Cerpen : Saigo No Momiji (Last Maple Leaves)




Kaeru no ko wa kaeru.” Seru ibuku pada saat menatap wajah cowok seumuranku, yang baru saja membungkuk memberinya salam. Aku hampir tertawa saat wajah pemuda itu menahan cemberutnya dengan sekuat tenaga dan dia gagal, kekesalan tergambar di wajahnya yang… boleh kubilang dia mirip dengan cowok impian sering ada dalam khayalan? Ooops!
It means, like father like son” sambil menahan tawa kukatakan maksud ibuku padanya, sekarang wajahnya memerah, aku yakin dia mengartikan apa yang dikatakan ibuku secara mentah, dia pasti mengartikannya sebagai anak kodok adalah seekor kodok, maksud ibuku adalah, betapa dia sangat mirip dengan ayahnya.
Ibu segera menarik tanganku ke dapur, ibu tahu bahwa sebentar lagi tawaku akan pecah, yang itu berarti akan membuat ayahku kehilangan muka di depan atasannya, tuan Nagasawa Kenta, malam ini ayahku mengundang beliau dan cucunya makan malam di rumah kami.
“Kenapa wajahmu memerah?” Ibu bertanya penuh selidik padaku.
“Aku hanya menahan tawa.” ya ampun kupikir ibu mengetahuinya!
“Itu bukan wajah yang menahan tawa!” ibu menghakimiku seakan aku seorang pembohong, aku menepuk kedua pipiku dan mengusapnya, demi apapun juga aku bahkan tak memakai blush on.
Ibu melipat kedua tangan di dadanya, menatapku dari atas ke bawah, dia sedang menilai penampilanku. “Kau tahu, ibu benci gaya berbusanamu!”
“Ini disebut fashion bu!” protesku manja dalam nada sedikit merajuk “Sweet Lolita!” aku memperjelas aliran fashionku. “Aku berputar dengan anggun dan tersenyum pada ibu sambil memamerkan pink bunny coat-ku yang super kawaii, melangkahkan kakiku ke kiri dan  ke kanan seperti sedang menari dengan maksud untuk memamerkan twin bow bootku yang menyempurnakan penampilanku!
“Dengan penampilan seperti itu, kamu takkan bisa membuat Nagasawa Mamoru tertarik padamu, Keiko!” aku harap suara ibu tak terdengar sekeras itu, aku sungguh malu dibuatnya, tapi tak masalah toh Mamoru tak paham apa yang kami bicarakan. Dia baru beberapa hari di Tokyo dan hanya sedikit bisa berbahasa Jepang, dia lahir dan besar di Bali, ibunya seorang Warga Negara Indonesia dan ayahnya memiliki hotel di daerah Kuta, itulah kenapa dia lebih fasih berbahasa Inggris dan Indonesia, oh Tuhan, dia sungguh membuat leluhurnya malu. “dan hey! Sejak kapan kau melanggar aturan memakai sepatu di dalam rumah?” omel ibu lagi, kemudian dia menghela nafas dan menatapku dengan tatapan menggoda “Ibu tahu wajahmu memerah karena kau jatuh cinta padanya, kan?” aku tak ingin mendengar tuduhan ibu yang sangat indah itu.
Aku tersenyum dan terkikik “Ooooh….sutekirma-hito…”kataku pada diri sendiri sambil membayangkan wajah tampan Mamoru yang baru kulihat beberapa menit lalu, sejak saat itu aku memutuskan untuk percaya pada cinta pada pandangan pertama, sejak saat itu aku memutuskan untuk memilih dia sebagai cinta pertamaku. “Oooooh betapa manisnya!” seruku lagi, ibu menggeleng-geleng.
“Mamoru masih berduka sejak kematian orang tuanya karena kecelakaan, Ayah dan ibu harap kamu bisa membantunya untuk tersenyum kembali.” Setelah itu ibu berlalu, meninggalkan aku yang terpaku.

