Seperti sebuah nyanyian merdu yang menyayat hati, menyakitkan. Aku mendengar senandung itu, seperti kidung, seperti nyanyian pengantar tidur .
“…hitam…gelap…pekat tanpa cahaya
…dingin kelabu pucat tanpa rasa
Cinta hanya fatamorgana dan kasih hanya ilusi
Lalu langit memerah karena marah bumi menangis dalam derita
Waktu berputar cepat tanpa lelah
Menghempas pikiran pada sisi tak bercelah
Kemarahan mereka menjadi kekuatan
Tangis kami menjadi kelemahan
Bunga bangkai menjadi hiasam
Koor gagak menjadi sedu sedan
Akankah mati menjadi jawaban?
Tuhan mentitah Malaikat membawa berita
Akankah kita menanti mati seperti caranya?
Ataukah…
Memilih mendahului takdirnya?”
Gadis itu berjalan dengan cepat, wajahnya pucat, bibir merahnya bergetar menahan gemeletuk giginya. Dia merapatkan mantelnya untuk menghindari angin malam yang menusuk hingga tulang, dia semakin mempercepat langkah seolah ada yang mengikutinya, tapi tak ada siapapun yang tertarik dengan langkah kaki buru-buru gadis itu.
Dia merasa lega manakala telah mencapai gedung bangunan tua itu, lalu menaiki satu demi satu demi satu anak tangga yang rapuh, suara decitan kayu aus itu terdengar seperti kunyahan kripik yang terlalu lama terkena angin. Dia tak lagi terburu-buru tapi mengatur langkah dalam keremangan cahaya, lebih hati-hati, lebih mawas diri.
Saat berada puncak tangga senyum menghiasi wajahnya, bukan karena ada tarian indah cahaya tapi karena ada pesona sebuah senyuman dari pria berwajah rupawan yang menantinya, setengah berlari dia menghampiri, lalu memeluknya dengan erat seperti takut kehilangan, seperti ingin menghilangkan kerinduan. Tapi sekarang mereka tahu, mereka berdua akan bersama…selamanya.
Keduanya seperti pemeran film bisu lama, tapi aku seolah mendengar kata-kata yang terdengar dari bibir bergetar keduanya.
“…kita akan pergi sekarang” suara lembut itu berbisik
“ segera setelah semuanya siap, sebelumnya…mari kita rayakan kepergian kita” pria itu memiliki suara berat dan dalam yang juga menenangkan. Pria itu menggengam tangan si gadis yang kini memiliki rona di pipinya, tapi ketakutan dan keraguan masih tertinggal dalam pancaran matanya.
Dari kejauhan rooftop tempat mereka menikmati waktu tengah malam mendekati dini hari itu terlihat indah karena dihiasi ribuan cahaya lilin yang menari, angin membelai seakan tak ingin membiarkan cahaya-cahaya itu padam. Pasangan itu berdansa tanpa iringan musik, saling berpelukan erat seakan tak ingin terpisahkan, tapi mereka tela memilih sebuah jalan; pergi dan bebas walau artinya mereka akan menuju kematian dan seperti waktu slide-slide yang diputar cepat tak berapa lama adegan yang tertangkap dalam otakku adalah keduanya telah terhempas begitu saja ke jalan raya, dalam keadaan kaku membeku, penuh darah tapi wajah terlihat bahagia, tidak ada penyesalan ataupun airmata, yang ada hanyalah kilau cahaya yang membutakan mata karena tirai itu terbuka dan matahari membuatku tersadar dari mimpi.
***
“Good morning Sleeping Beauty” sapaan dari pria yang berdiri di depanku membuatku terasa seperti melihat pria dalam mimpi yang tiba-tiba menjadi nyata. Oh tidak itu hanyalah khayalanku saja. Aku mengabaikan pria di depanku, yeah dia bukan pria dalam mimpiku, karena…pria dalam mimpiku memiliki mata biru yang sedalam samudera, bukan mata biru dengan kilau kehijauan.
