Sadday. . . . .
Moanday. . . . . .
Tearsday. . . . . .
Wasteday. . . . .
Thirstday. . . . .
Frightday. . . . .
Shatterday. . . . .
Aku belum pernah merasakan seminggu penuh yang mengaduk-aduk perasaan seperti ini, aku merasa seperti Zombie, perasaanku kosong dan sepertinya kematian Lea membuatku seperti korban kecupan Dementor, aku merasa semua kebahagianku terhisap, aku merasa sedih, marah pada diriku, menyalahkan diri sendiri, ketakutan setengah mati, kecewa, aku merasa berdosa, aku tak termaafkan, aku pikir aku akan gila sebentar lagi. Ini tragedi terbesar dalam hidupku, aku tak tau kenapa Tuhan memberiku cobaan sebesar ini, kupikir aku bisa sedikit lega setelah Lea terbebas dari Bailey, ternyata aku salah, aku akan terus dibayangi Lea, sampai kapanpun, tak peduli walau dia sudah tertimbun tanah, secara tak langsung aku yang memaksanya berbuat senekat itu. Seharusnya aku bersikap lebih. . . . .aku benci memikirkan ini, ini membuatku merasa . . . . .aku bahkan tak tau harus mengungkapkanya bagaimana, ini terlalu berat buatku.
Aku kehilangan kendali atas hidupku., nyaris seminggu aku mengurung diri di kamar, pikiran-pikiranku yang berteriak menyalahkam semua tindakan egoisku membuat aku frustasi, aku menyesali semuanya, Lea bego banget harus mengakhiri segalanya seperti ini, dan kesalahankulah yang membuat dia seperti itu, aku bahkan tak memberinya kesempatan, apa yang kulakukan? Bodohnya aku bahkan tak melakukan apapaun, aku hanya menghilang dari semua orang tak membiarkan siapapun menemuiku, bahkan Papa atau Mama, aku seperti pasien Rumah Sakit Jiwa yang merana, aku kehilangan selera makan, kehilangan keinginan untuk tidur, aku terjaga bermalam-malam dan mengutuk setiap detik yang aku lalui, aku tak tau bagaimana harus melanjutkan hidup setelah ini, aku tak tau harus melakukan apa, aku seperti raga yang kehilangan jiwa, semuanya kosong. Aku pantas disalahkan atas semuanya, aku teman yang terburuk yang pernah ada, dan kematian Lea adalah hukuman untukku, bukti betapa jahatnya aku, aku bahkan tak mengahadiri pemakamannya, aku hanya jadi pengecut idiot yang sembunyi dikamar yang gelap, aku tak melakukan apapun, aku sendiri, berbicara dengan pikiranku, bisa dipastikan aku benar-benar gila sekarang.
***
Papa memasuki kamarku yang sekarang tanpa pintu ( dia pikir aku akan sebego
? Aku cuma ingin mengurung diri bukannya mau bunuh diri!), dia bersama Mama yang kupikir mirip Lea sekarang, karena tampang melankolisnya, matanya sembab, apa yang ditangisinya? Kematian Lea? Atau keadaanku? Entahlah! Aku ingin berteriak, bahwa aku baik-baik saja, aku hanya mencoba menghukum diriku atas sikap jahatku! Oma berkali-kali menelponku, juga yang lainnya, si kembar dan Audy mereka juga mengunjungiku secara rutin sepulang sekolah, dan bahkan Amanda pun turut prihatin atas keadaanku, yeah dia sudah menikah dengan Kevin sekarang, setidaknya itu kabar baik, tapi aku tak bisa memberinya selamat. Mama mendekatiku, memelukku dan menangis, aku benci tangisan karena itu mengingatkanku pada Lea, aku tak bereaksi apa-apa, seperti biasa, setiap yang datang mengunjungiku hanya menemui ragaku, aku tak tau jiwaku terbang kemana sejak aku melihat Lea yang penuh darah dan kaku di tempat tidurnya, seperti biasa mama mengajakku berbicara, seperti yang lain mereka menghiburku dengan kata-kata yang manis, setiap hari semua bergantian menghiburku yang sekarang seperi mayat hidup, dan aku mulai merasa bosan dengan apa yang kulakukan sekarang menjadi Zombie yang menyedihkan, tapi aku harus terus menghukum diriku sampai aku merasa aku bisa memaafkan diriku, dan aku tak tau apaaku bisa memaafkan diriku.
“Sayang, Key. . . . ” Mama membelai rambutku, mengelus pipiku dan menciumku berkali-kali, memelukku erat dan menangis dipelukanku, aku tau dia tak tau harus menghiburku bagaimana lagi, dia sudah cukup frustasi sekarang, diapun sekarang perlu dihibur seseorang. Papa mengampiri kami, ikut memelukku dan membelai rambutku.
“Honey. . . . ” Bisik Mama pelan dan hati-hati, “Orangtua Lea datang, ada di depan, mereka mau mengunjungimu” Ada ketakutan mahadahsyat yang seperti serangan dingin merasukiku. Aku tau mereka datang untuk menyalahkanku, aku tak tau harus bagaimana, tanpa sadar aku menangis dan mempererat pelukanku, aku ketakutan setengah mati, berbagai perasaan yang kubenci merasukiku, aku seperti sendiri tak mempunya pegangan, aku lemas, aku bahkan merasa tak bisa bernafas.