***
“Honto? Uso ja nai?”aku bertanya lagi untuk memastikan. Aku menguap dan mengucek-ucek mata, aku baru saja bangun dan berharap apa yang ibu katakan bukanlah bagian dari mimpiku semalam yang tertinggal. Ibu menyingkap gorden dan hangat matahari menyentuh kulitku, aku tahu ini adalah realita nyata.
Haiya” jawab ibuku dengan senyum mengembang di wajahnya, ibu baru saja memberitahuku bahwa sebenarnya tuan Nagasawa Kenta ingin menjodohkan cucunya denganku.
“Aku sih tidak keberatan, bagaimana dengan Mamoru?” aku cemberut membayangkan seandainya Mamoru menolak perjodohan ini.
“Kau sangat manis Aikawa Keiko! Tidak ada yang tidak menyukaimu! Kau mewarisi wajah ibu.” Aku memutar bola mataku, tapi itu memang benar.” Lagipula Mamoru tidak mungkin menolak perjodohan ini, hanya tuan Kenta yang masih dia miliki di dunia.” Ibu menghela nafas “ Akusai wa hyaku-nen no fusaku” kata ibuku lebih pada dirinya sendiri, maksudnya adalah seorang istri yang buruk adalah kehancuran bagi suaminya. “Tuan Nagasawa masih menyesali putranya yang telah tiada dan menganggap bahwa menantunyalah yang menyebabkan tragedi ini, Akira Nagasawa adalah sahabat ibu dan ayah, dia jatuh cinta setengah mati pada gadis yang bernama Ayu, menikahinya dan tak pernah pulang hingga …haaaah… “ ibu menghela nafas “setidaknya sekarang beliau bersama cucunya.”
Aku mengangguk-angguk mencoba memahaminya. Ibu memegang bahuku dan menatap dalam pada mataku. “Jadilah calon menantu yang baik untuk keluarga Nagasawa.”
Hai” jawabku penuh keyakinan.
Aku jatuh cinta dengan ide tentang perjodohan ini, aku dan Mamoru akan jadi pasangan sempurna di masa depan. Aku sungguh bahagia saat ibuku mengatakan bahwa justru tuan Nagasawa-lah yang memohon untuk menjadikan aku menantu. Baiklah usiaku memang 16 tahun, tapi bukan berarti kami harus menikah besok pagi, mungkin lima atau enam tahun lagi.
***

Doki doki shichatta yo.” Kataku pada Hana, dia sahabat dan teman sekelasku.
Hana tertawa. “Itu artinya, kau sungguh-sungguh jatuh cinta padanya, seperti apa dia?”
“Nagasawa Mamoru” aku menyebut namanya dengan lembut, bahkan dengan menyebut namanya sudah membuatku bahagia, melafalkan nama itu membuat lidahku serasa mengecap Apollo, permen cokelat dengan rasa Strawberrysangat manis. “Dia memiliki kulit putih kekuningan yang cerah, dia seperti matahari bagiku, matanya besar, sangat hitam dan tajam, dia tinggi sekali, seandainya dia memelukku, kupikir telingaku bisa menempel di dadanya dan mendengar detak jantungnya, Hana aku sungguh-sungguh menyukainya.” Aku memekik, tapi kemudian nada suaraku berubah pelan dan muram. “Karena dia hanya separuh Jepang, aku masih kesulitan berbicara dan menyamakan kebiasaan kita, dan coba tebak, sepulang sekolah nanti aku ada kencan dengannya.” Wajahku pasti terlihat berseri-seri, dan aku tahu Hana pasti iri setengah mati.
“Oh…beruntungnya kau!” Hana cemberut.
“Kau juga beruntung” kataku lagi sambil memberinya sekotak Pocky, pretzel bersalut cokelat kesukaannya.
“Oh…kau merusak dietku!” aku tertawa, sungguh khas Hana, dia selalu tergoda makanan manis dan selalu ingin diet, padahal badannya juga tidaklah gendut, kupikir dia hanya ingin seperti gadis-gadis dalam majalah Popteen.
