Aku berjalan dengan langkah bingung. Asap rokok dan dengung suara pengunjung kantin seperti bergantian mengganggu indra penciuman dan indra pendengaranku. Mataku sibuk mencari dia, pria yang selalu ingin kutemui setiap usai kelas.
"Shena!" seseorang yang kuhapal garis wajahnya mengangkat tangan; memanggil namaku dengan suara nyaring.
Aku berjalan menghampirinya dengan senyum yang kuhias dengan lengkungan paling manis, barisan gigiku yang rapi kuperlihatkan seutuhnya. Senyum itu hanya untuknya.
"Udah makan?" Ia menepuk pundakku, bertanya dengan tatapannya yang teduh dan hangat.
Aku tak langsung menjawab, terpaku beberapa saat menemukan bola matanya benar-benar menyorot tajam mataku. "Gue belum makan, kenapa?"
"Beli ayam kremes deh, nanti gue bagi sama elo aja."
"Oke," tanpa menolak, aku segera meraih dompet di tasku, "Elo suka yang pakai sambal kan?"
Ia mengangguk setuju. Aku segera tahu kemauannya. Sambal adalah kecintaannya, tapi kebencian bagiku. Saat makan ayam kremes, sesampainya di rumah perutku langsung sakit luar biasa, seperti ada jutaan tangan yang mengoyak-ngoyak perutku. Sungguh, aku tak suka sambal, tapi demi bisa makan bersamanya; aku akan melakukan apapun, meskipun segalanya siksa bagiku. Bodohkah aku? Mungkin.
Aku mengantre cukup lama, karena ayam kremes adalah makanan paling laris di kantin. Setelah sepiring nasi bersama ayam dan sambal sudah ada dalam tanganku, aku segera berjalan ke arah mejanya. Ia sibuk berbincang-bincang dengan teman-teman yang lain. Mereka menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asap rokok ke udara. Aku benci asap rokok, tapi demi bisa menatap wajahnya lebih lama; aku harus sering menghirup asap rokok. Salahkah aku? Mungkin.
Aku duduk di sampingnya, ia memasang senyum paling manis untukku, yang kurasa hanya untukku.
"Nasinya gue minta banyak, karena gue tahu elo pasti ikutan makan."
Pria itu tertawa geli. Pria yang selalu ingin kujaga tawanya, yang selalu ingin kuabadikan senyumnya. Kami makan bersama, dia mencolek nasi beserta ayam kremes ke sambal yang telah kusediakan khusus untuknya. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku perhatikan cara ia mengunyah makanan, cara ia mencibirkan bibirnya ketika sambal menyentuh lidahnya; aku tersenyum dalam hati.
Aku selalu suka saat bisa makan ayam kremes bersamanya. Saat lengan kita bertemu karena aku duduk tepat di sampingnya. Itulah waktu yang paling tak ingin kusia-siakan. Hanya saat makan ayam kremes, aku bisa merasakan kehangatan yang menjalar di dadaku, semakin menguat ketika kudengar dia bercerita dengan mulutnya yang masih penuh dengan nasi.
Saat makanan kita habis, ingin rasanya aku membeli ayam kremes, dan mengulang lagi waktu yang berlalu tadi. Aku ingin terus makan ayam kremes bersamanya. Saat bersamanya, hal bodoh lainnya segera kulupakan. Aku jadi suka menantang lidahku dengan sambal dan aku jadi senang makan ayam; kesukaanku sebenarnya ikan. Iya, aku melakukan banyak hal, mengubah kesukaanku, mengubah tata sikapku saat di depannya. Aku tak ingin terlihat cacat di mata pria yang sangat kucintai.
Dia mengubah rasa ayam kremes di lidahku menjadi nikmat dan tak terlupakan. Sebenarnya, bukan persoalan ayam kremesnya. Aku hanya tak ingin melewatkan saat-saat bisa berdekatan dengannya, saat kami makan ayam kremes.
"Thanks, ya, udah nemenin makan." ucap pria itu sambil meraih air putih yang juga kebelikan untuknya.
Aku mengangguk lemah. Karena tak begitu tahan pada asap rokok, aku meninggalkan dia bersama teman-temanku yang lain. Aku pamit, dengan senyum yang kubikin seakan tak terjadi apa-apa. Hanya satu hal yang begitu kukejar saat berada di kantin, makan ayam kremes bersamanya.
Aku meninggalkan meja dan bangku yang kududuki di kantin, berjalan dengan langkah yang kuat; menunggu pertemuan esok hari. Aku akan makan ayam kremes bersama dengannya lagi. Seperti biasa.
