CUIDAD DE LA HABANA
Dan, di Havana. Yaitu di Cuidad De La Habana, Kuba. Apa kau pernah di sana? Menyusuri trotoar jalan di hari sore berangin bersama Juanita? Bersama Juanita Yoani Sanchez nama lengkapnya. Perempuan Kuba yang bagus kalau senyum, dan tetap bagus meskipun diam. Hari itu adalah hari terakhir kamu tinggal di Kuba karena besok kamu akan kembali ke negaramu, ke Republik Indonesia, meskipun kamu sudah hampir setahun tinggal di sana.
Kepada Juanita, kawan baikmu itu, kamu minta diantar untuk membeli oleh-oleh sambil masih tetap duduk di kursi kayu dan menggenggam surat khabar GRANMA. Surat khabar yang bila kau baca kau akan pusing karena kamu tahu kamu tidak terlalu mengerti bahasa Spanyol.
Lalu Juanita membawa kamu ke sana, sore itu, ke tempat yang sebenarnya bukan toko oleh-oleh. Cuma toko biasa dengan bangunannya yang tua bergaya Baroque. Kamu ingat, temboknya warna biru yang sudah dibikin pudar oleh waktu. Di bagian tertentu ada sedikit warna kuning, pasti sengaja, mungkin untuk berguna bisa memberi sedikit aksen.
Kamu masuk bersama Juanita dengan cara membuka pintu yang ada tulisan: ABIERTO nya. Di dalam toko, pada sebuah pilar yang melengkung, kamu membaca sebuah tulisan besar berbahasa Spanyol: INI HAVANA DAN KAMU BAHAGIA”, kira-kira begitu kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada sebuah meja tua yang panjang, tempat tinggal mesin hitung, tumpukan buku, daun kering, cerutu dan banyak lainnya lagi yang akan panjang kalau kamu sebutkan semuanya secar detail.
“Kalau kamu ingin cerutu dan Café Cubano”, kata dia dalam bahasa Inggrisnya yang khas, “Di sini kamu bisa dapat”.
“Kalau tidak ingin?”
“Sudah jangan beli!”. Kamu ketawa dan dia juga.
Juanita menyapa seorang bapak tua dan gemuk. Bapak tua itu asalnya duduk, lalu berdiri untuk menyambut kalian datang.
“Hello”, katanya.
“Hello. Assalamualaikum, Pak Haji!”. Kamu berseru, menyapanya.
“Ya? Bisa saya bantu?”, kira-kira begitu kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
“Mau beli oleh-oleh, Pak Haji!”, katamu lagi.
“Haji? No. I am Jose”
“Ya Haji Jose. Saya mau membeli oleh-oleh”, kamu menjawab dalam bahasa Inggrismu. Juanita tersenyum, entah mengapa, dan pergi ke sana untuk melihat barang dagangan yang ada di sana, tapi maksudnya lebih seperti sengaja untuk tidak ikut terlibat dalam percakapan itu. Kayak yang malu punya kawan macam kau. Kamu diantar Jose melihat benda-benda itu juga.
“Berasal dari mana kamu?”, Jose bertanya
“Indonesia, Pak Haji”
Jose tersenyum. Mungkin dia berpikir: “Anak muda ini mengapa selalu memanggil aku Haji? Apa sih Haji itu?”
“Indonesia? India? Bombay?”, Jose bertanya lagi.
“Bukan, Pak Haji. Kamu tahu Indonesia?”
“Di mana itu?”
“Di mana ya? Kamu tahu Sokearno?”
“Soekarno? Tidak”
“Lady Diana? Tahu Lady Diana?”
“Ya. Lady Diana. Kamu dari England?”
“Bukaaaaan. Saya dari Indonesia, Pak Hajiii”
“Lady Diana dari England, bukan?”
“Dia lahir di Indonesia. Tapi tidak mau ngaku”
“Oh ya?”
“Nyatanya begitu”
“Aku baru tahu”
“Pak Haji, Tahu Pele?”
“Ya aku tahu Pele. Pemain sepakbola. Saya suka dia”
“Dia lahir di Brazil”
“Ya. Aku tahu. Hmm Indonesia nama daerah di Brazil?”