***
Kami bertemu di Häagen-Dazs’ Café Aoyama, aku melihatnya duduk sambil membaca majalah Cool Trans. Dia tersenyum dan mempersilahkanku duduk. “Kenapa semua cowok Jepang sangat fashionable? Aku merasa sangat …I guess you know what I mean” dia menutup majalah fashion untuk cowok itu, sepertinya dia merendah, dia terlihat tampan, dengan t-shirt putih dengan gambar burung Garuda besar warna-warni yang disertai tulisan Patriotsm Never Looked This Good. Aku tahu sebagian dari dirinya masih tertinggal di Indonesia.
Aku hanya tertawa karena tak tahu harus menjawab apa, jadi kukatakan saja “Maaf terlambat” kataku malu sekali.
“Setidaknya aku berusaha tepat waktu, agar aku tahu bahwa darah Jepang tetap mengalir dalam diriku.” Seperti sebuah candaan, dan aku tertawa, dia berusaha membuatku rileks dan merasa nyaman.
“Aku berusaha…” katanya, antara yakin dan tak yakin. “Kamu sangat baik, menjadi orang pertama yang kutemui di sini dan mau membuka hati” dia diam sesaat lalu bicara lagi.” Selama ini aku selalu merasa asing dengan diriku, kadang aku merasa bukan orang Indonesia dan juga tak menganggap diriku seseorang dengan darah Jepang, aku bingung dengan siapa sebenarnya aku, tapi dengan ada dirimu membuatku memahami keyakinan baru akan siapa aku, aku bersyukur dengan dua darah yang mengalir dalam diriku, Arigatou Keiko Chan” Dia membungkuk.
Dou itashimashite” balasku.
Tak lama pelayan datang membawakan ice creamyang telah dipesan oleh Mamoru sebelumnya, aku tersenyum dan memahaminya.
Mango Salmon Sushi, Strawberry Gunkan, Raspberry Kani Sushi and Kiwi Gunkan, silahkan Keiko Chan, setidaknya, Sushi yang ini cocok dengan lidahku, itadakimasu!”ucapnya bersemangat.
Lalu setelahnya kami berjalan menuju Yoyogi Park, duduk dibangku taman, dan cerita cinta kami di mulai dari sini, saat kalimat panjang dan manis terucap dari bibirnya.
“Aku merasa tenang dan damai, kau tahu tak mudah untukku menghadapi semuanya, kematian orang tuaku, bertemu kakek yang nyaris tak kukenal sebelumnya, berada di tempat asing bagiku, tempat yang ingin dilupakan ayahku, terlalu banyak hal berat yang harus kuhadapi seorang diri, tapi entahlah setelah bertemu denganmu aku merasa tenang dan damai, seakan himpitan beban itu tak pernah ada, seakan aku dan kamu telah saling mengenal begitu lama. Aku tak percaya, gadis yang kutemui minggu lalu adalah orang yang membuatku merasakan hal yang kupikir takkan kurasakan, kamu membuatku jatuh cinta, kore wa hitomeboredeshita.”
Aku masih ingat hari itu, udara terasa sangat sejuk dan segalanya menjadi cerah, dan seperti mantra magis saat telingaku mendengarnya mengatakan …
Tsukiatte kudasai yo!” tak ada jawaban yang perlu kuucapkan, karena sebuah ciuman mampu memberitahunya banyak hal tentang perasaan yang terlalu indah untuk diucapkan dengan kata-kata.
               
***
Kisah cinta kami sangat hebat dan nyaris tanpa rintangan. Aku harap kisah kami akan seperti pasangan-pasangan sempurna yang menjalani kisah cinta indah dan bahagia selama-lamanya. Aku percaya dan sudah tahu itu bahkan sejak pertama kali bertemu, karena aku telah membaca tanda-tanda yang mengirimkan informasi manis itu ke dalam hatiku.
Seperti saat, pertama kali menatapnya dan langsung jatuh cinta. Saat kami hanya terdiam dan membiarkan kaki-kaki kami hangat di bawah kotatsu sambil menyesap ochasaat hari begitu dingin. Saat menatapnya bergelung di dalam futon, terlelap dalam damaidi kemudian hari akulah orang pertama yang selalu di setiap pagi saat dia membuka mata. Saat Mamoru memeluk untuk melindungiku di dalam kereta yang penuh sesak.
