Cerpen DG Kumarsana CUCUKU MENULIS PUISI


Cerpen DG Kumarsana CUCUKU MENULIS PUISI
oleh Dgkumarsana Kum pada 16 Februari 2013 pukul 22:10 ·




Satu buah puisi sudah rampung ditulis. Garis kalimat yang demikian rapi. Semula arahnya lebih banyak melintang dan condong ke kiri. Namun atas bimbinganku dia mulai membenahi dengan gaya khas yang selanjutnya ketika beranjak dewasa nanti sudah menjadi karkater tulisan. Dengan melihat sepintas saja gaya bahasanya orang akan mengenal penulisnya. Hari ini Nampak dia tengah duduk santai di ruang belajar, matanya asyik tertuju pada sebuah judul berita Koran.

“Pekak, coba baca berita ini, “ ujarnya sembari menyodorkan Koran kepadaku. Koran terbitan daerah. Tertulis sebuah judul berita pada halaman 2 : KECEWA PUTUSAN HAKIM, DEWA SUTAMA AJUKAN BANDING. Aku baca tentang kasus hukum seorang mantan guru SDN di sekita kota ini. Apanya yang aneh. Kupikir semua kasus hukum yang menyangkut rakyat kecil tidak menjadi sorotan yang berarti di mata publik. Karena semua mata saat ini lebih tertuju pada kasus Hambalang, kasus prahara demokrat, kasus daging sapi, kasus banjir Jakarta dan Jokowi sampai melongok-longok ke selokan. Bukan kasus di daerah terpencil, terlebih lagi mengenai kasus pencabulan seorang guru. Kasus ini kurang penting dibaca, menurutku. Kasus pencabulan bukan suatu berita heboh. Itu manusiawi. Kasus umum. Kasus yang tidak perlu terlalu dibesar-besarkan. Apalagi sampai melibatkan LSM, masyarakat bahkan melibatkan media massa. Ini kasus sederhana. Dan penanganannyapun mesti sesederhana mungkin. Tidak perlu rumit-rumit. Apalagi ada kesepakatan MOU antara PGRI dengan kepolisian yang mengatur tentang guru yang terlibat tindak pidana. Sudah ada pedoman yang mengatur.

“Apa anehnya cu? Ini kan peristiwa biasa,’ aku meletakkan Koran itu di atas meja dengan rasa kurang begitu greget membaca sebuah berita. Kurang seru kupikir berita seorang guru.

“Badaaaah, pekak ini ketinggalan jaman. Pekak rupanya tidak mengikuti kasus ini dari awal. Ini kasus tentang dugaan pencabulan guru pada siswinya namun yang oleh guru tersebut sama sekali tidak pernah merasa melakukan apa-apa. Makanya pekak rajin-rajinlah baca berita. Jangan hanya nonton sinetron saja.”

Aku setengah terkekeh mendengar cucuku yang dulu sering aku gendong kini berbalik sudah bisa menguliahi aku. Entah kapan dewasanya sehingga tanpa aku sadari dia sudah demikian fasih bertutur tentang peristiwa sebuah berita dalam Koran.

“Kalau saja hanya menyenggol seorang siwi kena vonis 5 tahun penjara berarti kalau meremas,memperkosa dan sejenisnya yang termasuk perbuatan biadab akan kena hukuman 5 kali lipat dong kak. Berarti akan 25 tahun mendekam di penjara. Kalau dakwaan yang dipaksa-paksa para saksi dan kenyataannya sendiri saksi korban sendiri malah meragukan tindakan guru ini, atau ragu-ragu memberi kesaksian kalau sesungguhnya yang dianggap korban tidak memperoleh perlakuan amoral dari gurunya. Berarti kesaksian ini berdasar hanya cerita yang dikarang-karang sendiri alias rekayasa kak. Aku heran pekak. Yang direkayasa bukti dan saksi macam begini bisa kena hukuman 5 tahun. BAP dari kepolisian jauh berbeda dengan keterangan saksi dan hakim begitu saja memvonis 5 tahun. Ini hukuman macam apa kak? Berdasarkan hanya kesaksian sebuah cerita yang belum jelas datanya dan bukti yang demikian lemah mampu membuat hakim ketok palu menjatuhkan hukuman. Dimana letak keadilan itu kak?”

“Hush! Jangan terlalu mendalami sebuah berita cu, Anak kecil belum pantas bicara soal keadilan” aku mengingatkan.

