Hei, Upper East Sider! Kamu tahu bahwa kamu mungkin tak lagi mencintaiku. Dan Humphrey, si Lonely Boy―cowok kesepian, adalah si Gossip Girl! Hei, itu aku! Siap membenciku? Siap menyalahkanku atas sebuah kebohongan rapi, serta begitu banyak gosip dan skandal yang kuhembuskan? Siap menjadikanku papan sasaran untuk segala alasan kehancuran hidup kalian? Tapi, bagaimanapun kalian harus berterima kasih atas ketenaran kalian dan juga bahan pembicaraan yang aku ciptakan!
Pada akhirnya kalian akan menyesal dan yeah…, sedikit kecewa. Kalian mungkin mengharapkan sosok lain selain diriku. Dorotha, misalnya, atau Georgina? Mungkin juga little J, atau bahkan Eric van der Woodsen? Maaf merusak ekspektasi kalian tentang seorang gadis yang mungkin bersuara seksi nan manja yang mengirimkan banyak gosip dan skandal ke ponsel canggih kalian. Tapi, yeah, pada akhirnya kalian harus menerima bahwa akulah si blogger jenius di belakang permainan ini.
Tahun-tahun itu berlalu secepat kilat dan aku bukan lagi si poor lonely boy yang mendaki tangga sosial karena mengencani si sosialita yang juga mantan saudari tiriku itu: Serena van der Woodsen. My Muse! My Inspiration! Dia alasanku meluncurkan situs gosip ini, selain juga karena kebencianku pada kehidupan munafik mewah berkilauan para borjuisUpper East Side. Drama yang layak untuk ditertawakan, saat remaja bertindak dewasa dan para orang tua bertindak kekanak-kanakan.
Manhattan seperti panggung sandiwara raksasa di mana kebohongan adalah cara terbaik untuk terbebas dari masalah, balas dendam adalah alat pembayaran paling pantas untuk setiap pengkhianatan, cinta yang berfungsi sama seperti puzzle yang bebas dipasangkan di sana-sini. Pesta untuk jiwa yang lelah demi bahagia yang dipuaskan dengan segelas Champagne dan kemampuan menipu diri sendiri.
***
“Masih ingat bagaimana kisah ini berawal?” aku menanyakan diriku sendiri yang sedang menyesap kopi dan sekilas memandang keluar jendela, melihat sepotong pemandangan Brooklyn yang terlalu biasa untuk kuabaikan. Aku kembali menghadapi layarku, menatap kata demi kata yang kususun membentuk sebuah drama yang kusulap dari skandal dalam realita yang kualami dan kusaksikan dengan mata kepala. Ya. Aku mengambil bagian di dalamnya. Inside, sebuah novel yang kutuangkan bersama imajinasi dan juga keinginan pribadi.
Di Grand Central, aku melihat gadis dengan rambut berkilau keemasan―seperti dewi yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Serena van der Woodsen kembali setelah kepergiannya yang misterius. Serena, gadis yang terlalu mabuk saat kutemui pertama kali, gadis yang membuatku mengerti bahwa cinta pada pandangan pertama itu ternyata ada. Tapi, siapa aku? Dan, setelah melihatnya kembali membuatku memunculkan ide untuk membuat postingan pertama di Gossip Girl tentang diriku, yang kubuat dengan julukan, Lonely Boy, bocah kesepian. Yeah, aku memperolok diriku.
Spotted: Lonely Boy. Can't believe the love of his life has returned. If only she knew who he was. But, everyone knows Serena. And, everyone is talking. Wonder what Blair Waldorf thinks. Sure, they're BFF's, but we always thought Blair's boyfriend Nate had a thing for Serena.
Malang bagi Serena, yang – maaf – harus mendapat label ‘jalang’ sekembalinya dari boarding schoolyang mengusirnya. Sahabatnya, Blair Waldorf – the Girly Evil, tak menyambutnya dengan tangan terbuka. No wonder, Serena belakangan diketahui meniduri Nate, sahabat dan juga pacar jangka panjang Blair. Kecewa dengan pengkhianatan sahabat dan juga kehilangan sahabat untuk menghadapi drama keluarganya, Blair memutuskan untuk tak menerima Serena. Serena bukan lagi ratu di Constance Billard. Serena sama seperti…. Oh, Tuhan! Seandainya Serena kembali dan para sahabatnya menerimanya, tentu menghabiskan waktu denganku bukanlah pilihannya. Aku adalah pengisi kekosongannya. Aku merasa bodoh dan hebat di saat bersamaan, aaat Serena ternyata mengingatku. Yeah, aku ‘sengaja menabraknya’ agar aku memiiliki alasan untuk menemuinya ke New York Palace Hotel, lalu mengembalikan ponselnya yang saat itu jatuh tak jauh dari kakiku. Senyum merekah di wajah cantiknya dan kalimat singkat, “Oh, kau yang semalam? Maaf soal kejadian itu.” Tidak ada yang perlu dimaafkan soal kecelakaan kecil yang kusengaja.
