AIR LEMBANG PANAS



Di bawah ini, adalah salah satu cerita yang diambil dari buku saya yang berjudul DRUNKEN MONSTER versi republish. Mudah-mudahan bisa segera terbit di tengah Pebruari 2013 ini. Saya muat di sini karena memang ingin memuatnya. 

AIR LEMBANG PANAS
 
Pada suatu hari di malam minggu, saya ajak karyawan saya untuk mandi air panas. Mandi air panasnya di sana, di daerah Lembang, Bandung. Karyawan yang ikut sepuluh orang. Semuanya laki-laki. Laki-laki semuanya dan manusia.

Malam minggu itu, Bandung tidak hujan. Baguslah. Tapi meskipun hujan, tetap saja akan bagus selama terus disebut bagus. Coba lihat, kami masuk ke dalam mobil untuk pergi ke sana. Ke mana tadi? Ke tempat peman­dian air panas, kan? Di Lembang. Ngeeeng, mobilnya Kijang, sopirnya manusia, yaitu si Marwan, yang berbintang singa.

Di daerah setelah IKIP Bandung atau UPI Bandung atau kalau dipanjangkan jadi Universitas Pendidikan In­donesia Bandung, mobil menepi. Karena? Karena mau bertanya kepada seorang manusia yang sedang berdiri di pinggir jalan. Manusia itu berbentuk laki-laki. Dia sedang berancang-ancang karena mau menyeberang:

”Punten, Pak!” kata saya dengan harapan dia segera menyangka saya polisi oleh sebab intonasi suara yang didengarnya.
”Ya?” dia menjawab. (Bahasa Inggris-nya: Yes?)
”Kalau mau ke Lembang, lurus terus ya?” saya ber­tanya.
”Iya. Lurus aja, Pak,” orang itu menjawab dengan ada gugupnya. Mungkin karena mendengar ada banyak suara di dalam mobil. Terdengar seperti suara orang sedang disiksa.
”Mau ikut, Pak?”
”Makasih. Enggak, Pak!”
”Okey, kalau begitu. Makasih, Om Lukas. Mangga!”
”Mangga! Mangga!”
Kenapa saya panggil dia Lukas? Karena saya juga gak tahu. Mungkin karena saya tiba-tiba ingat Lukas, kawan saya di Belanda. Mobil maju. Dan, suara jeritan sudah berubah jadi ketawa. Tadi itu, mereka menjerit karena memang disuruh oleh saya.


Ow, akhirnya sampai juga di Lembang. Mobil berhenti beberapa meter agak jauh dari gerbang. Itu gerbang, kalau kamu mau tahu, dibangun asal saja, asal cukup bisa dianggap gerbang, karena meskipun ada budget, tapi tak ada taste yang bagus dari si Orang yang sudah menyuruh membuatnya. Kepada orang yang ada di dalam mobil, saya bilang, jangan ada yang turun dulu, biar saya saja. ”Siap grak!” Saya tersenyum dan turun, lalu pergi ke sana, mene-mui penjaga tiket yang tak tahu sedang apa duduk di situ. Subhanallah, Saudara-Saudara! Subhanallah, coba kamu lihat, loket tiket itu ada di bagian sebelah kanan gerbang.
”Selamat malam, Pak!” saya menyapanya dengan membungkuk biar bisa bicara dengan dia melalui lobang kecil yang ada di loket itu.
”Malam,” katanya. Itu kata si Bapak penjaga tiket yang saya tebak umurnya sudah di atas 40 tahun, tapi kalau ditanya, kayaknya dia akan ngaku masih umur 25. Dia pake jaket yang ada penutup kepalanya.
”Maaf, Pak.” 
”Iya?”
”Saya dari rombongan rumah sakit jiwa!” kata saya langsung saja pada pokoknya.
”Rumah sakit apa?”
”Rumah sakit jiwa, Pak!”
”Rumah sakit jiwa?” dia bertanya ingin lebih yakin dengan yang saya katakan.
”Iya. Dari rumah sakit jiwa,” jawab saya dengan volume suara yang sengaja saya bikin lebih keras karena saya kuatir mungkin saja malam itu dia adalah karyawan yang harus pura-pura tuli.
”Oh? Ada apa ya?” tanya dia.
”Ini, saya bawa pasien, Pak. Mau mandi di sini. Mau terapi. Bisa ya?”
”Oh?” Saya melihat sepertinya dia bingung. Meman­dang ke arah mobil, juga memandang ke arah jauh, ke arah pos satpam yang ada di sana, di arah seberang jalan masuk menuju tempat pemandian.

