Chapter 3
Singapore 29 April 2012 15.45
Masih sempat kulihat mata Aisyah berkaca-kaca mendapat bentakan dari orang Agency karena menolak melepas beha. Setengah berbisik, dia bertanya padaku:
“Mbak, kenapa harus lepas beha?”
“Mengukur besar payudaramu, mungkin.”
Aisyah nyengir kuda mendengar jawaban asalku. Jelas saja dia takut. Mungkin ini pengalaman pertamanya. Pertama kalinya dia menghadapi kejadian tak menyenangkan seperti ini.
Aku sudah bisa memprediksi apa yang akan dilakukan lelaki-lelaki bajingan yang berjajar di depan meja itu. Tatapan buas mereka menjelaskan besarnya nafsu birahi yang mereka punya. Pikiran mereka dipenuhi uang dari customer-customer yang nantinya akan memilih salah satu dari kami bertiga.
Kami bertiga!
Kami memang bertiga sejak keluar dari Changi Airport. Beberapa perempuan satu penerbangan dibawa oleh bus yang berbeda. Tempat mereka juga berbeda: maid agency – agen pembantu. Sedang kami dibawa ke bangunan asing. Bangunan tua peninggalan penjajahan Inggris kukira.
Lokasinya entah di mana. Sulit mengingat nama-nama jalan yang asing. Meski sebagian menggunakan bahasa Malay: Jalan Ubi, Bras basah, Tanjung Katong, entah apalagi. Tapi dalam kondisi jiwa yang tak terlalu baik, segalanya semakin susah diingat.
Tak perlu juga mengingat!
Hanya berhadapan dengan kenyataan buruk ini saja sudah membuatku hampir mampus.
Aku tak berani bergolak. Hanya menurut apa yang mereka mau. Mengeluarkan kata-kata pedas juga percuma. Malah semakin membuat mereka panas, gemas lalu mencabik-cabik diriku seperti srigala mencabik buruannya!
-----------
16.55
“Aku tak mau! Aku tak mau!” teriak Fatimah saat lelaki berkebangsaan India itu mencoba menarik bajunya.
“Diamlah!” bentak lelaki berbadan tinggi besar dengan jambang yang dibiarkan liar.
“Lepaskan aku!” Fatimah meronta dalam pelukan si Tinggi Besar. Tapi tubuh mungil itu tak mampu menandingi kekuatan Mr. Kumar.
Gigiku gemeletuk. Amarah ini sepertinya tak bisa dibendung melihat tubuh mungil itu dihimpit si Keling di atas meja. Lelaki yang lain bersorak seronok.
Aku tak bisa mengkalkulasi. Berapa wanita korban trafficking yang mendapat perlakuan sama? Berapa wanita yang terluka dan akhirnya terseret pada trauma berkepanjangan? Sebagian wanita mungkin bisa menjadikan dunia pelacuran sebagai pelarian atas trauma itu, tapi bagaiana dengan mereka yang terus terlarut? Tidakkah itu menjadi semacam penyakit psikologi tersendiri?
Dadaku teriris saat tangan kekar itu melepas baju Fatimah secara paksa.
Fatimah diperkosa!
Di depan mataku. Di depan para trafficker masih terbahak dalam sorak. Fatimah menggeliat ingin lepas. Air mata tumpah membanjir. Dia seperti pipit yang terjepit dahan. Semua perlawanan tak lagi berguna.
Aku memejamkan mata saat gadis itu mengarahkan mata padaku. Tatapan mata pasrah tak berdaya ketika lelaki itu dengan buas menjejalkan kelaminnya secara paksa. Ada setitik yang jatuh di sini. Betapa tak bergunanya aku yang….tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong perempuan yang di perkosa, di depan mata kepalaku sendiri.
****
22.10
Tinggal aku dan Aisyah. Gadis belia itu gemetaran. Dia mengaku takut bila diperlakukan sama seperti Fatimah yang masih tergeletak dengan tubuh telanjang ketika kami meninggalkan ruangan keparat itu.
