I Am Sterdam -dinukil dari buku saya: Drunken Molen

Di hari pertama kamu datang, kamu bisa tinggal dulu di rumahnya Larasati. Di Tweede Jacob Van Campenstraat 126A 1073XX, Amsterdam. Kamu juga makan di sana dan harus nyuci sendiri piring bekas makanmu. Kamu juga pipis di sana dan siram sendiri bekasnya. Kamu juga ee di sana dan kamu harus mau cebok sendiri. Memakai sabun, sampo dan pasta giginya Larasati juga.
"Ga tau mana arah kiblat" Larasati bilang begitu ke kamu waktu kamu mau shalat. Kamu lupa ya? Dia kan Nasrani, tidak akan tahu ke mana arah kiblat.
"Mana arah barat?"
"Ini Barat"
"Ha ha. Ke arah mana matahari tenggelam?"
"Sana"
Lalu kamu shalat dengan menghadap ke arah barat seperti yang Larasati tunjukkan dan itu bukan menghadap ke arah Ka'bah di Arab. Kamu sadar hal itu setelah shalatmu selesai dan ketawa.
"Larasati! Aku shalat menghadap Inggris! Inggris di sana kan?"
"Harusnya?"
"Ke Arab ih!"
"Arab di sana!". Larasati menunjukkan tangannya ke arah sebelah timur.
"Waaah. Aku shalat menghadap Elizabeth"
"Ha ha ha"
"Anjing! Ha ha Aku shalat bukan menghadap Pangeran Gusti Allah, tapi Pangeran Charles!"
"Ha ha ha"
"Kupikir ini Indonesia"

***

Kamu tidur di kamar belakang. Kamar dengan jendela yang bila kau buka, kau akan bisa melihat apartemen di Quelijnstraat.
"Itu apartemen, penghuninya kebanyakan orang Maroko" Larasati bilang begitu, dan kamu memandangnya sambil merokok di halaman belakang rumah. Memandang apartemen itu yang di pagarnya hampir selalu dijem ur karpet dengan motif gaya Timur Tengah.
"Mereka.."
"Ya..."
"Setiap malam selalu menghisap hashish. Kamu tahu hashish gak?"
"Bagaimana kamu tahu mereka menghisap hashish?"
"You know laaah, tetangga"
"Oh. Iya".

***

"Kalau kamu mau lihat-lihat kampus. Kamu ke sana aja sendiri. Dekat. Bisa jalan kaki"
"Aku manja. Ada angkot gak?"
"Kamu bisa naik trem nomor 10 kalau begitu"
Lalu kamu merasa sedikit risau. Karena kamu tahu kamu baru sehari di sana. Larasati tidak bisa mengantarmu, karena malas dan banyak urusan, termasuk harus mengurus suami dan anaknya yang masih kecil itu, si Dhanu. Termasuk harus menghitung uang karena dia kebetulan ditunjuk jadi bendahara acara pameran komik Indonesia di Rijkmuseum Voor Volkenkunde, Leiden. Termasuk sibuk harus menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya biar bisa menjadi Doktor.
"Sibuk sekali"
"Sampau lupa diet"
"Ha ha ya sudah, aku pergi sendiri ke sana. Nih, Belanda sih sudah ada dalam genggaman tanganku", katamu sambil kamu tunjukkan tulisan Belanda di telapak tanganmu.
"Ha ha ha"
"Ada mistar gak?", tanya kamu sambil meraih kapur tulis yang ada di atas meja kerjanya.
"Buat apa?'
"Ini. Pinjam ya?", katamu sambil mengambil mistar di antara tumpukan kertas.
"Buat apaan?!"
"Ini denahnya!" Larasati memberi kamu denah yang sudah dia bikin seperti yang kamu minta.
"Sip. Aku pergi dulu"
"Oke. Kamu pasti bisa lah. Inget-inget aja jalannya, biar kamu bisa kembali ke rumah"
"Iya"
"Kalau kamu lupa jalan pulang...."
"Iya?"
"Kamu ambil taksi minta antar ke Schipol". Larasati bilang Schipol itu maksudnya nama bandara
"Ngapain?"
"Langsung pulang ke Indonesia"
"He he he"
"Minta pesawat yang ke Buahbatu"
"Buah Batu Air Lines"
"Kalau ada apa-apa di jalan, kamu tinggal nanya, kamu kan punya mulut"
"Oh iya. Siap grak". Kamu pergi sambil mikir: Iya, kalau aku tersesat aku mau nanya pake bahasa Indonesia. Biar orang bisa maklum kenapa aku tersesat. Pantes lah tersesat karena aku bukan warga negara Belanda. Kedua, kalau mereka benar Belanda, harusnya mereka sudah bisa bahasa Indonesia, karena pernah lama di Indonesia, bahkan katanya sampai 350 tahun. Kalau ternyata tidak bisa, itu bukan bodoh, melainkan karena ketika Belanda di Indonesia, mereka sibuk membuat tata kota yang baik yang sekarang malah diacak-acak oleh orang Indonesianya sendiri. Membangun gedung-gedung yang bagus yang sebagian sudah dirobohkan oleh para bandit pengusaha untuk dirubah menjadi bangunan mall yang menggelikan.

***

Kalau tidak salah, itu adalah tahun 2002, ketika kamu tiba di sana. Bulannya sedang Juni, sedang siap-siap mau masuk musim panas. Musim panas yang penuh dengan angin dan oleh karena itu mengapa maka dingin. Kamu keluar dari rumah Larasati dengan berbalut jaket tebal. Berjalan sendiri, menyusuri trotoar berwarna merah jingga. Jika orang melihatmu dari atas, orang akan melihat sebuah gari putih memanjang di atas trotoar.