Saat kami menikmati menjadi pasangan Zombie di malam Hallowen, saat kami merayakan natal romantis dengan banyak kado mungil darinya untukku. Saat kami berciuman di bawah cahaya kembang api di malam tahun baru. Saat kami merayakan ulang tahunku dan Valentine yang tak kulupakan di Wine & Jazz Pannonica, musik jazz dan cocktail lezat, sungguh sempurna.
Hingga saat Mamoru menggodaku dengan setumpuk Marshmallow, pada saat White Day, kupikir aku sungguh sial, tapi kado sebenarnya untukku adalah liburan ke Bali, ini adalah kado terbaikatau mungkin juga terburuk.
***
Ada banyak sinar matahari, ada debur ombak yang seperi memainkan musik alam, pasir yang cantik dan ciuman saat matahari terbenam, semuanya nyaris sempurna, hingga keesokan harinya. Liburan yang pada awalnya kupikir sangat romantis ini, berubah menjadi mimpi buruk, ketika seorang gadis seperti muncul begitu saja dari tengah lautan, dengan badan tinggi menjulang, kulit cokelat keemasan yang hampir polos, hanya ditutupi bikini berwarna Aquamarine, aku menatap diriku yang terlihat begitu kecil dan rapuh pakaian renang hitam putih yang terkesan begitu konvensional. Hatiku terasa terbakar, saat Mamoru bangkit dari sisiku menyongsong si gadis yang langsung memeluknya dan mencium pipinya. Seperti film yang diputar begitu cepat, semua berubah begitu saja, dan duniaku tak lagi seperti semula.
“Arianna Papadopoulou.” Suara yang berat tiba-tiba terdengar oleh telingaku “nama gadis itu, baru tiba pagi tadi dari Greece, putri pemilik Bar and Lounge yang berada di ujung sana “Seorang pria tinggi berkulit kecokelatan menghampiriku, duduk di sampingku, melepas kacamata hitamnya dan berbisik di telingaku, menyebutkan namanya. “Rio” aku menjabat tangan yang diulurkannya.
“Keiko”
“Ah…Keiko-San” dia tertawa kecil “Kerabat dari Mamoru?”
“Bagaimana kau tahu Mamoru?” pertanyaan bodoh, dan hey aku bukan kerabatnya, aku ingin mengatakan bahwa aku tunangannya, tapi entah kenapa bibirku seperti terkunci, ada rasa yang tak bisa kujelaskan saat mataku tak bisa lepas dari sosok Mamoru dan gadis cantik bernama Arianna yang sedang bicara dan tertawa dengan begitu akrabnya. Arianna bahkan memeluk pinggang Mamoru, tak ingatkah Mamoru bahwa aku masih berada di sini?
“Aku mengenal hampir semua orang di sini” dia tertawa seakan ini adalah sebuah lelucon. “Boleh aku bertanya?”
Aku mengangguk padahal seharusnya aku menggeleng.
Why is everything cute in Japan?” Cowok dengan wajah yang menurutku manis dengan penampilan begitu Macho itu mencium tanganku yang sedari tadi tak dilepasnya. Aku ingin menarik tanganku dan menamparnya, tapi …entah bagaimana tatapan matanya seperti menghipnotisku dan kupikir aku bisa saja menangis dan minta pulang ke Tokyo, saat melihat jauh di depan sana Arianna sedang mencium Mamoru yang tak menolak, aku dengan mudah menyimpulkan ada apa di antara mereka.
Jadi ketika sebuah pertanyaan keluar dari bibir manis Rio, aku mengangguk dan mengikutinya menuju mobil, dan kami berkeliling Bali tanpa tujuan, di sepanjang perjalanan aku bahkan tak bicara, ingin menangis namun tak bisa, aku sungguh-sungguh membuatnya kesal.
Hey dear, I need summer romance!” Rio berkata dalam nada marah, harusnya dia tahu, dia salah orang.