Aku mengikuti langkah lelaki berkebangsaan India yang menjadi sopir sekaligus bodyguard kami. Dia menyuruh kami berdua memasuki bangunan yang sungguh sangat sepi. Seperti tak berpenghuni.
Tempat gelap!
Kamar gelap!
Aku ditempatkan di kamar terpisah. Kamar itu berukuran hanya sepertiga dari kamarku di Indonesia. Single bed dan cabinet kecil menjadi properti. Kamar mandinya cuma satu sudut ruangan yang dibatasi plastic screen. Wastafel kotor. Jendela berdebu.
Benar ini kamarku? Benar ini akan menjadi tempat permanen selama aku tinggal di Singapura? Lalu siapa Mr. Tan yang membayarku seratus juta? Kepentingannya apa? Sebanyak itu jugakah para trafficker membayar korban yang lain?
Aku duduk di atas springbad. Menyetel AC sedingin mungkin. Lalu membaringkan tubuhku yang penatnya minta ampun. Pikiranku entah sudah melayang ke mana….
***
30 April 2012
04.05
Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku geragapan bangun. Kepalaku pening sekali. Aku menyeret kaki untuk mengetahui si keparat yang tega mengganggu tidurku ini. Dari lubang pintu, kulihat seorang lelaki berkebangsaan India berdiri tak sabar. Dia mengetuk lebih keras, lebih keras dan lebih keras.
“Pack your thing before leaving!” perintah lelaki itu tegas. Aku masih berdiri linglung di depannya hingga dia membentakku “Faster, sottong!”
Dengan dada gemuruh, kukemasi barang-barangku yang semalam terserak di atas springbed. Aku sengaja memperlambat diri sambil menikmati pertanyaan-pertanyaan tolol yang bersarang di otakku: Mau di bawa ke mana lagi? Bangsatnya mereka yang memperlakukanku seperti anjing! Mereka menganggap perempuan cuma barang komoditas. Aku jadi ingat peti kemas yang teronggok di pelabuhan menunggu dibawa kapal. Diguyur panas dan hujan tanpa ada perhatian. Mungkin nasibku seperti peti kemas itu: Menunggu! Menunggu untuk dijual. Menunggu untuk diperdagangkan dan dieksploitasi sebagai mesin sex!
“Faster, sottong!” bentaknya sekali lagi. Aku melirik tajam ke arahnya. Sangat menjijikan sekali dipanggil sotong. Apalagi bagi manusia alergi sea food sepertiku.
Aku menyeret kakiku dari kamar pengap itu. Mengamati lorong sempit dari deretan kamar yang berjajar itu membuatku jijik sendiri. Di atas jam empat pagi, masih ada suara desahan penuh birahi dari dalam kamar itu, suara ranjang berdernyit dan lenguhan lelaki di puncak orgasme.
Tapi di kamar paling ujung yang terhubung langsung dengan tangga, aku mendengar jeritan seorang wanita dan bentakan lelaki. Aku tak tahu apa yang mereka ributkan. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Tagalog. Aku pikir mereka sama-sama dari Pilipina.
Kalau benar tempat ini dijadikan sebagai pelacuran yang terselubung, mungkin perempuan-perempuan itu bukan cuma berasal dari Indonesia saja. Tapi dari negara Asia lain seperti China, Thailand, Filipina, Vietnam dan India. Waktu aku keluar dari pintu utama bangunan itu, kulihat beberapa lelaki berkebangsaan India, China dan Thai berdiri sambil menikmati rokoknya. Wajah mereka kelihatan seperti baru kehilangan sperma!
Mereka memasang mata ketika melihatku berjalan mengekor lelaki berbadan kekar itu dengan masih menenteng kopor dan berpakaian kasual. Mungkin mereka berpikir aku pendatang baru. Atau lebih tepatnya----korban baru!
Bagi para costumer yang sebagian blue collar worker, barang baru berarti masih fresh dan tersegel dengan rapi. Sebenarnya belum tentu! Banyak orang-orang baru yang justru menyalurkan penyakit menular seksual. Mereka berasumsi orang baru berarti masih perawan. Itu salah kaprah. Baru dalam konteks ini berarti habitat baru. Meski sebagian besar dari mereka berasal dari wilayah pedesaan yang masih jauh dari teknologi. Tapi bukan berarti mereka sama sekali tak mengenal seks sebelum menikah, bukan?