Itu adalah garis kapur tulis, kapurnya terikat diujung mistar yang kau seret dimulai dari depan rumah Larasati. Panjang sekali garis itu dan kamu sengaja membuatnya, untuk berguna menjadi petunjuk saat kamu harus kembali ke rumah Larasati. Harusnya, juga berguna untuk Larasati, kalau dia ingin tahu ke mana kamu pergi. Ke sana, melewati jembatan angkat di  atas sungai Amstel. Ke sana, ke kampus yang tinggi besar dengan pagar besinya yang juga tinggi. Gedung yang dingin dan sunyi karena itu hari minggu.

Ada suara burung dan derit sepeda yang lalu lalang di jalanan. Sebuah kolam, atau mungkin danau kecil, di seberang jalan itu, kamu melihat di atasnya beberapa itik yang bagus sedang berenang disaksikan oleh daun-daun pohon Willow. Pohon menangis. Benar-benar, seperti ada orang kaya yang sengaja menghabiskan uangnya untuk membuat keadaan bisa menghanyutkan setiap perasaan  bagi siapa pun yang ada di sana. Uh, cabang-cabang ranting pohon yang banyak di sepanjang jalan itu, adalah cabang-cabang ranting pohon yang sangat cocok ada di sana, membuat sore menjadi bagus untuk diphoto.

Kamu kembali ke rumah Larasati dengan menyusuri garis putih sambil tersenyum dan berhenti sebentar di suatu daerah yang sepi untuk membuat sketsa di atas kertas yang kau bawa. Daerah itu, lalu kamu tahu nyatanya memang selalu sepi, hampir setiap hari. Itu di sekitar belokan yang mau ke arah rumah Larasati. Di sana, kamu  membaca tulisan vandalisme yang dibuat dari pilox: The Faults pada sebuah tembok yang sedang direhab

"Mungkin itu gengmotor" jawab Larasati, ketika kamu bertanya apa maksud dari The Faults.
"Oh"
"Atau gak tau apa"
Dua hari kemudian, kamu sengaja membeli pilox dan pergi ke sana untuk membuat tanda silang dan tulisan TAI pada tulisan The Faults itu, lalu membuat tulisan baru di bawahnya: XTC, salah satu nama gengmotor yang ada di Bandung.
"Yes" katamu dalam hati dan senang.

***

Lama-lama, kamu mulai diserang rindu. Rindu akan banyak hal yang berhubungan dengan Indonesia, termasuk makanannya.
"Apa itu filsafat?" Larasati bertanya kepadamu, di kesempatan ketika kamu main lagi ke rumahnya.
"Filsafat adalah, tapi aku sedang ingin jengkol sekarang dan sambal!"
"Coba kamu pergi ke Albert Cuypstraat"
"Ada di sana?"
"Di ujung pasar Albert Cuyp, ada toko. Namanya toko Ramee. Kamu bisa beli mie instan, tauco. Rokok Indonesia juga ada. Borong aja semuanya, barangkali kamu tolol"
"Ayo, besok"
Ya harus besok, karena kamu harus pulang dulu dan tidur malam itu setelah usai membaca buku Rumah Kaca karya Pramudya Anata Toer yang dulu dilarang beredar di Indonesia. Tidur bersama rasa rindu yang entah mengapa mampu membuatmu sedikit kacau di sore hari yang tadi, barangkali juga disebabkan oleh kamu yang sedang demam waktu itu.

***

Tapi besoknya, kamu malah ke sana, menyusuri sungai Amstel dengan membawa kail yang dibuat dari peniti dan diikat oleh tali seperti benang kasur, tujuanmu hanya satu untuk: mencari belut! Waw, udara yang dingin dan usaha yang sia-sia. Kamu lalu pulang 
"Ngapain?" Larasati bilang begitu ketika kamu ceritakan kepadanya.
"Ha ha ha Kampungan ya?"
"Bukan kampungan itu, itu namanya belegug!"
"Ha ha ha Ga apa-apa deh"
Pada dasarnya kamu tahu, kamu bukan bermaksud semata-mata ingin mendapat belut. Toh kamu juga tahu, kalau cuma ingin belut (di sana disebut paling), kamu bisa tinggal pergi ke New King, ke rumah makan Chinese Food, di Zeedijk, di daerah deket Red Light District itu. Kamu mungkin hanya ingin, entahlah apa itu, susah sekali menerjemahkan perasaan.

Sekarang kamu di sini. Sudah di Indonesia lagi. Sudah pulang sejak beberapa tahun lalu. Coba lihat photo-photomu itu, salah satunya photo kamu yang telanjang dada sedang turun ke kanal kecil di Haarlem dan mengeduk airnya dengan ember, apakah kamu tersenyum melihatnya? Photomu yang lain, sedang menyapu jalanan di daerah pecinan, apakah kamu tersenyum melihatnya? Photomu yang lain, seolah-olah sedang jualan hot dog di lapangan deket Musium Van Gogh, apakah kamu tersenyum melihatnya? Kalau iya, tapi ibumu tidak, dia malah terkejut.
"Ngapain kamu di sana?!!"
"Kerja sambilan"
"Membersihkan sampah?"
"Memangnya kenapa kalau membersihkan sampah? Dat is  goed, Moeder!"
"Mana kincir anginnya?"
"Ha ha di sana laah!"

Bandung, Februari 2008 




   




 



    


 


   




 

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top