“Papa bisa bilang kalo kamu tak ingin menemui mereka” Papa mengerti yang kuinginkan.
Tapi yang terjadi tiba-tiba mamanya Lea datang dan memasuki kamarku, aku tau suaminya mencoba menahannya tapi tak berhasil, dia menatapku lama, aku balas menatapnya takut-takut, kupikir dia akan menyerangku dan menumpahkan amarahnya, tapi yang kulihat dia meneteskan airmata, entah sedih melihat keadaanku atau menangisi putrinya, sulit dijelaskan. Yang kutau dia mengusap kepalaku dan menyerahkan kotak yang seukuran kotak sepatu ke tanganku, setelah itu dia menangis histeris memeluk suaminya dan mereka berlalu, Papaku mengikutinya dan kudengar sayup-sayup mereka berbicara diluar, apa yang mereka bicarakan membuatku penasaran, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
***
Selama ini Audy cukup bersabar terhadapku dan yang tak pernah kusangka, akhirnya dia berbicara, dengan nada yang lebih keras dari biasanya, aku tau kesabarannya benar-benar terkikis, tapi aku tak pernah tau bahwa orang yang akan menyadarkanku dari semua ini adalah Audy.
“Aku nggak tau hubungan apa yang kita jalani, Key ”dia menghela nafas tak sabaran, seperti biasa dia duduk di ujung tempat tidurku, tidak mengahadapku, malah memunggungiku dan membenamkan kepalanya di dalam tangannya. Aku tau aku membuatnya frustasi. “Kamu tau aku sayang banget sama kamu! Tapi aku harus menerima kenyataan bahwa aku tak bisa mendapatkan sayang yang bisa kamu berikan pada si kembar atau Lea” Dia menghela nafas lagi lebih lama dan mulai bicara dengan hati-hati. “ Aku nggak jealous atau apa, aku ngerti semuanya, dan nggak ada yang bisa bener-bener bisa jadi bagian dari kamu dan hidupmu, mungkin kamu bener, kamu nggak pantas buat aku, seharusnya aku sadar kita beda, aku nggak bisa nembus duniamu dan kamu nggak pernah bisa buat menghargai keberadaanku, aku terima kita backstreet, tapi kamu nggak tau apa yang kurasa dibelakang semua ini. Aku terima posisi canggung dan kikuk kalo saat kita bareng si kembar, aku terima bahwa bukan cuma aku satu-satunya yang cinta sama kamu ” kali ini dia berbalik memandangku, aku tau ini akan jadi lelucon seandainya keadaanya tak sesuram ini, aku melihat mata Audy berkaca-kaca “Aku tersiksa dengan keadaan ini, jujur, aku tersiksa Key, aku tau aku sayang, tapi aku piker aku nggak tahan liat kamu seperti sekarang, aku nggak kenal kamu lagi, mana cewek pemberaniku? Yang kulihat sekarang adalah mayat hidup, ini nggak baik buat aku omongin tapi kamu tau aku benci semua ini aku benci melihat orang yang menyalahkan dirinya untuk kesalahan yang bahkan nggak pernah dia buat.” Setelah itu dia menghampiriku dan mencium keningku pelan, lalu keluar dari kamarku. Dan yang aku tau aku menangis, menangisi semuanya, semua yang terjadi dalam hidupku.
***
Kurasa Audy baru saja memutuskanku, aku menangis histeris, dan Mama datang menenangkanku, ini bukan saat yang tepat, Audy tolol, dia pergi, apa karena dia memang harus pergi ataukah dia pergi karena dia tak bisa berbuat apa-apa, atau dia pergi karena dia putus asa terhadapku? Yang pasti kalimat terakhirnya membuatku ingin bangkit dari tempat tidur dan mengubah semuanya.aku benci orang yang menyalahkan dirinya atas kesalahan yang nggak pernah dia buat, apa maksudnya aku tak bersalah? Apa semua orang menganggapku tak bersalah padahal aku menganggap semua adalah kesalahanku, pelan-pelan aku mulai bicara.
“Ma. . . . . ” aku tak yakin mau mengatakannya, ada senyum kesabaran yang menyemangatiku di bibir Mama, ini kata-kata pertamaku sejak kematian Lea, berhari-hari aku menolak bicara dan bahkan menolak melakukan semua yang dilakukan manusia normal lainnya. “Lea meninggal gara-gara Keyra, Ma?” kataku ditengah isak tangis putus asaku.
“Nggak sayang sama sekali nggak, nggak ada yang nyalahin kamu” Mama menggeleng-gelengkan kepalanya meyakinkanku, aku melihat airmata mengalir dipipinya.
“Tapi kenapa Key merasa semuanya karena Keya ma, pertama Lea pergi, sekarang Audy, Key takut mama, papa, semua, Fido, Dido pergi, please jangan tinggalin Key” aku menangis, aku merasa Lea merasukiku, buktinya sekarang aku yang menangis setiap saat.