Dan, yeah, aku memasukinya, kehidupan Upper East Side yang pada awalnya begitu mengintimidasi dan membuatku terhina. Aku sangat tergoda untuk mencicipi kehidupannya, larut dalam drama dan sandiwaranya, hingga pada akhirnya kusadari bahwa segalanya hanya membuatku menggila.
"You've always wanted in. Maybe more than Jenny." Vanessa mengatakannya secara gamblang tentang betapa aku sangat ingin menjadi bagian dari Upper East Side, lebih dari adikku Jenny the Queen Bee Wanna Be. Akhirnya kami menjadi bagian dari kehidupan elit Manhattan saat Rufus, ayah kami – rocker tahun sembilan puluhan, yang tak dilupakan, tapi jarang diingat pecinta musik – menikahi Lily van der Woodsen.
Terintimidasi dan terhina saat bertemu Chuck Bass dan Nate Archibald dalam perjalanan sekolah. Aku bahkan menerima pertanyaan yang melukai perasaan sensitifku. Aku masih ingat bagaimana mulut pada wajah pongah itu berkata, “Are you following us or something?” Oh c’mon, Bass! Kita punya seragam yang sama dan sekolah di tempat yang sama: St. Jude. Bedanya, ayah kayamu membayarnya, sedangkan aku hanya penerima beasiswa.
Tergoda untuk mencicipi kehidupannya, saat si bocah kesepian bisa mengencani ratu remaja Manhattan―Serena, meniduri guru seksi Constance Billard―Rachel Carr, pada akhirnya mengubah persahabatan menjadi hubungan romantis dengan Vanessa Abrams. Tak percaya, tapi… yeah, bahkan Georgina Sparks pun menjadi salah satunya, tepat sebelum Hollywood Star, Olivia Burke, masuk daftar gadisku. Hal yang nyaris tak mungkin karena aku sadar, Blair adalah salah satu alasan kenapa aku membenci Upper East Side. Entahlah bersama Blair aku memiliki chemistry kuat yang tak pernah kusadari. Blair yang menjadi akhir bahagiaku di dalam dunia fantasiku.
Larut dalam drama dan sandiwaranya, adalah salah satu episode terbaik sekaligus terburuk. Aku mendapat kejutan dari Georgina yang kembali dengan begitu tiba-tiba, membawa perut buncitnya, dan menunjukkan foto bayi di rahimnya. “Selamat. Kau akan jadi ayah! Tidakkah dia begitu mirip denganmu?” seruan itu mengubah diriku. Dan, 7 Juli 2010, aku menjadi ayah bagi babyMilo. Seharusnya aku mempercayai kata-kata Vanessa tentang Georgina: “You can't trust one thing that comes out of her mouth!”. Tak masalah sebenarnya. Walau baby Milo tak memiliki DNAku, setidaknya dia memiliki namaku di akta kelahirannya. Really miss you, son.
Hingga… pada akhirnya kusadari bahwa segalanya hanya membuatku menggila. Esok pagi aku akan menikahi Serena… dan semoga aku tak menyesalinya.
***
Dalam gaun mewah Georges Chakra, Serena secantik yang kuingat. Dia seperti dewi dengan cahaya keemasan, selalu menampilkan kemilau kecantikan dan keglamoran dalam waktu bersamaan. Serena membuatku jatuh cinta dan terintimidasi. Tahukah kau rasanya? Seperti kesakitan yang dibalut kenikmatan. Rasa yang terlalu akrab dengan para makhluk elit Manhattan.
“I do.” Hanya kalimat itu dan segalanya berubah, setelah dilengkapi oleh sebuah ciuman, yang entah kesekian kali kucicipi dari bibir beraroma mawarnya.
“Boleh kudengar lagi sumpahmu?” Serena berbisik di telingaku dan tawa seraknya menggoda inderaku. Aku memejamkan mata dan berharap aku tak mengatakan sumpah yang kutahu tak mungkin kutepati.
“Aku bersumpah bahwa kau adalah satu-satunya wanita yang menjadi sumber inspirasiku,” jawabku dalam nada rendah seperti bisikan. Tapi, aku tak yakin bahwa kau adalah satu-satunya wanita yang sangat kucintai. Seandainya bisa mengucapkan kalimat ini tak hanya di dalam hati.
Aku ingin semua orang tahu, bahwa wanita lain itu adalah wanita yang kini tengah menatapku dengan senyum dalam pelukan Chuck Bass. Wanita yang tengah mendapat kecupan hangat dari si kecil Henry, puteranya. Yeah, Blair. Aku tahu dia pernah, masih, dan selalu mencintaiku, walaupun kami menyadari tetap ada Chuck di sana. Blair sendiri tak bisa mengingkari bahwa ada ruang khusus bagi diriku di hatinya, seperti dia dan Serena berbagi tempat di hatiku.