--
Saksikanlah, si Tukang Tiket itu mulai turun dari kursinya. ”Bentar ya, Pak!” katanya, kemudian dia keluar dari sarangnya dan memanggil satpam yang saya lihat sedang duduk nonton teve di poskonya. ”Pak Ujang!” dia teriak. Pak Ujang yang dipanggilnya itu adalah manusia yang sudah agak tua. Malam itu, dia tampil dengan gaya andalannya: look army, yang sepadan dengan badannya yang gemuk dan mukanya yang baby face dan poskonya yang remang-remang dan pot bunganya yang rimbun dan lain-lain sebagainya, kamu harus datang sendiri deh, kalau ingin detail!
”Iya?” tanya pak satpam itu setelah kemudian berga­bung bersama kami sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Kayaknya, dia ingin tampil wibawa, padahal saya tahu itu karena dia kedinginan.
”Pak Handi masih ada ya?” tanya si Tukang Tiket kepadanya.
”Masih kayaknya,” jawab dia sambil memandang ke arah saya, lalu bertanya, ”Ada apa ya, Pak?”
Yang menjawab bukan saya, melainkan si Tukang Tiket itu.
”Ini, Pak Ujang. Si Bapak ini ... bawa rombongan rumah sakit jiwa!”
”Rumah sakit jiwa?” Pak Ujang langsung merasa kaget, lalu memandang ke arah saya dan kemudian memandang ke arah mobil juga.
”Iya. Katanya mau mandi di sini ...,” kata si Tukang Tiket.
”Oooh? Gitu?”
”Iya, Pak!” jawab saya.
”Tanya Pak Handi dulu atuh, Bun?” saran pak sat-pam dan atuh itu artinya dong. Pak Ujang harusnya bisa menahan diri untuk tidak sedikit panik, nyatanya lebih dari itu, dia juga bingung. ”Iya. Telepon sama Pak Ujang ajalah!” kata si Tukang Tiket. 
”Pak, bentar ya?” kata Pak Ujang kepada saya. 
”Saya telepon atasan saya dulu.” 
”Siap grak!” jawab saya. 
”Bukan apa-apa, minta izin dulu. Biar sama-sama enaklah!” 
”Siap grak! Boleh. Silakan, Pak!” kata saya. 

--
Pak Ujang pergi ke poskonya dan sedikit bergegas, untuk apa lagi kalau bukan untuk nelepon atasannya itu yang tadi sudah dia sebut namanya Handi. 
”Rumah sakit jiwa mana, Pak?” Si Tukang Tiket berta-nya sambil memandang kosong ke arah mobil. Dia sudah sedang berdiri di samping saya. 
”Dari Ujung Kulon, Pak!” 
”Oh, Ujung Kulon. Jauh ya?” 
”Iya nih. Sengaja datang jauh-jauh. Soalnya mandi air panas itu bagus. Katanya sih bisa bikin rileks syaraf.” Ini sudah pasti saya ngarang, aslinya saya tak tahu apa benar atau tidak air panas bisa berguna untuk bikin rileks orang gila karena saya kan bukan orang gila, juga bukan ahli jiwa.
”Iya, sih!”
”Oh, itu ya Pak Handi?” tanya saya tak lama kemudian sambil menunjuk ke arah orang yang keluar dari sebuah bangunan kantor yang letaknya berada jauh di sana, kira-kira 30 meter dari tempat kami berdiri atau kira-kira 30 meter lebih 23 senti.
”Iya, itu!”
”Biar saya aja yang ke sana,” kata saya.
”Silakan, Pak!”
”Pak Ujang!” saya teriak manggil Pak Ujang yang lagi sibuk mengemas sesuatu di poskonya, seolah-olah hal itu penting baginya untuk dia lakukan.
”Biar saya yang ngomong ya, ke Pak Handi!” kata saya lagi kepadanya setelah sedikit menghampiri dia di poskonya.
”Iya, Pak! Silakan!” katanya menggerakkan tangan.