Dia akan selalu kupandangi seperti itu, dari sampingku ketika aku diam-diam mencuri pandang ke wajahnya. Dia akan selalu seperti itu, diam-diam kucintai.
***
Entah sudah berapa ayam kremes yang kuhabiskan bersama dengannya. Entah sudah berapa es teh yang kami minum bersama. Tak ada ikatan apa-apa, juga hubungan apa-apa. Tak ada pesan singkat yang kubaca setiap malam darinya atau sekadar sapaan ringan pada pagi hari. Aku mengharapkan itu semua, sungguh. Sudah berbulan-bulan aku memendam perasaan, tak mungkin dia tak tahu bagaimana perasaanku. Sudah banyak ayam kremes dan es teh yang kami habiskan bersama, tak mungkin dia tak menyadari segalanya.
Aku berlaku seperti biasanya, seusai kelas langsung berjalan menuju kantin. Harapku begitu besar terhadapnya, ada sesuatu yang harus kukatakan. Apa gunanya merasakan jika tertahan dan tidak diungkapkan? Apa untungnya mencintai tanpa perjuangan sama sekali?
Iya, aku berjalan ke arahnya. Mata kami sempat bertemu, tapi tak kulihat lambaiannya tangannya mengarah kepadaku. Dia hanya tersenyum tipis, seakan tak mengundang aku ke mejanya.
“Sudah makan?”
“Sudah.”
Mendengar jawabannya yang singkat, aku terdiam. Dia tidak menungguku.
“Tadi makan apa?”
“Ayam kremes.”
“Beli sendiri?”
“Iya. Sendiri.”
Sesingkat itulah jawabannya. Ada sesuatu yang berbeda. Aku mencoba membuka percakapan, mencoba mencari kesalahanku sehingga sikapnya tak seramah kemarin.
Ketika kehabisan bahan percakapan, aku kelaparan; sangat lapar. Aku sengaja tak sarapan sejak pagi agar bisa makan bersamanya. Aku tak bisa terlalu kenyang. Itulah yang kulakukan hampir setiap hari, tidak sarapan agar saat makan siang aku bisa menyantap ayam kremes bersamanya. Aku selalu ingin duduk di sampingnya. Sembari menghilangkan rasa lapar, aku pamit membeli ayam kremes di tempat biasa. Ia mengangguk lemah.
Sepiring ayam kremes dan segelas es teh sudah ada di tanganku. Aku berjalan pelan-pelan mendekati meja. Ia seakan tak ingin menatapku. Aku segera duduk di sampingnya, memakan ayam kremes sendirian. Baru kali itu, aku makan tanpa menyentuh lengannya. Dulu, setiap makan ayam kremes, lengan kami bisa bersentuhan.
Ada celah yang memisahkan tempat duduk kami.
Kami berjarak.
Aku sedang sibuk-sibuknya mengarahkan sendok dan garpu di piringku, sampai pada akhirnya seseorang dengan wangi parfum menyengat duduk di sampingku, juga di dekat pria yang kucintai sejak dulu.
Mataku tajam tertuju pada wanita itu. Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai tempurung kepalanya. Wanita itu menyentuh lembut rambut pria yang kucintai. Sungguh hebat! Bahkan aku tak pernah bisa menyentuh rambutnya. Aku hanya bisa melakukan hal yang menurutku manis; makan ayam kremes bersamanya.
“Sayang, udah lama ya nunggunya?” wanita itu mulai membuka suara, belaiannya kini menyentuh bahu pria yang kucintai.
Menatap pemandangan itu, aku tak bisa berbuat banyak. Aku sudah mulai menebak-nebak.
“Eh, Shena, ini pacar gue.” dengan senyum bangga, ia mengenalnya pacarnya padaku.
Aku mengulurkan tangan, mencoba memasang senyum paling manis meskipun kala itu hatiku sebenarnya teriris. Wanita itu menatapku dengan tatapan yang menyebalkan, rasanya aku ingin menepis fakta yang sesungguhnya sudah ada di depan mata.
Selama ini, aku hanya sekadar teman makannya, bukan teman hidupnya. Aku yang tolol, terlalu banyak berharap.
Mereka sibuk berbicara berdua. Aku sendirian memakan ayam kremesku. Ayam kremes yang dulu terasa menyenangkan di lidahku sekarang terasa sangat hambar. Pria itu mengubah rasa ayam kremes di lidahku seperti makanan tanpa garam yang sungguh tidak mengundang selera.
Dan, akhirnya perasaanku memang ditakdirkan untuk tertahan, tanpa diungkapkan.
Aku bersumpah tidak akan lagi makan ayam kremes setelah ini.
Tidak.
0 comments