“Boleh aku minta kembali, sekarang?” aku tak menyadari hari ternyata sudah gelap, aku ingin kembali ke hotel, mengumpulkan barang-barangku dan kembali ke Tokyo secepat mungkin, menangis pada ibuku dan mencoba memperbaiki hatiku yang mungkin tak bisa utuh lagi.
***
Begitu mobil tiba di parkiran, Mamoru membuka pintu mobil dengan kasar dan menarikku keluar. Rio juga keluar dan menghampiri kami, meninju keras ke arah wajah Mamoru yang tak menduga, bicara keras dengan kata-kata yang tak kupahami, masuk mobil dan pergi. Aku tak berani menatap wajah Mamoru, ada kemarahan, ada kekhawatiran tapi lebih dari segalanya aku begitu ketakutan jika harus memperlihatkan air mataku padanya. Aku tak ingin menangis.
“Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?” Mamoru berteriak padaku, ini kali pertama dia bertindak kasar, namun ini tak terlalu menyakitkan jika dibandingkan dengan adegan memuakan antara dia dan Arianna yang terus menerus berputar di otakku.
“Aku ingin pulang, sekarang!” dan tangisanku pecah! Aku menggigil dan ketakutan bahkan saat Mamoru memelukku dengan begitu erat, aku tak berhenti gemetar.
Sesudahnya semua tak lagi sama, kami bahkan tak lagi bicara, kami hanya seperti dua orang asing yang dipaksa untuk bersama. Sampai di Tokyo kami berpisah, tak lagi berjumpa dan aku hanya bisa menangis saat tuan Nagasawa, di depan kedua orang tuaku berkata “Aku sungguh menyesal, tapi kesedihan ini bukan hanya milikmu, dan kau harus tahu bahwa ada sakit yang harus di rasakan hatimu, agar hatimu terlatih untuk kuat di waktu lainnya nanti.” Pria tua itu pergi dengan mata yang juga basah karena air mata.
oOo Enam bulan kemudian oOo
Hi…” sapaan itu seakan meruntuhkan duniaku, karena berasal dari bibir gadis yang seharusnya tak mungkin berada di kamarku, dan aku lebih terkejut saat melihat cowok bernama Rio membalikkan badannya dan mengucapkan “Genki desu ka?”
Dengan terbata aku menjawab “Okage samade genki desu.” Aku berdusta.
Gadis yang bernama Arianna menghampiriku dan menuntunku untuk duduk di tempat tidurku. Dengan kaku dia bicara “Gomen nasaiI’m sorry.”
Ada jutaan pertanyaan yang berteriak di dalam kepalaku, tapi mungkin kedua orang ini akan memberikannya padaku. Setelah jeda panjang tak menyenangkan, dan air mata Arianna mengalir di wajah cantiknya, segalanya sungguh membuatku tak mengerti.
“Apa hatimu sudah sembuh?” Rio bertanya padaku dalam suara rendah yang tak sesuai dengan penampilannya.
“Bisa dikatakan hatiku mati rasa, aku merasa dipermainkan, diterbangkan setinggi awan lalu dihempaskan begitu saja ke tanah. Katakan padaku permainan apa yang sedang kalian mainkan?” aku marah dan kebingungan.
“Hanya drama yang diinginkan Mamoru untuk menyelamatkan hatimu.” Jawab Arianna dan dia menyerahkan kotak dengan tulisan “My Favorite Things” di atasnya. “Mamoru adalah sahabatku sejak kecil, dan Rio adalah pacarku, dia bekerja untuk Mamoru sebagai Hotel Marketing Excecutive, kami pikir kau akan curiga dengan mudah, sama sekali tak menduga betapa polosnya kamu. Kami memang keterlaluan dan maafpun takkan pernah cukup, tapi yang harus kamu tahu, Mamoru hanya tak ingin kamu melihatnya menderita melawan Leukemia, dan …” Arianna menghela nafasnya. “Dia idiot dan begitulah dia, itu karena dia begitu mencintaimu.” Ada ketidakpercayaan dalam nada suara Arianna.
