The Uncensored Confession of a Love Child 4





Aku benci bila hujan turun di sore hari, langit menjadi gelap dan cuacanya menjadi dingin. Suasana seperti ini biasanya ada di film-film untuk menciptakan effect dramatis yang mempermainkan perasaan penonton, misalnya; adegan dimana ada sepasang kekasih dibawah derasnya hujan yang saling berteriak bahwa mereka saling membenci tapi dalam hati mereka tau bahwa mereka saling menyayangi dan tak ingin kehilangan satu sama lain, atau adegan di pemakaman, tentang kematian tragis seseorang yang tak ingin dilepaskan oleh orang-orang yang mencintainya. Aku tak pernah melihat ada adegan orang kegirangan dalam cuaca seperti ini.

Saat kecil dulu bila aku harus menghadapi keadaan seperti ini, tanpa dimintapun air mataku pasti meleleh dengan sendirinya dan semua hal-hal sedih akan berputar-putar diotakku dan Mamaku akan datang memelukku erat-erat, kami akan membuka tirai jendela, memandang hujan dari balik jendela berembun dan Mama akan berbisik ditelingaku.

“Kalau kamu menginginkan pelangi, kamu harus menghadapi hujan.” Kata-kata ini akan menghiburku.

Saat ini aku tak bisa memandang hujan bersama Mama di kamar hitam-putihku yang bertema Emily the Strange dan Nightmare before Christmas, keduanya favoritku,karena didominasi warna favoriku, hitam-putih seperti hidupku, hidupku hanya memiliki dua warna. Dan sekarang aku berada di kamar Barbie raksasa, aku terdampar di kamar Lea, si cewek korban bully yang menyedihkan. Awalnya aku cuma pengen nganterin dia pulang tapi aku juga nggak pengen balik ke rumahku sendiri dan Lea malah menawariku untuk jadi penghuni gelap di rumahnya.

Di jam makan malam, Lea menyelundupkan satu karton susu cair, dua buah apel, dan sepotong besar black forest, aku lapar berat tapi aku sama sekali tak menyentuh makanannya, sepertinya emosi merusak nafsu makanku. Sementara Lea, masih terus menatapku dengan matanya yang bengkak karena menangis terlalu lama, dia tak bicara barang sepatah katapun, aku tau dia masih sangat shock atas perlakuan tak manusiawidari Bailey tadi, aku merasa kasihan padanya dan aku merasa aneh sendiri mengetahui kenyataan bahwa ada orang selain Mama, Fido, dan Dido yang membuat aku peduli.

“       Dengar, gue ngerti apa yang elo rasain” Aku memeluknya. “Elo boleh nangis, elo boleh ngelepas semua kesedihan yang elo rasain” Aku membelai-belai rambutnya” Gue janji bakal ngelindungin elo dari si Bailey dan dari siapapun juga, sekarang elo punya gue” Entah karena aku terbawa perasaan atau bagaimana tapi yang pasti tanpa aku sadari aku telah melakukan hal yang bakal aku sesali dimasa depan.

***


9w DsKuL!

9w t99u LoE D9rBn9
jMpT 9w sKr9!!!
^kEyRa^


Aku meminjam Hp Lea untuk meng-SMS Fido.

Hari ini aku ikut Lea ke sekolah, tapi aku tidak ikut masuk, aku hanya menunggu si kembar untuk menjemputku, ketika gerbang sekolah ditutup aku sendirian membombardir, aku merasa seperi iklan layanan masyarakat. Tentang anak putus sekolah. Tak berapa lama kemudian Honda Jazz putih berhenti di depanku . Aku langsung naik dan menghempaskan diri di jok belakang, aku benar-benar ngantuk dan capek.

“Tampang loe udah kayak buronan!” Kata Fido ketus.

“Semalam kita keliling nyariin loe, tau!” Tambah Dido.

Aku diam saja dengan hati dongkol.

“Loe kemana aja?” Tanya Fido galak.

“Nggak usah marah-marah dong, gue capek!” teriakku, Dido menghentikan mobilnya.

“Kita mesti ngomong, Key!” Kata Dido dengan nada tak sabaran.

“Nggak ada yang mesti diomongin.” Kataku dengan nada yang menyebalkan “Gue capek!”

“Oke, elo bakal kita antar pulang, loe bisa istirahat di rumah!” Fido bicara dengan nada tegas.

“Gue nggak pengen pulang, gue nggak mau ketemu nyokap!” teriakku marahmarah, aku berpikir lagi, kenapa aku tak mau bertemu dengan Mama, padahal sebenarnya Omalah yang kuhindari, mungkin aku takut Mama akan menyalahkan tindakan anarkisku kemarin, hingga ia akan membenciku dan dia akan pro Oma.

“Loe, boleh nggak pulang, tapi loe bilang dulu, semalam loe kemana?” Tanya Dido dengan kesabaran yang kunilai sempurna, atas sikapku yang menyebalkan.

“Gue di tempatnya Lea” kataku tak yakin, karena aku tau pasti mereka takkan mempercayaiku.

“Woi. . . .!!!!!!!!! Kehidupan sosial yang elo punya cuma sebatas gue sama Dido doank, Loe, jangan buat tokoh fiktif dong!” Fido mengejekku dan aku merasa sedikit tersinggung.