Sesampai di pinggir jalan besar dia menyuruhku masuk ke dalam mini bus. Keadaan sekitar masih sangat remang. Pertokoan sepanjang jalan itu juga masih sepi. Di tempat itu, tak ada gelandangan atau orang mabuk duduk atau tidur di depan pertokoan seperti di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Cuma terlihat beberapa lelaki dalam satu grup minum berbotol-botol bir di kedai kopi tak jauh dari pertokoan itu.
“Early morning your bos want to pick you up!” ujar lelaki yang katanya, adik Mr Aljuneid - pemilik agen TKW yang merangkap jadi trafficker. Suara lelaki itu berubah kalem. Jauh beda ketika pertama kali menggedor pintu dan mengataiku sottong.
“Who is he?”
“Mr. Tan.”
“U know him?”
“He is some of the richest man in Singapore.”
“How old is him?”
“52 yo.”
“Why he hire me directly?”
“He want you to be his wife.”
Aku membelalakkan mata. Istri? Apa dia berkelakar? Ah, pasti dia berkelakar. Mana mungkin dia mengambil cara ini untuk mencari istri muda? Kalaupun dia berniat mencari istri muda, kenapa tak menggunakan jasa agen mak comblang? Kudengar, banyak Singaporean yang menggunakan jasa ini untuk mencari istri overseas. Mencari perempuan yang masih segar dengan pendidikan relative rendah sebagai pendamping hidup. Mereka kebanyakan laki-laki di usia empat puluh tahun ke atas yang kesulitan mencari istri local.
Dan usia Mr. Tan sudah kepala lima! Itu artinya, dia sudah super damn terlambat kawin! Mungkin karena itu dia berani membayar seratus juta hanya untuk perempuan jahat sepertiku!
Aku menikmati perjalanan dini hari ini: asing dan menyegarkan. Rasanya seperti ketika anak buah Pak Agung membawaku ke Jogjakarta kemarin: menggunakan jalan tikus. Terselubung. Penuh dengan rahasia! Aku lantas berpikir, betapa tersistemnya kerja mereka. Aku memang bukan researcher yang mengamati dan menulis kinerja mereka sebagai bahan tulisan tentang Woman Trafficking. Tapi aku begitu menikmati gerak gerik mereka tiap inci. Bagaimana cara mereka menjemput perempuan-perempuan dari Changi Airport, bagaimana perlakuan mereka ketika medical check-up di klinik khusus bagi orang-orang migran dan yang paling tak bisa aku lupakan: sikap mereka yang terlalu merendahkan derajat perempuan migran!
“What is your name?” tanya lelaki itu tanpa menoleh dari tempat kemudi.
“Ester.”
“You are beautiful.” kata lelaki itu lagi. Dia mencoba meraba pahaku dengan muka penuh nafsu. Tapi….aku benar-benar merasa tak berselera melayani lelaki ini. Aku menolak. Dia bertambah brutal dengan mencoba meremas bagian sensitive tubuhku. Mata lelaki itu mengarah ke depan. Tapi tangannya kelayaban mencari pegangan yang nyaman. Aku sedikit panik. Sementara tangan kananku mencoba menghalangi, aku meraik staples dan….accidentely…. aku menjepit tangannya. Lelaki itu mengaduh. Mengerem mendadak. Mobil berhenti dan kepalaku terantuk dasbor mobil. Stupid! Pening sekali rasanya!!
“Stupid!” maki lelaki itu sambil mengelus-ngelus telapak tangannya yang memerah.
“Better you don’t do that to me again!” kataku dengan nada keras. “Or I’ll make police report!”
Lelaki itu tertawa. Terbahak. Tanpa mengindahkanku, dia melanjutkan kemudianya. Melewati jalan yang sudah mulai terang. Dari papan nama di kanan jalan, kutahu wilayah ini: Tanjung Pagar!
*****
Bersambung------------
0 comments