Aku tak ingin menatap, baik Arianna maupun Rio, aku hanya terus menatap jendela yang memperlihatkan daun-daun Momiji yang berwarna merah dan oranye, berguguran terbawa angin dan akhirnya pasti akan berserakan di tanah, daun-daun itu seperti serpihan hatiku sekarang ini. Aku menangis walau aku telah berjanji untuk takkan pernah menangis lagi, tepat di hari terakhir aku melihat tuan Nagasawa menghilang di balik pintu rumahku.
Angin dingin dan kering seakan menyelimutiku, akupun membiarkan air mataku tertumpah dan juga melampiaskan marah pada diriku yang begitu naïf, tak menyadari adanya kemungkinan lain, seperti kemungkinan yang terjadi sekarang ini. Dengan tangan gemetar aku membuka penutup pada kotak yang memperlihatkan foto-foto kebersamaan kami,tiket, kartu ucapan, bunga kering, permen, coklelat, boneka mungil, juga ada kantung serut berwarna emas yang berisi, serbuk…oh tidak! Debu, air mataku menderas.
“Tuan Nagasawa ingin kau menyimpan sebagian diri Mamoru.” Bisik Rio, aku melihat Arianna yang sudah tak kuasa menahan isaknya. Aku mencoba menguatkan diriku, dengan meletakkan kotak itu di tempat tidur dan mengambil sebuah surat dalam amplop merah tua, membukanya dan melihat tulisan tangan miliknya.
Dear, Keiko-Chan…
Namamu berarti terberkati, beruntung, bahagia, dan harusnya selamanya seperti itu. Jika disaat terburukku aku memaksamu untuk terus bersamaku, itu sama seperti mendustai namamu. Aku takkan pernah membiarkanmu menderita, walau cara yang kupilih memang menyakitkan tapi inilah cara terbaik agar aku tak terlalu merasa bersalah, aku seperti menipumu saat membiarkanmu jatuh cinta padaku.
Ketika kamu mencintaiku dengan begitu kuatnya, aku sangat ketakutan dibuatnya. Karena aku menyadari aku tak bisa mencintaimu selama yang aku mau, karena waktuku tak sebanyak waktumu.
Mamoru
“Dia sangat menyayangimu, Keiko-Chan” Arianna berkata dengan serak, dan aku membiarkan diriku dipeluk olehnya, aku kehilangan lelaki yang paling kucintai dan dia kehilangan sahabat yang paling dikasihinya sudah seharusnya kami saling menguatkan. Dan kehangatan menyelimutiku tiba-tiba saat Mamorusang Pelindungku, seperti arti dari namanya menggenggam tanganku, dia tersenyum dan berbisik di telingaku “Aku tak pernah meninggalkanmu, aku selalu bersamamu, di hatimu.” Senyumnya seperti yang selalu kuingat dan untuk sesaat aku membiarkan mataku terpejam agar aku bisa menghentikan air mataku, aku tahu ada rasa yang menenangkan dalam hatiku, dan saat kubuka mata, Mamoru telah menghilang bersama udara.

Istilah dan terjemahan:
Kaeru no ko wa kaeru                : Anak lelaki yang serupa dengan ayahnya. (Quote)
Kawaii                                     : Imut, cakep
Sutekirma-hito                          : Cakep banget (slang)
Honto? Uso ja nai?                             : Benarkah? Tidak bohong, kan?
Hai                                          : Iya
Akusai wa hyaku-nen no fusaku : Istri yang tak baik akan menghancurkan suaminya
Doki doki shichatta yo               : Aku deg degan nih
Arigatou                                   : Terima kasih
Dou itashimashite                     : Sama-sama
Kore wa hitomeboredeshita         : Ini adalah cinta pada pandangan pertama
Tsukiatte kudasai yo!                : Pacaran yuk!
Kotatsu                                    : Meja Pemanas
Ocha                                        : The Jepang
Futon                                        : Kasur ala Jepang
Genki desu ka?                          : Apa kabar?
Okage samade genki desu           : Aku baik-baik saja
Momiji                                     : Pohon Mapel Jepang

 Sumber gambar: klik di sini

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top