“Sekarang coba kita maknai arti kata-kata menyenggol itu sendiri. Menyenggol itu kalau kita artikan sebagai sebuah benturan yang tidak sengaja. Beberapa ibu-ibu di pasar menjerit kaget karena ‘tersenggol’ ibu-ibu yang lain di lokasi pasar yang berdesak-desakan itu. Nah ibu yang menjerit itupun tak terima karena kena senggol, akhirnya melaporkan ibu yang menyenggol itu ke kantor polisi. Hahahaha kalau hanya kasus menyenggol saja di laporkan ke polisi dan di mejahijaukan, akan berapa banyak kasus-kasus serupa kak. Betapa bingungnya pengadilan menangani kasus senggol-menyenggol? Apalagi kalau pelapor tidak disertai dengan bukti dan saksi yang kuat, maka mulailah dia mengupayakan alur media massa, membuat opini serupa kasus mantan guru SDN ini sebagai sebuah pembenaran pencabulan. Lalu mengerahkan massa dan pake acara menyusun kekuatan lewat LSM dan beberapa pejabat penting di kota ini. Wow…wow..wow…menggelikan kak.” Seperti tidak mampu direm cucuku semakin nyeroscos saja. Kalau sudah demikian aku jadi teringat mendiang ibunya sebagai calon pengacara yang sedang sibuk-sibuk menyiapkan disertasi pengajuan dengan mengklaim beberapa peristiwa hukum. Bila perlu yang sulit diklaimpun akan di’peristiwakan’ sehingga menjadi sebuah pertimbangan untuk meraih gelar doktoral yang terhormat di mata khalayak. Sepertinya semangat yang berapi-api dari sosok ibu itu mengalir pada jiwa anak ini.

Aku geleng-geleng kepala. Demikian tajamnya dia merunut sebuah pemberitaan sebuah media massa di usianya yang masih demikian belia. Tak habis pikir aku melihat kata-katanya yang bagai peluru kendali keluar tanpa kendali sembari nyiprat-nyiprat berbaur dengan air liurnya. Sebagian ada membasahi wajahku yang peyot.

“Iya…iya terus apa yang kamu peroleh dari berita itu cu?” akhirnya aku bertanya setelah lelah mendengar ocehannya.

“Aku salut, mantan guru ini mau ajukan banding, pekak,” ujarnya dengan mata berpijar.

“Terus?”

“Ya semoga saja keadilan berpihak padanya, kalau sesungguhnya apa yang dituduhkan padanya itu sesungguhnya tidak pernah dia lakukan. Aneh kan tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan dipaksa untuk mengakui. Coba pekak baca nih, apa kata guru itu, Ia merasa demikian shock. Kasihan dia. Masak di vonis bersalah atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Hukum macam apa ini?”

“iya…iya terus?”

“Iya pekak aku mendapatkan inspirasi sebuah puisi dari peristiwa ini.”

“Hmmmm…”, aku hanya berdehem. Kulihat cucuku kian bersemangat. Sepertinya semangatnya susah untuk dipadamkan.

“Pekak ndak pingin tahu apa puisi saya itu?”

Aku menggeleng.

“Sama sekali pekak tidak tertarik dengan puisi saya ini?”

“Apa?”

“Pekak ndak pingin tahu judul puisi saya ini, puisi yang saya tulis semalaman, pekak?”

Kulihat cucuku menyodorkan sebuah kertas tulisan tangannya sendiri, tulisan yang demikian indah kulihat sepintas lalu. Hmmm cucuku pintar menulis puisi.

“Apa judulnya,cu?” akhirnya aku bertanya. Semoga seusai menanyakan ini, dia mau menutup pembicaraan ini, karena aku sudah ngantuk berat mendengar ocehannya yang tidak karuan.

“Ini menyiratkan tentang ketidak adilan pekak. Tentang hukum yang tidak pernah mau berpihak pada rakyat kecil. Hukum telah jadi komoditi dan di perdagangkan. Pasal-pasal bisa menjadi sebuah tender dalam sebuah proyek. Dan pasal dalam hukum itu bisa dimistik maknanya. Hukum hanya milik penguasa, kaum berduit dan orang-orang terkenal. Keadilan dalam hukum bukan milik rakyat kecil, pekak karena….”

“Iya apa judulnya?!!” aku memotong omongannya yang kian berapi-api.

“Judulnya KEADILAN MALU-MALU MAUNYA MANDUL….”

“…..!!!???”

Pekaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkk!!!!!!


salam santun, :)

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Evo Sastra
Designed by Evo Sastra
..
Back to top