Aku menggengam jemari Serena yang hangat, memberinya sebuah kecupan singkat, menatapnya, dan aku tahu bahwa aku tak terlihat bahagia dalam lensa bening matanya. Semuanya terasa datar dan membuatku merana. Ini memang sebuah perayaan, walau aku tak tahu tujuannya apa. Apa yang diikatkan dalam upacara ini? Sebuah hubungan? Komitmen? Sebuah hubungan kadang tak lebih dari sebuah bisnis. Dan, kadang cinta bukan menjadi bagian terpentingnya. Cinta hanya sebagai bonusnya. Mungkin aku jatuh cinta pada Serena, tapi setelah berjalan begitu lama, kusadari Serena hanya seperti obsesi yang menjadi nyata.
Dentingan gelas kristal yang beradu beradu seolah menyadarkanku. Tawa dan pesta mengalun bersama musik yang membuat siapa pun ingin berdansa, kecuali diriku. Aku hanya ingin pergi dari tempat ini segera. Aku tak sanggup menipu Serena, menipu mereka semua, terlebih lagi aku tak sanggup menipu diriku lebih lama. Aku muak dengan diri dan segala keinginanku. Memang benar, keinginan adalah sumber penderitaan. Aku menyerah. Aku harus menghapus rencana terbang ke Bora-bora. Aku harus menghapus masa depan cerah yang kususun bersama Serena.
***
“Bagaimana jika kita membatalkannya?” tanyaku.
Serena menatapku tak percaya. Aku baru saja menolak sebuah ciuman darinya.
“Aku tak pernah mendengar lelucon dari bibirmu.” Serena menggeleng. “Ini sama sekali tidak lucu, Dan.” Serena masih bergaun pengantin, hanya rambutnya yang tergerai. Serena tak menyerah, dia mencoba memberiku sebuah ciuman. Tak kubalas. Kupikir dia menyadarinya. Dia bertanya, “Kenapa?”
Serena takkan menangis. Dia bukan tipe gadis yang dengan mudah mau merusak maskaranya. “Lima tahun pertunangan panjang kupikir kita… Apakah sekarang kau baru berubah pikiran?” Serena menggeleng. “Oh, Dan!” Serena tak percaya.
“Aku mencintaimu. Sungguh!” aku meyakinkannya. “Hanya saja masalahnya… bagaimana jika cintaku tak seperti cintamu?” Ini bukan pertanyaan ini pernyataan. “Semuanya berbeda Serena, tak seperti pada awalnya. Aku pun tak mengerti mengapa bisa berubah. Akan lebih masuk akal jika kau adalah gadis yang masih menjadi mimpiku, setelah menjadi kenyataan gadis itu tak lagi sama seperti gadis yang kuingat dulu. Segalanya hilang begitu saja, Serena.”
Aku mengusap wajahku dan merasakan penyesalan terdalam yang bisa kurasakan. “Manhattan, tempat segalanya bisa menjadi mungkin. Tempat si pelayan kotor menjadi kekasih sang senator, tempat seseorang mau mengantri berjam-jam demi beberapa keping Macaroons, tempat Spider Man mengalahkan Sand Man, tempat si bocah kesepian mewujudkan cintanya pada gadis yang dia pikir tak bisa di milikinya. Itulah kita, Serena. Tidakkah kau menyadari bahwa mimpi yang menjadi kenyataan bisa begitu mengerikan?” Aku mencoba bicara dengan kata-kata sederhana, tapi aku tahu, Serena takkan mudah mencerna, apalagi mau menerimanya. “Aku lelah dengan drama dan kehidupan Manhattan. Semua ini tak nyata, semua ini hanya seperti sandiwara. Ini bukan aku. Dan, ini bukan kehidupan yang seharusnya kujalani. Kau dan Prada, sementara aku dan Jean Paul Sartre. Ini tak mudah. Kita seperti menikmati Triple Peppermint Sundae, lalu tiba-tiba dipaksa untuk menelan Coffee Banana Split.”
“Apa yang harus aku lakukan agar kita bisa terus bersama?” Kini Serena yang terlihat putus asa. Dia memelukku seakan tak ingin melepaskanku.
Aku melepaskan pelukannya dan memegang erat bahunya, menatapnya dalam, lalu mengatakan hal yang pasti takkan diyakininya.
“Jika kau mencintaiku dan meyakini bahwa kisah kita adalah mimpi yang menjadi kenyataan indah, maukah kau meninggalkan New York City dan menjadi relawan bersamaku ke Haiti?”
Serena memandangku dengan menyesal, mengecup pipiku dan mengucapkan, “Good bye, Dan.”
gambar: klik di sini
0 comments