28 April 2012 04.30 AM
Sepertinya aku musti menggulung semua sensitifitas lalu menjadi batu yang tetap tenggelam dalam kondisi apung sekalipun. Berusaha berpijak tenang meski tempat parkir di depan bandara Adi Sucipto belum dipaving secara sempurna.
Jogjakarta berembun. Berkali-kali aku menghela nafas. Dingin menembus kulitku yang cuma dibalut singlet warna hitam dan celana pendek di atas lutut. Yang pertama kali aku cari ketika sopir itu menyuruh kami turun adalah: kamar mandi umum. Aku harus cepat-cepat mandi dan ganti baju sebelum yang lain mendahului. Jadwalku mencari kopi untuk menghangatkan tubuhku yang penat ini sudah aku rencanakan dengan Wulan tadi. Pastinya akan memakan waktu lama untuk mencari warung kopi terdekat karena aku sama sekali asing dengan wilayah ini.
“Kamu eks berapa tahun, Lan?” tanyaku pada Wulan yang berjalan gontai menyejajariku.
“Delapan tahun.”
“Selama itu kerja?”
“Kamu kira? Memangnya mencari kerja di Indonesia mudah?” tanyanya. Dia menoleh padaku dan tersenyum sadis. “Tak mudah tinggal di negri loh jinawi ini, Es. Kemudahan akses cuma mimpi kosong. Buktinya, mau terbang ke negri tetangga saja harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk mencari Bandara.”
“Wilayah negara kita terlalu luas, Lan. So?”
“Tapi semuanya jadi tak praktis. Lihat!” dia menunjuk kawat-kawat pembatas yang kelihatan tak terawat. “Mau minum kopi saja harus menggunakan jalan sekarat. Harusnya ada kafe yang buka 24 jam.”
Kami berdua melompat. Remang-remang lampu yang terpancar dari lampu neon warung kopi itu membuat kami sedikit bisa membedakan jalan dan semak.
“Di Singapura, tak ada semak-semak semacam ini, Es. Changi airport sangat tersistem. Bersih dan modern. Tak ada istilah penumpang terlantar atau ketinggalan pesawat karena jalan macet!”
Aku nyengir kuda. Sakit hati sekaligus jengkel mendengar Wulan membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain. Tapi memang beginilah keadaannya. Loh jinawi cuma sebagai symbol belaka. Keramah tamahan hanya sebagai formalitas. Kini semua berlomba mencari kuasa, tahta, martabat, hingga melupakan hakekat sebagai makhluk yang nantinya, akan kembali ke tanah juga.
Kekuasaan membuat mereka saling bunuh. Bunuh, bunuh dan bunuh!
Satu kata itu membuatku lebih sakit. Karena secara tidak langsung menyetir ingatanku kembali pada kejadian malam itu. Di hotel Anjasmara yang….
“Es, Es….”
Aku terperanjat. Wulan menyodorkan secangkir kopi panas padaku. Lalu kami berbalik kembali ke halaman Bandara Adi Sucipto. Bergabung dengan perempuan-perempuan lain.
Tapi sial! Kejadian malam itu semakin mengganggu pikiranku. Lelaki dengan pecahan botol menancap di perutnya itu seolah menghantui langkahku. Bagaimana kasusnya? Si keparat itu sudah tertangkapkah? Atau masih terbahak melihat Pak Hasan berbelit-belit bicara di depan orang-orang media?
Aku tak mengikuti berita televisi. Dan beberapa jam lagi, aku tak akan lagi mendengar kabar tentang hiruk pikuk pembunuhan itu. Artinya juga, beberapa jam lagi aku murni menjadi korban trafficking!
Oh, bagaimana kalau detik ini aku lari saja? Bukankah….
“Mbak, persiapan boarding pass!”
Sial! Si sopir keparat itu seperti sengaja menghentikan pikiranku. Mengerem segala keliaran yang mulai menyerang sel abu-abu otakku. Aku menyeret koperku. Dan mengikuti langkah si pria berkaos hitam yang, mungkin jadi pemandu kami!