“Ih. Bukan. Udah ah, pusing”
“Oke, kalau begitu. Ga apa-apa”. Jose bilang begitu sambil tersenyum.
Lalu kamu nanya ke “haji” Jose soal barang yang kamu ingin tahu apa itu. Jose menjelaskannya dengan baik. Juanita datang seraya menyenggolmu untuk minggir. Dia membawa sebuah boneka aneh seperti boneka dari Voodo dan bertanya kepada Jose agar bisa mendapatkan penjelasan. Kukira, Jose pasti suka ketika menjelaskannya karena dia tahu Juanita memang cantik.
Kamu akhirnya membeli beberapa ikat cerutu Cubano, dan yang lainnya lagi yang kamu sudah lupa apa saja. Juanita tidak membeli apa-apa, karena dia tahu, dia bisa membelinya kapan saja bila mau. Tak lama dari itu, lalu datang seorang ibu tua dengan rambutnya yang dikuncir. Itu ibu gemuk, segemuk Jose. Kalau tidak salah, waktu itu, dia memakai tank top berwarna biru tua. Kamu sudah lupa siapa namanya, tapi dia adalah manusia dan istrinya Jose.
Dia masuk ke sana untuk untuk jadi berdiri di balik meja kasir. Kepadanya kamu serahkan barang-barang yang kamu akan beli untuk dihitung, supaya menjadi jelas berapa kamu harus bayar. Oh, sekian peso dan dia sangat baik dan ramah. Tidak semua orang Kuba itu ramah, memang, tapi di sana kamu bisa pergi ke mana saja dengan hanya menyetop mobil untuk bisa mendapat tumpangan. Hal yang macam itu, di sana, disebutnya sebagai Bote.
“Dia dari Indonesia. Kamu tahu Indonesia?” Jose ngomong begitu ke istrinya sambil tersenyum.
“Indonesia? Di mana itu?”. Istrinya Jose balik bertanya seolah-olah ditujukan kepadamu.
“Dekat Antartika, Bu Hajjah”, jawabmu.
“Antartika? Oww. Hajah apa itu?” istri Jose bertanya lagi dan kamu berusaha bertahan untuk tidak ketawa. Di ujung meja, Juanita sedang berdiri bersama Jose yang sedang mebungkus barang belanjaanmu. Mereka ngobrol, tapi kamu tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
“Iya saya datang dari Antartika”, katamu lagi kepada istrinya Jose.
“Aku tahu Antartika. Bagimana tinggal di sini menurutmu?”
“Dingin sekali”
“Dingin? Oh ya? Ini panas. Antartika sedingin es”, kata istrinya Jose.
“Ah itu isu. Jangan asal percaya. Coba ibu pergi ke sana. Buktikan dulu”
“Tidak. Itu jauh”.
Lalu kamu bertanya kepada Juanita soal jumlah uang yang harus kamu serahkan. Juanita segera membantumu dan menyerahkan beberapa jumlah uang kepada istrinya Jose.
“Terimakasih banyak” kata istri Jose sambil menyerahkan uang kembalian.
“Sama-sama” katamu sambil berkemas untuk siap-siap mau pergi.
“Ya”
“Pak Haji, Bu Hajjah. Mangga, ah! Assalamualaikum”, katamu sambil pergi bersama Juanita untuk meninggalkan mereka.
“Ya, terimakasih, Indonesia. Sampai Jumpa”
Kamu dan Juanita memilih berjalan kaki untuk pulang. Menyusuri trotoar jalan, menyusuri gedung-gedung tua, menysurui hari yang tak lama lagi sudah mulai akan senja. Kamu dan Juanita tertawa, termasuk ketika membicarakan orang-orang yang pada nganggur duduk di tangga yang ada di depan rumahnya. Tertawa dengan begitu banyak, seolah-olah hanya untuk itu kalian hadir ke dunia. Juga sekaligus untuk mengungkap akan semua kenangan tentang apa saja yang sudah pernah engkau dapatkan di Kuba, yaitu selain pengetahuan tentang seni liberal. Membuat semakin kuat saja desiran yang engkau rasakan di rongga mulutmu itu. Desiran khas yang muncul karena didesak oleh banyak hal yang engkau rasakan dan tidak lagi mampu kau bendung.
0 comments