Susu Kaleng

                “Muka kamu kok layu banget? Kamu belum sarapan?”
                “Belum, sih, maklum anak kosan. Sarapan dan makan siang digabung jadi satu.”
                Dian merogoh tasnya dan segera menggenggam susu kaleng, “Ini buat kamu. Diminum, ya, supaya muka kamu nggak layu kalau di kelas.”
                “Terima kasih, Dian.”
                “Tapi, maaf, ya, kalau rasa stroberi. Kamu lebih suka rasa coklat kan?”
                “Wah, kalau begitu mulai sekarang aku suka yang rasa stroberi saja.” ucap Reksa sambil menatap bola mata Dian.
                Tatapan mereka sering bertemu, walaupun terasa menggetarkan hati, tapi Dian dan Reksa mencoba melawan perasaan itu. Mereka sangat yakin bahwa segalanya hanya berdasarkan pertemanan. Mereka terus melawan dan memercayai anggapan bahwa tak pernah ada cinta di antara mereka. Memendam. Itulah hal yang selalu Dian dan Reksa lakukan selama ini. Pengetahuan mereka sebatas status berteman tanpa melanjutkan ke status yang lebih serius.
                “Ada puisi baru?”
                “Ada, tapi masih bingung ingin diberi judul apa.”
                “Puisinya tentang apa?”
                “Tentang kerinduan.”
                Dian mendekatkan posisi duduknya, “Kerinduan? Tema yang manis dan hangat, berapa menit kamu bikinnya? Lima belas menit?”
                “Lima belas menit hanya cukup untuk membuat mie instan, Dian.”
                “Segalanya selalu mungkin, Reksa. Kamu pernah bilang ke aku, hal yang tak mungkin hanya memakan kepala sendiri kan?”
                “Aku pernah bilang seperti itu?” kening Reksa mengkerut, otaknya kembali memutar memori masa lalu.
                Aku tak pernah melupakan setiap perkataanmu. Bisik Dian dalam hati. Bisikan yang tak pernah Reksa ketahui, suara hati yang sengaja disembunyikan rapat-rapat.
                “Coba kamu baca dulu puisiku, setelah itu kamu beri judul yang menarik.” Reksa memberikan secarik kertas untuk Dian, berisi puisi yang Reksa buat. Tangan Reksa erat menggenggam susu kaleng, ia meneguk susu kaleng pemberian Dian dengan perasaan yang masih ia sembunyikan. Cintakah?
                Wanita yang masih sibuk menyembunyikan perasaan harunya terus membaca puisi Reksa dalam hati, “Tumben, puisimu yang kali ini maknanya sangat mendalam.”
                “Jadi, sudah kaudapatkan judulnya?”
                “Rindu tak pernah cukup. Beri saja judul itu.”
                “Kenapa judulnya sedih begitu?”
                “Itu tidak sedih. Rindu sama seperti cinta— tak berkesudahan.”
                Reksa mengangguk setuju. Ia terus menggenggam susu kaleng yang Dian berikan untuknya. Bola mata mereka kembali bertemu. Sangat lama.
                Dua orang yang hatinya mulai berdekatan ini tak tahu harus berbuat apa. Mereka cuma tahu; beberapa hal hanya perlu dijalani dan dirasakan, tanpa perlu diungkapkan.
***
                Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Dian sengaja datang lebih pagi agar bertemu Reksa, begitu juga dengan Reksa yang sengaja melajukan sepeda motornya lebih cepat agar segera menemui Dian. Segalanya terjadi begitu saja, tak ada dorongan apapun selain kenyamanan dan keinginan untuk terus bersama.
                Dian sudah menunggu selama lima menit, kelas masih begitu sepi tanpa kehadiran Reksa. Jemari Dian menggenggam susu kaleng. Ketika terdengar suara pintu terbuka, Dian langsung menoleh. Reksa menghela napas lega ketika menatap Dian yang menunggu dengan wajah masam.
                “Maaf, tadi aku mengantar temanku sebentar.”
                Senyum Dian dipaksakan mengembang, “Untuk apa minta maaf, kita tak pernah berjanji kan?”
                “Aku tetap merasa tidak enak kalau membuat seseorang menunggu.”
                “Bukan seberapa lama aku menunggu, yang penting kaudatang dan aku bisa memberikan susu kaleng ini untukmu.”
    “Lain kali aku tidak akan datang telat.”
    “Jangan berjanji, aku takut kautak bisa menepati janjimu sendiri.” ungkap Dian dengan nada
menyedihkan. Ia seakan tahu yang akan terjadi selanjutnya. “Memangnya, kamu tadi mengantar siapa?”
