
Teman-teman si Merry nunjukin surat itu kepada si Afud untuk dibaca. Si Afud bukannya marah, saya lihat dia ketawa. Si Afud pasti langsung bilang saya penulisnya.
Afud tentu saja adalah dia, kawan saya yang baik dan selalu riang gembira. Saya pikir harusnya dia merasa terjebak dalam persahabatan yang tak terhindarkan dengan saya. Dan Merry, siapa pun dirinya, sama sekali saya tidak ada rasa ingin menjadi pacarnya, dari dulu hingga sekarang. Bahwa apa yang sudah saya lakukan kepadanya, saya melakukannya juga kepada yang lain. Kepada si Lela, kepada si Rena, kepada si Erni dan kepada siapa saja. Saya tidak pernah punya pacar selama hidup di SMP. Tidak pernah ingin. Hidup saya seolah-olah dikhususkan hanya untuk bermain.
Afud tentu saja adalah dia, kawan saya yang baik dan selalu riang gembira. Saya pikir harusnya dia merasa terjebak dalam persahabatan yang tak terhindarkan dengan saya. Dan Merry, siapa pun dirinya, sama sekali saya tidak ada rasa ingin menjadi pacarnya, dari dulu hingga sekarang. Bahwa apa yang sudah saya lakukan kepadanya, saya melakukannya juga kepada yang lain. Kepada si Lela, kepada si Rena, kepada si Erni dan kepada siapa saja. Saya tidak pernah punya pacar selama hidup di SMP. Tidak pernah ingin. Hidup saya seolah-olah dikhususkan hanya untuk bermain.
Bagi saya, ketika mengingat semua itu, mudah-mudahan tidak pernah akan berpikir untuk ingin kembali ke masa lalu, karena saya tahu hal itu sudah gak mungkin. Ada tempat di dunia saya yang sekarang, yang cukup baik untuk gembira mengenangnya, sambil makan sosis yang dicelup ke dalam saos malam ini. Dan apa rasanya membayangkan bagaimana malaikat mencatat semua itu, mudah-mudahan sambil tersenyum.
Bandung, 24 Pebruari 2013
0 comments