Memulai hari sebagai seorang anak yang memiliki Ayah masih membuatku merasa “gue mimpi nggak sih?” sebenarnya hal ini bikin aku tersenyum-senyum sendiri di saat-saat tertentu, upiir tak hanya aku yang merasa seperti ini, aku yakin si penjahat spermapun merasakan hal yang sama.
Ada perrbedaan signifikan antara hidup dengan seorang Ibu dengan seorang Ayah, yeah seperti kulkasmu tak berisi makanan sehat tapi dipenuhi makanan beku dan semua jenis makanan instant yang beberapa tahun ke depan bikin kamu jadi penderita kanker, kerapian bukan hal penting di sini, kamu bisa meletakkan barang dimanapun tanpa mendengar teriakan “balikin ke tempat semula!”atau hey! nggak ada yang membangunkanm jam 6 pagi untuk berangkat ke sekolah
“Nyokap nggak bakal seneng kalo tau gue nggak masuk sekolah cuma gara-gara loe telat bangunin gue, ya ampun sekarang udah jam sembilan, walau sekolah gue luar biasa nyebelin tapi gue bukan tipe anak yang rela ngelewatin pelajaran favorit gue” omelku
“Pelajaran favorit?”
“Sejarah!”
“Hmmmm buatku itu membosankan, nggak ada gunanya mempelajari masa lalu”
“Masa lalu bisa bikin kita belajar untuk masa depan, tanpa masa lalu masa depan cuma jadi sebuah kemungkinan”
“Satu hal yang kuketahui tentang masa lalu adalah bahkan Tuhan-pun nggak bisa ngerubah masa lalu” ini bukan jenis kata-kata yang sering keluar dari mulutnya.
“Yeah. . . aku adalah hasil dari masa lalum. . . .menyesal?”
“Sangat!” nyaris saja jawaban itu membuatku terpukul “. . . . karena aku melewati banyak hal berharga, seandainya aku ada di sana saat kamu dilahirkan, seandanya aku mengetahui semuanya, kamu tak perlu menanggng label yang tak layak untuk diucapkan dan kamu takkan pernah memanggilku dengan si penjahat sperma, buatku itu bukan panggilan yang indah”
“I’m so sorry” aku tak tahu harus mengatakan apa “Bolehkah aku memintamu untuk memanggilku papa?”
“Boleh nggak gue minta waktu untuk terbiasa?”
***
Belajar dari kesalahan dia membangunkanku sebelum jam 6, menyiapkan sarapan (walau rotinya agak gosong dan aku benci selai kacang, telurnya terlalu mateng dan aku lebih suka ada campuran Ovaltine di susuku, juga. . . . dimana multivitaminku?), mengantarku ke sekolah (walau aku diturunkan 100 meter lebih jauh dari gerbang sekolah), menjemputku (walau telat sekitar 30 menitan), mengajakku makan siang di restoran Korea favoritnya (aku jijik dengan makanan entah apa namanya tapi yang jelas itu dari bayi gurita yang kadang-kadang masih bergerak-gerak. . . . huwek. . . .!), mengajakku ke toko buku (membelikanku dua buku sejarah; Holocaust-nya Stephanie Downing dan Maping Human History-nya Steve Olson), nongkrong di Coffee Shop sambil mengecek email dan menulis di blog-nya (dia bahkan menjadi anggota dari banyak situs jejaring sosial, untuk mendekatkan dii dengan fans, itu alasanny), mengajakku ke basecamp HIM dan mengenalkanku dengan bangga pada teman-temannya (ini lebih dari sekedar mimpi yang jadi kenyataan), pulang ke Apartement makan malam sambil nonton film The Game Plan-nya The Rock (ceritanya hampir mirip dengan kisahku, hanya sajaayahku tidak harus belajar balet dan aku tidak alergi kacan), setelah itu kita duduk di teras belakang, menatap bintang-bintang sambil menanyakan hal sepele, seperti;
“Apa Ayra masih suka nonton drama Hollywood yang nggak realistis itu?” atau “ Apa Ayra masih suka memilin-milin rambutnya kalo dia gugup?” atau “Apa Ayra masih suka baca novel-novel Harlequin sebelum tidur?” juga “Apa Ayra pernah cerita tentang aku?” Pertanyaan terakhirnya bukanlah jenis pertanyaan sepele
“Mama hanya pernah cerita bahwa kisah cintanya nggak seindah dongeng atau seromantis film-film Hollywood, kisah cintanya terlalu realistis, yang pasti setelah denganmu Mama tidak mencoba untuk jatuh cinta lagi sementara Mama terlalu mempesona, dan sulit bagi orang-orang untuk tidak jatuh cinta pada Mama, sejujurnya aku sedikit membencimu karena telah membuat Mamaku cinta mati padamu.”
“Tapi kenapa Mamamu meninggalkan aku? Ditinggalkan jauh lebih menyakitkan daripada meninggalkan Key, kupikir dia sudah tak mencintaiku lagi, kupikir dia telah menemukan orang lain, dan dia bahagia disana,melupakanku, dan itulah alasan kenapa aku berhenti mencarinya dan melanjutkan hidupku.”
“Apa kamu masih mencintai Mamaku?”tanyau sambil manatap wajahnya untuk melihat jawaban non verbal yang tergambar di ekspresinya, dia tersenyum dan matanya berbinar.
“Sampai kapanpun”
“Kalau begitu, jadikanlah kisah cintanya happy ending”
0 comments