Waktu itu saya masih SMP. Seperti biasa, menjelang magrib, pergi ke mesjid, berkumpul di tengah mesjid, agak deket dengan mimbar, mengerumuni microfon untuk mengumandangkan puja-puji kepada Allah. Ada si Piyan, ada si Entis, ada si Wildan dan lain-lain sebagainya.
“Allah pasti bilang: Berisik!”
“Kenapa?”
“Kan Allah Maha Mendengar, ditambah pake speaker”
“Iya sih”
Tapi dengan speaker, rasanya seperti keren. Suara kami tidak cuma didenger oleh Allah, tapi juga oleh semua mahluk yang ada di dunia! Termasuk oleh Ibu. Termasuk oleh Ayah. Termasuk oleh orang yang sedang sakit gigi.
“Ibu denger aku enggak? Tadi, di speaker mesjid?”
“Denger. Iya, harus begitu”
“He he he. Bukan!”
“Denger apa?”
“Tadi aku teriak: “Bi Ruah minta uang!”. Denger enggak?”
“Kamu ini!”
Bi Ruah itu pembantu di rumah saya. Nanti deh saya cerita tentang bi Ruah. Sekarang saya mau cerita tentang mas Oki dulu mumpung sudah ngantuk.
Jaman itu, mas Oki masih muda, tapi usianya jauh lebih tua dari kami. Sudah tamat SMA tapi tidak kuliah dan rambutnya ikal. Suka ada di mesjid kalau sedang tidak ikut bapaknya jualan beras di pasar.
Di mesjid, dia suka mukul bedug sebelum adzan. Juga suka ngejemur karpet mesjid setiap hari kamis. Dia itu apa ya? Dia itu manusia dan anggota DKM, Dewan Kebersihan Mesjid, tapi dulu istilahnya bukan DKM, entah apa.
Pokoknya saya suka menyebut si mas Oki itu dengan sebutan Ikan mas Oki. Keren kan? Kedenger jadi seperti Ikan Mas Koki. Saya ngomongnya cuma ke teman, mas Oki jangan sampai tahu, nanti dia marah.
Suatu hari dia marah karena ada yang nempelin stiker Rolling Stones di podium mesjid. Mas Oki curiga, pelakunya pasti ada diantara anak-anak yang nanti akan ngaji setiap habis shalat magrib.
Bener aja, mas Oki datang. Minta izin ke Mang Auf, guru ngaji kami, untuk mau nanya siapa yang berani nempel stiker:
“Siapa yang nempelin stiker Rolling Syaiton ini!?”. Dia ngacungin stikernya. Kami semua pada diam. Tidak ada yang ngaku.
Anak-anak bingung dan takut kalau-kalau Mas Oki akan menuduhnya, karena memang tidak. Saya lihat mata Mas Oki memandang saya, sebentar sih, habis itu dia bicara:
“Sekarang kalian boleh gak ngaku. Tapi Allah pasti Maha Tahu, siapa yang nempel stiker ini di rumah-Nya. Nanti pasti akan disiksa di neraka!”
“Ngaku aja. Siapa?” Mang Auf ikut nanya. Tapi tetap tak ada yang ngaku.
“Ya sudah kalau begitu. Tanggungjawab sendiri di akhirat. Makasih Kang Auf”
Di rumah, sebelum tidur, saya senyum, inget Mas Oki bilang Rolling Syaiton. Dan langsung kepikiran juga dengan ancamannya bahwa nanti harus tanggungjawab di akhirat. Saya langsung bingung, apa yang harus saya jawab kalau ditanya malaikat:
”Pidi, kenapa kamu nempelin stiker Rolling Stones di podium mesjid Al-Muhazirin?”.
”Itu stiker punya kakakku”, dan langsung minta maaf. Minta dimaklum karena dulu saya masih anak kecil, masih belum mengerti bahwa stiker Rolling Stones tidak cocok ditempel di mesjid dan itu dosa.
“Terus, kenapa, waktu di bumi, kamu ngunci toilet dari luar padahal ada Mang Muston di dalamnya?”
“Kapan?”
“Waktu dia kencing di toilet mesjid?”
“Kok jadi nanya itu?”
“Kenapa? Jawab”
“Mang Muston itu gak asik!”
“Kenapa?”
“Kami lagi muji-muji Allah, microfonnya diambil”
“Terus?”
“Dia maunya sendirian. Kami gak boleh! Kataya berisik”
“Terus?”
“Kenapa dulu harus ada Mang Muston, bersama kami?”
“Kenapa memang?”
“Harusnya dia di Mars. Anak-anak Alien juga pasti gak akan suka?”
“Tapi kalau kalian yang megang microfon, kalian gak cuma muji Allah, kalian juga suka ngejek orang”
“Ngejek apa?”
”Halo, halo. Pengumuman, si Umang gak pernah mandi!”
“Bukan aku ih! Itu si Nandan”
“Kamu juga. Tapi nama yang diejeknya beda!”
“Si Bakri?”
“Iya, ke si Bakri, ke Mang Oman juga, kamu pernah. Ke si Entis. Ke si Dadi. Kamu itu, banyak”
Habis itu saya tidur, sebelum dia bertanya lagi di dalam kepala saya.
Bandung di awal Juli 2012 masehi
0 comments