--

Saya berjalan ke sana, menemui Pak Handi. Saya pikir itu harus supaya Pak Ujang dan si Tukang Tiket itu tidak mendapat kesempatan bisa ikut campur urusan saya dengan Pak Handi.
”Selamat malam, Pak!” saya menyapanya dengan logat suara Batak dan badan dibikin bungkuk pada waktu bersalaman.
”Malam! Dari rumah sakit jiwa ya?” Pak Handi na­nya.
”Eh, bukan, Pak. Saya dari Gemah Bangkit Jiwa!”
”Bukannya dari rumah sakit jiwa?”
”Bukan, Pak. Kami dari Yayasan. Yayasan Gemah Bangkit Jiwa!”
”Tadi katanya, dari rumah sakit jiwa?” dia sedikit me­mandang ke arah gerbang. Ada kerutan di dahinya.
”Bukan, Pak. Dari Gemah Bangkit Jiwa.”
”Ooo! Yayasan ya?”
”Iya! Gini, Pak. Kami ini kan rombongan dari Medan.”
”Iya?”
”Nah, tadi saya nanya sama siapa itu, bapak-bapak di situ, orang Medan boleh gak mandi di sini? Mereka malah nyuruh saya nanya Bapak. Begitu, Pak!”
”Oh, begitu ya?”
”Iya, Pak!”
”Kirain apa. Ya boleh. Ini pemandian untuk umumlah. Siapa saja boleh. Suku apa saja boleh. Silakan aja. Orang asing juga banyak kok!”
”Kirain ini khusus untuk orang Sunda saja, Pak!”
”Aaah, enggak! Bukan orang Sunda juga boleh!”
”Jadi, kami boleh ya, Pak?”
”Boleh, boleh. Silakan!” 
”Wah, makasih, Pak!”
”Sama-sama.”
”Ya udah kalau begitu, saya ke sana lagi. Maaf nih, Pak, ngerepotin!”
”Gak apa-apa!”
”Terima kasih banyak, Pak!”
”Sama-sama!”
”Mari, Pak! Saya ke sana lagi.”
”Mari, mari!”
Alhamdulillah, Pak Handi balik lagi ke kantornya. Kalau tidak, kalau dia menemui Pak Satpam, cerita pasti akan berbeda. Dan, saya kembali ke gerbang untuk bertemu lagi dengan Pak Ujang dan si Pak Bun. 