                “Aku mengantar Sora.”
                Reksa berbohong. Ia sudah bangun sejak subuh, pagi ini ia ingin menyatakan perasaannya pada Dian. Reksa ingin menjadikan Dian seseorang yang memiliki posisi lebih dari teman di dalam hatinya. Sejak subuh tadi, ia memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan. Matanya yang berat dan kantuk mata yang tebal adalah bukti bahwa ia hanya tidur sesaat.
                Mendengar kebohongan Reksa yang kebenarannya tak diketahui Dian, ia langsung terdiam. Ia cemburu.
                “Nampaknya, Sora begitu penting buatmu, ya?”
                Tak sempat Reksa menjelaskan segalanya, ponsel Dian berbunyi.
                “Halo.”
                “Halo, Dian. Kamu sudah di kampus, ya?”
                “Iya, ada apa, Jude?”
                “Aku tadi ingin mengantarmu ke kampus, tapi ternyata kamu sudah berangkat duluan. Bagaimana kalau seusai pulang kampus, aku menjemputmu?”
                Mendengar ajakan yang memuakan— Dian langsung memutuskan pembicaraan.
                “Kok, ditutup?” seloroh Reksa dengan tatapan menyelidik, “Siapa? Jude?”
                Anggukan kepala Dian melemah.
                “Kenapa tidak mau dijemput dan diantar oleh pria bermobil mewah itu, Dian?”
                “Aku datang lebih pagi agar bisa memberi susu kaleng ini untukmu, aku tahu kamu pasti tak sarapan. Aku tak ingin melihatmu lesu saat pelajaran.”
                “Hanya untuk memberikan susu kaleng ini untukku?”
                Sebenarnya lebih dari itu! Ungkap Dian dalam hati, tapi ia tak boleh mengatakan perasaann sesungguhnya, “Iya, hanya untuk mengantarkan susu kaleng ini, tak lebih.”
                Dian berbohong, ia mendustai hatinya sendiri.
                Gantian Reksa yang terdiam sangat lama. Puisi yang sudah ia kantongi di sakunya tak jadi ia berikan untuk Dian. Ia menatap Dian dengan tatapan seakan tak memercayai perkataan Dian.
                Wajah Reksa merah padam, kemarahan memuncak. Kenapa ia harus marah? Sungguh, Reksa bahkan tak mampu memahami perasaannya sendiri.
                Ia menyambar susu kaleng pemberian Dian dan meninggalkan Dian sendirian.
                Dian membuat hujan di pelupuk matanya sendiri.
***
                Sambil menggenggam susu kaleng, ia menunggu Reksa datang. Dian terus menunggu, bahkan sampai kelas ramai. Reksa baru hadir ketika kelas hampir dimulai. Kejadian itu terus berulang setiap hari. Dian ingin mengajak Reksa berbicara, tapi Reksa selalu menghindar. Melihat perubahan Reksa, Dian berusaha mencari kabar.
                Dia harus menghela napas panjang. Reksa telah menjadi kekasih Sora. Hal itu terjadi tanpa sepengetahuan Dian. Segalanya tertahan tanpa pernah diungkapkan. Hal-hal manis yang pernah terjadi seakan menguap bak asap rokok— hilang tak berbekas.
                Dian tak pernah ingin hal ini terjadi. Segalanya berakhir tanpa ucap kata pisah.
                Perlakuannya masih sama, ia masih sering menunggu Reksa dari pagi hingga kelas kuliah dimulai. Dian tak pernah lelah menunggu, tapi Reksa tak pernah lagi datang.
                Reksa tahu Dian menunggu, tapi Reksa tak ingin lagi tahu. Ia hanya tahu bahwa Dian melakukan segalanya, menunggu sosoknya datang, hanya untuk memberikan susu kaleng berukuran kecil. Tak lebih!
                Mereka berubah; tak lagi sama.
                Ada sesuatu yang masih membuat Dian terharu, Reksa memang selalu datang beberapa menit sebelum perkuliahan dimulai. Dalam ketergesa-gesaan saat memasuki kelas, Reksa selalu menggenggam susu kaleng rasa stoberi di jemarinya. Dian memerhatikan itu, tapi ia tak bisa lagi bertindak lebih selain memerhatikan diam-diam.
                Kali ini, Reksa meneguk susu kaleng stroberi tanpa ditemani oleh pembicaraan manis bersama Dian. Seakan Reksa sudah bisa hidup tanpa Dian.
                Mereka masih diam, terus diam, sampai-sampai tak pernah tahu perasaan masing-masing.

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top