Di Bandung, dulu masih sepi waktu jaman nabi Adam. Dulu, mungkin masih berupa gunung besar. Ya, besar sekali, sampai sulit saya jelaskan dengan kata-kata yang indah.
Dan ketika gunung itu meletus, gunung itu jadi hancur porakporanda, menyisakan sebuah kawah yang sangat luas seluas wilayah Bandung dan sekitarnya.
Kawah itu, kemudian diisi air oleh orang yang bernama Sangkuriang, sehingga berubah menjadi sebuah danau untuk dipersembahkan kepada Dayang Sumbi sebagai tanda bukti cintanya yang tidak main-main.
Ketika danau itu mengering, karena disedot oleh Sang Hyang Tikoro, ya danau itu jadi kering. Orang-orang kemudian membuat rumah di sana dan juga bangunan lainnya yang dibutuhkan, lalu jadilah sebuah kota yang sekarang kita kenal sebagai Bandung dan punya logo seperti di bawah ini:
Makin kemari Bandung jadi berubah. Di bukit dan lembahnya kini dipenuhi oleh bangunan dan aneka macam villa, entah siapa yang sudah memberi mereka izin. Bangunan kunonya yang menawan itu kini sudah pada roboh, karena sengaja dirobohkan, untuk diganti dengan bangunan yang sangat tidak sedap dipandang mata. Mungkin maksudnya gaya modern tetapi menurut saya itu norak sekali dan pantas disebut sebagai rumah kumuh gaya modern.
Mall dibangun di mana-mana, entah siapa yang sudah memberi mereka izin. Ketika mereka mendirikan mall, mereka pikir itu yang dibutuhkan oleh masyarakat Bandung daripada ketentraman. Mungkin pada akhirnya banyak juga orang Bandung yang suka pada main dan pacaran ke sana, untuk menjadi seperti laron yang gembira dapat cahaya. Atau seperti si Akim yang belum merasa gaul jika belum pergi ke sana.
Khususnya di malam minggu, jalanan di Bandung sekarang sudah dipenuhi oleh mobil, entah datang dari mana mereka itu dan tidak bisa ditolak, mungkin karena kuat dan banyak uang serta ingin berlibur di Bandung. Harusnya mereka tahu, bahwa jika mereka ke Bandung di malam minggu atau pada saat weekend, mereka tidak akan mendapatkan Bandung yang sebenarnya.
"Kenapa macet, Ayah?"
"Karena kita pergi ke luar rumah"
Coba kamu ke Bandung di hari musim hujan, rasain, kamu akan mendapati jalanan yang banjir. Di daerah tertentu banjirnya bisa mencapai 50 sentimeter. Tetapi harus kamu tahu sesungguhnya banjir itu bukan disebabkan oleh hujan, ya bukan, tetapi oleh kita yang tidak bisa menyikapinya. Gorong-gorong mampet, kenapa itu? Gorong-gorongnya rusak, tanggungjawab siapa itu?
Tetapi Bandung tetap saja Bandung, bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Ketika aku memandang logonya, aku memparodikannya dengan bentuk logo yang lebih sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Juga membuat lagunya. Iya membuat lagu tentang bagaimana Bandung bagiku: https://soundcloud.com/pidibaiq/pidi-baiq-bersama-the
Secara pribadi Bandung itu mungkin seperti monumen. Monumen untuk memperingati banyak hal yang sudah saya alami bersama manusia lainnya, khususnya bersama orang saya cintai, orang yang saya sukai. Monumen tempat saya bertemu dengan banyak hal lainnya yang mengesankan, beberapa di antaranya berhasil saya abadikan dengan kamera biasa dan kemudian mengeditnya selagi saya betul-betul ingin mengeditnya:
Dan ketika gunung itu meletus, gunung itu jadi hancur porakporanda, menyisakan sebuah kawah yang sangat luas seluas wilayah Bandung dan sekitarnya.
Kawah itu, kemudian diisi air oleh orang yang bernama Sangkuriang, sehingga berubah menjadi sebuah danau untuk dipersembahkan kepada Dayang Sumbi sebagai tanda bukti cintanya yang tidak main-main.
Ketika danau itu mengering, karena disedot oleh Sang Hyang Tikoro, ya danau itu jadi kering. Orang-orang kemudian membuat rumah di sana dan juga bangunan lainnya yang dibutuhkan, lalu jadilah sebuah kota yang sekarang kita kenal sebagai Bandung dan punya logo seperti di bawah ini:
Makin kemari Bandung jadi berubah. Di bukit dan lembahnya kini dipenuhi oleh bangunan dan aneka macam villa, entah siapa yang sudah memberi mereka izin. Bangunan kunonya yang menawan itu kini sudah pada roboh, karena sengaja dirobohkan, untuk diganti dengan bangunan yang sangat tidak sedap dipandang mata. Mungkin maksudnya gaya modern tetapi menurut saya itu norak sekali dan pantas disebut sebagai rumah kumuh gaya modern.
Mall dibangun di mana-mana, entah siapa yang sudah memberi mereka izin. Ketika mereka mendirikan mall, mereka pikir itu yang dibutuhkan oleh masyarakat Bandung daripada ketentraman. Mungkin pada akhirnya banyak juga orang Bandung yang suka pada main dan pacaran ke sana, untuk menjadi seperti laron yang gembira dapat cahaya. Atau seperti si Akim yang belum merasa gaul jika belum pergi ke sana.
Khususnya di malam minggu, jalanan di Bandung sekarang sudah dipenuhi oleh mobil, entah datang dari mana mereka itu dan tidak bisa ditolak, mungkin karena kuat dan banyak uang serta ingin berlibur di Bandung. Harusnya mereka tahu, bahwa jika mereka ke Bandung di malam minggu atau pada saat weekend, mereka tidak akan mendapatkan Bandung yang sebenarnya.
"Kenapa macet, Ayah?"
"Karena kita pergi ke luar rumah"
Coba kamu ke Bandung di hari musim hujan, rasain, kamu akan mendapati jalanan yang banjir. Di daerah tertentu banjirnya bisa mencapai 50 sentimeter. Tetapi harus kamu tahu sesungguhnya banjir itu bukan disebabkan oleh hujan, ya bukan, tetapi oleh kita yang tidak bisa menyikapinya. Gorong-gorong mampet, kenapa itu? Gorong-gorongnya rusak, tanggungjawab siapa itu?
Tetapi Bandung tetap saja Bandung, bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan. Ketika aku memandang logonya, aku memparodikannya dengan bentuk logo yang lebih sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Secara pribadi Bandung itu mungkin seperti monumen. Monumen untuk memperingati banyak hal yang sudah saya alami bersama manusia lainnya, khususnya bersama orang saya cintai, orang yang saya sukai. Monumen tempat saya bertemu dengan banyak hal lainnya yang mengesankan, beberapa di antaranya berhasil saya abadikan dengan kamera biasa dan kemudian mengeditnya selagi saya betul-betul ingin mengeditnya:
Di depan rumahku
Di jalan Suci, Bandung
Di belakang rumahku
0 comments