****
12.15 PM
Seperti awan melayang tubuhku melayang seluruh ingatanku melayang jauh meninggalkan rupa dan duka. Meninggalkan kenangan pahit juga gemerlap yang melahap seluruh malam-malamku.
Aku memejamkan mata. Membayangkan Jogjakarta pelan-pelan melenyap ditelan ketinggian udara. Meski sebenarnya aku bisa melihatnya sendiri dari kaca jendela pesawat. Tapi… aku takut ketinggian. Aku benar-benar takut. Aku sengaja memasang sekencang mungkin sabuk pengaman. Aku tak melepasnya bahkan ketika tanda peringatan lepas sabuk pengaman menyala.
Sebenarnya aku bukan pobhia ketinggian. Beberapa kali naik pesawat domestic aku merasa biasa-biasa saja.
Sebentar! Tiba-tiba aku ingat perkataan si sopir dan si kaos hitam yang melepas kami di depan pintu check in: mengirim dua anak itu ke ruang bawah.
Ini kode! Aku tahu sedari awal dokumen keberangkatan Aisyah dan Fatimah berbeda. Dua perempuan itu merasa bangga karena dipekerjakan di sektor formal. Di sebuah kafe di Lucky Plaza. Sepanjang perjalanan tadi, cuma mereka berdua yang berbicara melambung. Mereka memang belum berpengalaman ke luar negri. Mereka berbicara seperti bermimpi. Tak tahu realitas yang terjadi. Café? Dekatkah itu dengan kata ‘prostitusi’?
Singapura merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan bagi para trafficker. Banyak perempuan yang menjadi korban. Baik sebagai buruh atau pekerja seks komersial. Hak mereka memang dilindungi. Pemerintah berupaya menempatkan mereka sebaik mungkin. Tapi berapa ratus ribu yang menerima perlakuan tak layak? Banyak gadis China dipekerjakan hampir dua puluh empat jam di sektor formal seperti penjaga toko atau coffe shop. Pembantu rumah tangga juga banyak yang mendapat perlakuan tak layak. Tak boleh bergaul dengan orang lain, tak mendapat faslitas makan dan tidur cukup, diperlakukan seperti budak.
Pekerja konstruksi yang berasal dari negara Bangladesh dan negara-negara berkembang lain banyak yang tak memiliki tempat tingal. Mereka tidur di bawah flat, makan dan minum seadanya, tak mendapat gaji yang selayaknya tercantum di kontrak kerja. Para kontraktor seperti piranha. Mencari gara-gara agar mereka punya alasan untuk memotong gaji mereka seenaknya. Force labour! Di era global, masih banyak prakek kerja rodi seperti ini. Upaya yang dilakukan oleh LSM di seluruh dunia hanya menyelesaikan sedikit masalah mereka. Perdagangan manusia sepertinya tak pernah berhenti. Selalu berlanjut. Karena itu sangat menguntungkan: baik bagi pihak trafficker atau instasi terkait yang mengurusi kelengkapan dokumen mereka.
Aku melirik Aisyah dan Fatimah masih terlelap di kursi sebelahku. Wajah mereka nampak begitu riang. Mereka tak pernah tahu apa yang akan terjadi di sana. Aku tak bisa membayangkan perempuan itu nantinya ditempatkan di kamar sempit dengan kondisi mengenaskan lalu melayani dua puluh laki-laki seharinya.
Seperti korban trafficking di seluruh penjuru dunia, perempuan desa itu dihujani mimpi. Perempuan yang punya harapan besar menghasilkan banyak uang untuk keluarga namun justru mendapat perlakuan mengenaskan di negara asing. Mereka tak punya akses untuk lari!
Note: pesawat mendarat sejam lagi!
Aku memilih bermimpi…
------------
bersambung.....
0 comments