Aku menarik kembali selimutku hingga dagu, bukan untuk mendapatkan kehangatan tapi lebih untuk menghindari godaan melanjutkan aksi romantis sepanjang malam tadi. Aku hanya ingin…berpikir…lagi pula aku bukan boneka seks-nya.
Mimpi itu…mimpi yang sama yang berulang-ulang secara acak dalam malam-malam tertentu, seperti saat … mimpi itu seperti…efek tiga dimensi saat halusinogen, depresan dan stimulan membuatku melayang seperti menyaksikan layar bioskop raksasa pribadiku, seperti dalam keadaan trance, seperti saat aku menciptakan fantasi…tapi bagaimana bisa? Aku tak mungkin menciptakan fantasi yang seolah kumainkan sendiri, dimana akulah sang sutradara maupun aktornya, dan juga penontonnya, akulah yang …
“Baby…”
“Morning” aku memberinya kecupan singkat di bibir dan bangkit dari tempat tidur.
“I love your smell…mandarin, vanilla...and almond” Robert, Alfred ataukah entah siapa namanya, sekarang berada dekat denganku, wajahnya hanya beberapa centi dari wajahku, kini dia membenamkan diri di leherku, menghirup aroma tubuhku, saat hidungnya nyaris menyentuh kulitku, aku menghindar dan berguling ke arah sebaliknya, dan melangkah cepat dan menuju shower aku perlu mandi dan pulang itu saja, lalu mengucapkan selamat tinggal pada kencan semalamku.
***
“Violetta…” sebuah panggilan manis memuakkan menghentikan langkahku yang hendak menaniki tangga ke lantai dua. Aku benci berada di rumah, aku ingin pergi, segera dan secepat yang kubisa, tapi di sinilah aku, menanti kapan aku bisa keluar dari dunia yang bagai penjara, penuh aturan, norma, kemunafikan memuakkan yang harus kuterima. Aku perlu sayap, aku perlu kebebasan. Aku mengabaikan panggilan itu dan yang kuterima hanya sebuah panggilan nama lengkapku dalam nada tinggi.
“Violetta De Lancey”
Aku berbalik dan menghadapi wajah tanteku, saudara almarhum ibuku yang meninggal ketika melahirkanku, yeah aku harus berterima kasih padanya karena telah merawatku, sementara ayahku memilih mengurung diri jauh dariku di dunianya dan hanya berhubungan denganku saat perayaan-perayaan dimana ucapan “selamat” harus diucapkan.
“Soraya” aku menyebut namanya “ Aku melewati malam yang berat jadi aku perlu tidur sekarang, simpan nasehatmu…sampai aku memerlukannya.” Seperti biasa aku bicara seenaknya, karena itulah cara paling tepat untuk menghindari segala ocehannya.
“Vio…” Dia menatapku dalam dan disertai gelengan, seakan dia menyesali segala hal yang terjadi pada diriku, seakan segala dosa yang kulakukan semalam menguar begitu saja dari tubuhku dan tercium oleh lubang hidungnya yang selalu mengernyit sepanjang waktu.
Aku menuruni beberapa anak tangga dan memberi pipi keriputnya sebuah ciuman, sebagai wanita yang membesarkanku dan hidup sendiri dalam kesepian sejujurnya dia layak mendapat ekspresi kasih sayang, sebuah ciuman cukup berharga untuk pagi muramnya, seandainya dia mau menikmati hidup sedikit saja, maka awan mendung takkan menghiasi hidupnya. Aku hendak akan pergi lagi, tapi Soraya mencegah dengan mencengkram tanganku, dia menatapku, lama tanpa berkata-kata, lalu dia meneteskan air mata. Kadang dia keras padaku dan aku membencinya, tapi saat tangis menghias wajah lelahnya akupun seperti merasakannya, lalu memberikannya pelukan hangat, setelah itu lirih bisiknya seakan merobohkan duniaku.
“Ayahmu meninggal dunia, dear”
0 comments