“Gue nggak boong, gila! Dan sekarang bawa gue ke apartement kalian, sumpah gue ngantuk berat. Semalam gue jadi tau gimana ngak enaknya jadi penderita insomnia, sekarang gue butuh tidur seenggaknya 10 jam. Gue nggak bisa tidur di tempatnya Lea, kamarnya kayak kamar Barbie raksasa, tempatnya nggak gue banget, terlalu girly, terlalusweet, ngingetin gue sama cewek-cewek dumb blondie nyebelin tapi bikin iri cewek-cewek sedunia, by the way, siapa sih yang nyiptain Barbie? Gue rasa dia perlu disalahin atas banyaknya kasus eating disorder, karena fisik Barbie yang diciptainnya terlalu perfect! Emang ada apa cewek ceking dengan dada, bokong, dan pantat montok? Seandainya Barbie itu hidup dan berkeliaran di muka bumi, gue nggak yakin tuh dia bisa berjalan tegak, taruhan deh, dia pasti bakalan jatuh telungkup karena nggak sanggup berdiri tegak dan ngebawa beban dada super duper gedenya yang bikin jutaan cewek iri setengah mati.. Cewek itu. . . ”Aku baru sadar bicaraku mulai melantur.

“Loe ngelantur bos! Kayaknya elo emang perlu tidur” kata Dido bijak (Tumben!)

“Gue bakalan nelpon nyokap buat kabarin kalo elo baik-baik aja” Entah kata siapa, Fido apa Dido, entahlah! Karena yang kurasakan sekarang kesadaranku mulai berkurang, aku jatuh tertidur.

***

Aku tidur dengan nyenyak, dan mataku masih enggan untuk terbuka, aku akan melanjutkan tidurku ketika kusadari bahwa bantal yang kupeluk adalah bantal Emily the Strange milikku. Aku berada di kamarku sendiri! Kenyataan ini membuat kesadaranku langsung pulih, aku bangkit dari tempat tidur secepat yang aku bisa dan buru-buru aku turun ke lantai bawah dengan menuruni dua-dua anak tangga sekaligus. Dalam hati aku mengutuk si kembar yang membawaku pulang ke rumah.

Aku menghentikan langkahku ketika kudengar suara Mama dan suara seorang pria entah siapa di mini bar dekat ruang tengah, aku sembunyi di dekat akuarium yangberisi ikan Lohan yang kuharap dibadannya akan tertulis  kata “F*CK”. Hmmmmmmmmmmmmm. . .  sebenarnya bukan maksudku untuk mencoba menguping, hanya saja aku harus tau karena dari arah pembicaraannya aku menangkap bahwa apa yang mereka bicarakan adalah tentangku, jadi aku punya hak dong!

“Dia hasil kloningan sempurna dari kamu, aku seperti melihat kamu 16 tahun yang lalu , sayangnya. . .  dia tak mewarisi apapun dari aku” kata si entah siapa, ada nada banga dan kecewa sekaligus dalam nada suaranya, suara serak ini begitu familiar di telingaku, tapi aku pernah mendengar suara ini dimana ya. . .  ?

“Tapi dia mewarisi keras kepala dan kemampuan untuk menciptakan masalah seperti kamu” Kata mama dalam nada yang kurang bersahabat, sepertinya dia benci membicarakan hal ini.

“Ini sempurna, dia mewarisi fisik secantik kamu dan semua sifat baikku, kurasa aku dan Keyra. . . .”

“Jangan terlalu banyak berharap!” Mama memotong pembicaraan si pria serak, kedengarannya si pria seperti sedang membicarakan sesuatu yang membahagiakannya, tapi Mama seolah merusak kebahagiannya. “Keyra, bukan anak idiot, dia perlu waktu untuk bisa menerima kamu” kata Mama lagi, tapi sekarang lebih pelan dan seakan tertahan ditenggorokkan.

“Bukanya semuanya sudah jelas, kamu sering bilang bahwa hal yang paling diinginkan oleh Keyra adalah memiliki seorang Papa, dan sekarang aku ada buat dia” Kata si pria, dan hey! Apa kamu dengar ?dia Papaku ! aku tak tahan lagi, akhirnya aku keluar dari persembunyianku.

“Seseorang nggak bisa disebut sebagai Papa hanya karena dia menyumbangkan spermanya!” kataku dengan serak, entah karena aku baru bangun tidur atau karena aku akan menangis, mungkin dia benar aku memang sangat menginginkan seorang Papa, tapi itu dulu saat teman-temanku di TK sibuk membicarakan betapa hebatnya Papa mereka. Dulu saat aku mulai belajar sepeda, aku ingin ada seorang pria dewasa yang dipanggil Papa yang dengan penuh kasih sayang akan mengajariku naik sepeda. Dulu saat sebelum aku dilahirkan agar aku takkan pernah jadi anak haram dan Ibu-ibu bermulut lebar yang menyindirku dengan buah terlarang menyebabkan selai busuk, takkan pernah membuka mulutnya untuk membicarakanku. Tapi kenapa dia baru datang sekarang? Disaat aku sudah mulai terbiasa dengan semuanya, disaat aku sudah tidak berharap lagi untuk memilikinya. Ini sama sekali nggak adil, rasa-rasanya aku ingin membanting sesuatu sekarang, tapi entah kenapa aku malah duduk dilantai dan menyandarkan diri didinding. Aku sedikit pusing, kakiku gemetaran dan selemas jelly hingga tak kuat lagi menopang tubuhku. Mama duduk di depanku menetapku dengan berkaca-kaca .

“Mama nggak tau kalo kamu sudah bangun. . . ”

“Suruh dia pulang Ma, aku nggak mau ngeliat dia Ma. . . ”teriakku lemah, aku membenamkan kepala dilututku yang rapuh, aku bahkan tak ingin melihat wajahnya.



0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top