Rumah Tahanan Semarang, 11 April 2012 12.45
“apa yang kamu kejar, nduk? Kenapa musti jauh pergi ke negri orang?”
Sampai lima menit, aku belum menemukan jawaban atas pertanyaanmu, Yah. Bahkan di dalam diri, aku sama sekali tak berniat mencari tahu jawaban itu.
Apa yang aku kejar? Apa yang bisa aku raih di sana? Mungkin sesuatu yang tak terdefinisi! Atau murni bersembunyi?
Aku menatap wajah keriputmu. Kau berdiri kaku di balik teralis besi yang memisahakan duniamu dengan duniaku. Kilas balik pada jejak-jejak yang membingungkan: politik busuk, konspirasi basi, kejamnya permainan lawan politik yang membuatmu terpaksa meringkuk di penjara…
“Lebih baik kamu urungkan niatmu, nduk! Mumpung belum terlambat.”
Aku memegang lenganmu. Jari-jarimu gemetaran. Sementara aku mendengar desahan nafas berkali-kali dari lubang hidungmu. Kau juga menyembunyikan pilu di matamu, Yah. Aku merasakan itu.
“Tak ada kata terlambat, yah!” kataku tegas. “Karena aku belum memulai. Lebih baik menjadi babu dari pada jadi
perempuan jalang, bukan?”
“Memang pilihan hidupmu cuma dua itu?”
“Sementara cuma dua itu, Yah. Maksudku, jalan tercepat mendapat uang banyak. Kalaupun menunggu pilihan lain, itu akan membutuhkan waktu lama. Aku tak mau kita jadi gelandangan. Atau yang lebih parah, menjadi dendeng yang dibagikan gratis pada anjing-anjing itu!”
Bibirku berkata. Tapi hatiku terasa pedih. Dan pikiranku kembali ke kejadian malam itu.
Darah. Darah. Darah!
Kejam.
Pembunuhan sadis.
Homo homini lupus!
“Es!”
“Apa, Yah?!!!! Ayah takut apa? Sudah selayaknya kebusukan dimuntahkan. Sebelum menjadi racun di tubuh kita.
Bukankah anjing-anjing penguasa itu selalu mengoyak diri kita? Dulu mereka mengambil ibu dengan cara yang tak terhormat lalu membunuhnya hanya karena dia memegang kunci rahasia kebusukan partai penguasa. Sekarang ayah dijebloskan ke penjara dengan tuduhan bodoh! Lalu aku? Bukan tidak mungkin aku dijadikan dendeng yang dibagikan gratis pada anjing-anjing mereka yang lapar!”
“Ester!!” bentakmu.
Kita saling diam. Kulihat wajah sebal dan tak sabar dari sipir penjara. Namun aku menikmati pembicaraan ini. Biar saja si sipir mendengar. Kalaupun dia mengadu, paling-paling aku akan dipenjara juga karena disangka melakukan kudeta pada pemerintah! Itu lebih baik daripada musti terbang ke Singapura: ide tolol Albert!
Betapa mahalnya demokrasi. Di era yang katanya sudah reformasi, masih ada pihak-pihak lain yang mengkebiri kebebasan berpikir dan berpendapat. Kebebasan untuk menyalurkan aspirasi.
Stupid! Aspirasi macam apa yang bisa disalurkan lelaki militan partai oposisi sepertimu, Yah? Kau sendiri akhirnya meringkuk hanya karena pihak penguasa di partaimu tak punya alibi untuk menutupi kebusukan mereka. Korupsi yang menjadi kasus basi dilayangkan seenaknya sendiri kepadamu. Kau punya apa? Harta korupmu apa?
Tiap kali rapat partai, kau cuma menggunakan kijang tua yang jalannya kembang kempis dimakan usia. Bukti-bukti korupsi busuk itu masih aku ingat ketika dilayangkan di pengadilan. Tapi aku percaya, kau – anak seorang pejuang – tak pernah melakukan hal sepicik itu. Aku mengenalmu. Bahkan kau sama sekali tak tertarik dengan perempuan-perempuan yang menjajakan diri atau merelakan diri ditiduri meski telah sepuluh tahun kehilangan istri. Kaupun bukan orang yang mau turut campur bahkan dengan dunia jalang anakmu sendiri. Kau arif, jujur, dan punya idealisme tinggi. Tapi mengapa justru orang sepertimu yang harus mendekam di penjara, Yah? Apakah Tuhan sengaja mengamankanmu agar tak terkontaminasi oleh kelakuan bejat mereka?
“Kamu perempuan nduk. Usiamu sudah matang. Apakah pergi ke sana tak membuang-buang waktumu saja. Sebentar lagi kamu akan menik…”
“Pernikahan itu tak akan terjadi, Yah!” potongku cepat. “Ayah jangan pernah berpikir akan memiliki menantu.”
Aku memekik dalam hati. Aku benci pernikahan! Aku benci menikah. Lebih baik hidup berkalang tanah daripada menikah! Itu prinsipku! Tapi beberapa tahun ini kau mulai cerewet entang itu, Yah. Ah ya, bagaimana kalau aku menikah saja dengan Albert, dengan Berly, dengan Pak Hasan yang super duper baik itu, menjadi istri ketiga konglomerat yang sering mentraktirku es krim di De Allure Café. Betapa banyak bilangan lelaki yang masuk dalam hidupku. Tapi mereka semua tak masuk dalam kategoriku! Kategoriku: aku tak mau menikah!
“Amanat ibumu...”
“Ibu sudah meninggal, yah. Dan itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Kalaupun aku menikah, dia toh tak akan melihat cantiknya aku di pelaminan atau memomong cucu. Jadi, tak penting!” aku mengambil jeda dengan menghela nafas berkali-kali. Sedang kau masih menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Aku cuma minta doa darimu. Boleh, kan?”
Aku meraih telapak tanganmu. Menyalamimu. Mencium tanganmu penuh takzim. Lama. Lama sekali hingga ada setitik yang jatuh di situ. Tanpa berkata, aku berbalik memunggungimu. Ingatanku sudah kembali ke koper ukuran baggage yang akan aku bawa ke Cilacap seminggu lagi. Ingatanku kembali pada alamat PJTKI yang Albert rekomendasikan.
Aku sudah berniat untuk pergi, Yah. Sebelum semuanya terlambat!
****
(bersambung)
0 comments