“Yang pertama Mama minta, berhenti membebankan semua kesalahan pada dirimu sendiri, Mama tau Mama punya anak yang kuat” Mama meninggalkanku untuk bepikir sendiri.
Mungkin aku memang harus ditinggalkan
***
Aku melewati malam dengan berpikir tentang apa yang harus aku lakukan, dan kuputuskan, aku harus memulai hidupku bukannya tenggelam dalam rasa bersalah, aku memang bersedih tapi aku tau aku harus berhenti menghukum diriku sendiri. Aku masih merasa semua ini karenaku, tapi aku harus bertindak untuk memperbaikinya. Kemana aku seminggu yang lalu? Aku benar-benar tak menyangka aku bisa sangat tolol. Memang begitulah, kadang kita tak memerlukan otak bila kita sedang tak bahagia.
Paginya kuputuskan untuk kesekolah, aku tau di sekolah nanti akan ada bisikbisik tentang kemunculanku pasca kematian Lea, tapi bukankah aku dulunya selalu tak peduli? Aku hanya tinggal berlagak pura-pura tuli, bukannya aku melakukan hal itu hampir sepanjang hidupku, menutup mata telinga untuk semua hal yang tak kuinginkan.
Mama dan Papa mengantarku ke sekolah, dan setelah itu mungkin papa akan mengantar mama ke kantor, aku tak benar-benar menyadari bahwa seminggu ini, kami terasa seperti keluarga, aku melupakannya seharusnya ini adalah hal yang selalu kunanti-nantikan sejak dulu. Semoga saja hal ini berlangsung selamanya, nggak hanya bersifat sementara.
***
Tak seperti biasanya guru-guru tak mempermasalahkan ketidakhadiranku, aku bahkan tak dipanggil ke BP, mereka tau semua ini bukan kemauanku, mereka juga takmemprotes ketika aku bahkan tak menginjakkan kaki di kelas, aku menghabiskan waktuku di kantin bersama si kembar.
“Gue seneng loe berhenti mengurung diri” kata Fido tulus
“Gue nggak ngerti mesti gimana liat keadaan loe, ortu loe sempat mikir bawa loe ke pskiater, mereka sempat omongan ini ke kita, gue ngerasa gue dipercaya ortu loe ngajak kita konsultasiin masalah ini” komentar Dido, membawaku ke pskiater adalah ide buruk buatku, mereka pikir aku gila? tapi aku tak mau menyulut pertengkaran, aku tau ide jelek itu untuk kebaikanku, dan harus kuakui aku memang tampak sinting belakangan ini, jadi aku tak bisa menyalahkan mereka. “Well, mereka mungkin akan bawa gue ke pskiater, dan gue nggak bisa protes, asal loe pada nggak mikir gue sinting aja” kataku datar.
“Loe nggak sinting, loe cuma terguncang” kata Fido tulus, aku suka apa yang dia
“Tapi sekarang gue baik-baik aja” kataku mencoba meyakinkan yang sepertinya tak cukup berhasil karena aku masih sepucat mayat dan lingkaran hitam di sekitar mataku bikin aku mirip vampire, aku merasa sakit, karena kurang makan dan kurang tidur.
“Seharusnya gue ada di pemakaman Lea” kataku pelan, aku mengehela nafas panjang” gue bukan temen yang baik”
“Hey, loe temen terbaik yang pernah Lea punya dan loe tau itu” sambar Fido
“Dan cuma orang-orang beruntung kayak kita ini yang bisa jadi temen loe” hiburDido, tapi aku kurang yakin.
Fido dan Dido tersentak
“Disaat kayak gini?” Dido tak percaya
“Seharusnya kita emang nggak pernah jadian” tandasku, aku menyesal “Audy datang saat kalian nggak ada di samping gue,ingat?” aku mencoba mengingatkan mereka, ini ketika aku masih membenci mereka gara-gara mempertemukanku dengan papa di loteng sekolah.
“Boleh aku tanya sesuatu?” Tanya Fido
“Apa?”
“Apa yang loe rasain ke Audy?” benar-benar tak tau jawabannya “mungkin gue sayang juga tapi gue nggak ngerti, tapi please jangan kaitin ini dengan kasus Lea, gue sempat bingung dan gue sempat nggak yakin dengan semua yang pernah Lea ucapin, tapi gue pastiin gue heteroseksual sejati”
kataku selanjutnya
“Mungkin?sayang?”
“Entahlah”
“Semua emang bikin kamu kacau, gue nggak salahin, gue pengen loe lebih rileks aja sekarang” saran Fido, topik tentang Audy mungkin sebaiknya dihentikan. “Lea ninggalin sesuatu buat loe, itu yang dibilang Kenang” si kembar memanggil Papa dengan panggilannya, dan papaku memang tak keberatan.
“Yeah, beberapa hari yang lalu mamanya membawakanku kotak, masih ada di kamar, aku belum berani membukanya.” Bukan berarti karena aku penakut tapi entahlah”
“Mungkin dia ninggalin alasan kenapa dia senekat itu”
0 comments