--

”Boleh katanya, Pak!” kata saya kepada Pak Ujang yang sudah berdiri dengan si Pak Bun itu.
”Boleh?” tanya si Pak Bun bagai tak ingin percaya.
”Iya.”
”Berapa orang semuanya, Pak?” tanya Pak Ujang.
”Sepuluh. Sebagian ada yang diiket sih. Takut ngamuk!”
”Oh ....”
”Sebenarnya, lagi nunggu dua bis lagi,” kata saya sam-bil mau bergerak ke arah mobil, ”Tapi kok, belum datang ya?” tanya saya seolah-olah kepada diri saya sendiri.
”Masih ada!?” tanya Pak Ujang.
”Iya. Semuanya 150 orang.”
”Tadi udah bilang ke Pak Handi ada 150?” Pak Ujang, Satpam, nanya menyebabkan saya menahan diri untuk tidak langsung bergerak ke arah mobil.
”Iya, udah. Kata dia sih gak apa-apa. Gak masalah katanya.”
”Oh!” ”Kumaha, Pak Ujang?” tanya Pak Bun. (artinya: ”Gimana, Pak Ujang?”)
”Teuing, ah!” jawab Pak Ujang (artinya sama de-ngan: ”Tauk ah, gelap!”)
”Pak Ujang, nanti minta tolong kalau ada yang ngamuk ya!” kata saya kepada Pak Ujang sambil saya mainkan HP.
”Suka ngamuk ya?” tanya Pak Ujang sambil membuka topinya dan kemudian saya mendengar dia mengeluh, ”Duh!”
”Enggak semua,” jawab saya. ”Bentar ya, Pak, saya mau nelepon rombongan lainnya!” kata saya pada me­reka.
Setelah HP dibikin silent, segera saya bergerak untuk jadi sedikit jauh dari mereka, lalu pura-pura nelepon dengan suara sedikit keras supaya mereka bisa mendengar ihwal apa saja yang saya katakan dengan orang yang sebetulnya tidak ada itu.
”Sudah sampai mana?”/....../”Cileuwi?”/....../”Oh Ciluni”/....../”Hah, apanya!?”/....../”Busnya?”/....../”Digulingkan gimana sih!?”/....../”Sama mereka digulingkan gitu!?”/....../”Sekarang, gimana?”/....../”Oh, syukurlah. Gini aja, Pak Zaenal ada!?”/....../”Ya udah, minta Pak Zaenal aja yang ngurus”/....../’Iya!”/....../”Iyaaa!”/....../”Bisa, bisa! Lapor polisi aja!”/....../”Oh, ya udah.”/....../”Ya udah!”/....../”Kalau udah beres, langsung aja ya?”/....../”Iya, kami sudah sampai nih!”/....../”Iya. Udah ya. Hati-hati!” Klik. Selesai. Habis itu, saya kembali ke mereka.
”Paling ribed kalau bawa mereka itu,” keluh saya seperti pada diri sendiri.
”Enggak bawa satpam?” tanya Pak Ujang.
”Enggak, Pak. Saya lebih percaya lindungan Allah. Eh, Pak, kayaknya rombongan lain mah nyusul aja deh. Kami mau masuk duluan!” Tak ada jawaban. Pak Ujang sejurus menggerakkan tangannya dengan sedikit ragu untuk mempersilakan saya membeli tiket. Dari bahasa tubuhnya, saya merasa dia sepertinya tidak suka dengan apa yang sedang dialaminya malam itu.

--
Saya membeli tiket untuk sepuluh orang sambil sedikit bicara masalah suka duka menjadi penggembala orang yang menderita sakit jiwa. Bayar tunai dan mendapat kembalian. Habis itu, saya pergi ke sana untuk masuk ke mobil. Orang di dalam mobil bertanya kenapa saya lama. Oh, tentu saja lama, Sayang, kan saya harus banyak tanya dulu untuk memastikan airnya panas atau tidak supaya nanti tidak kecewa.

--
Segera mobil maju. Maju untuk masuk, ke sana, ke lokasi tempat pemandian air panas yang jaraknya kira-kira empat puluh meteran dari pintu gerbang, disaksikan oleh Pak Ujang dan Pak Bun dengan pandangan mereka yang pasti akan susah kalau saya jelaskan dengan mengguna­kan bahasa Portugis.

--
Aduh, Lembang, udaramu sangat dingin! Coba lihat, kami sedang mandi air panasmu bagai bidadari! Bagai bidadari yang sedang direbus. Berenang sana kemari seperti ikan. Ya, bisa juga sih seperti bebek.

--
Satu jam kemudian atau mungkin dua jam kemudian, setelah kami merasa puas, kami segera berkemas untuk kembali ke Bandung. Untuk meninggalkan tempat peman­dian air panas itu, meninggalkan Pak Ujang itu, mening­galkan Pak Bun itu, yang entahlah mereka percaya atau tidak bahwa kami ini adalah rombongan dari rumah sakit jiwa. Rumah Sakit Jiwa Negeri Ujung Kulon!

--
Mari, Pak Ujang. Mari, Pak Bun, kami pulang ya. Kalau kalian percaya bahwa rombongan bus rumah sakit jiwa itu benar ada, tunggulah, insya Allah mereka tak akan datang, tak akan pernah. Dan kepada Pak Handi, yang malam itu sudah berhasil menjadi orang baik di mata saya karena menjadi orang yang tidak mau membuat orang tersinggung dengan hal yang berkaitan masalah SARA, kalau tadi saya katakan bahwa kami ini adalah rombongan dari rumah sakit jiwa, ow, masihkah engkau akan izinkan kami masuk untuk mandi? Masihkah? Wallahualambisawab!

Bandung, 21 Oktober 1997

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top